Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Sabtu, 17 April 2010

Allah Is The Most Forgiving


Namaku Kinar. Aku gadis berkerudung yang hidup sebatang kara. Meskipun usiaku baru menginjak 17 tahun, tapi aku sudah bekerja sebagai seorang karyawan sebuah pabrik di kota W. Alhamdulillah, gajiku tiap bulan cukup kugunakan untuk makan, bayar kost, dan biaya hidup lainnya. Nasib yang membawaku hingga aku terjebak dalam kesulitan ini. Alhamdulillah, aku masih bertahan hidup. Aku bersyukur masih bisa kost dengan dengan tiga orang anak kost yang lain. Meski entah kenapa hubungan kami tidak terlalu baik. Ah, aku tidak mau ambil pusing.
Bu Fatimah, Ibu kost-ku. Beliau memiliki dua orang anak. Indah yang bungsu, masih kelas dua SMU. Dia gadis yang cantik dan baik. Persis seperti ibunya. Kami sangat dekat, mungkin karena usia yang tidak terpaut jauh. Sedangkan anak sulung Bu Asih, yang merupakan suatu masalah, dia tidak melanjutkan sekolah. Usianya kurang lebih 20 tahun. Tapi angka itu jauh terdengar lebih dewasa daripada kelakuannya sehari-hari. Namanya Yahya. Dia laki-laki yang dingin, angkuh, dan kasar. Selama ini dia tidak pernah berbuat baik padaku. Aku juga tidak tahu kenapa dia begitu benci bila melihat aku sedang sholat. Dia juga benci pada kerudungku, alunan ayat suciku, bahkan dia sering menghambat jalanku ke masjid.

Namaku Kinar. Aku gadis berkerudung yang hidup sebatang kara. Meskipun usiaku baru menginjak 17 tahun, tapi aku sudah bekerja sebagai seorang karyawan sebuah pabrik di kota W. Alhamdulillah, gajiku tiap bulan cukup kugunakan untuk makan, bayar kost, dan biaya hidup lainnya. Nasib yang membawaku hingga aku terjebak dalam kesulitan ini. Alhamdulillah, aku masih bertahan hidup. Aku bersyukur masih bisa kost dengan dengan tiga orang anak kost yang lain. Meski entah kenapa hubungan kami tidak terlalu baik. Ah, aku tidak mau ambil pusing.
Bu Fatimah, Ibu kost-ku. Beliau memiliki dua orang anak. Indah yang bungsu, masih kelas dua SMU. Dia gadis yang cantik dan baik. Persis seperti ibunya. Kami sangat dekat, mungkin karena usia yang tidak terpaut jauh. Sedangkan anak sulung Bu Asih, yang merupakan suatu masalah, dia tidak melanjutkan sekolah. Usianya kurang lebih 20 tahun. Tapi angka itu jauh terdengar lebih dewasa daripada kelakuannya sehari-hari. Namanya Yahya. Dia laki-laki yang dingin, angkuh, dan kasar. Selama ini dia tidak pernah berbuat baik padaku. Aku juga tidak tahu kenapa dia begitu benci bila melihat aku sedang sholat. Dia juga benci pada kerudungku, alunan ayat suciku, bahkan dia sering menghambat jalanku ke masjid.
“Auw…”
“Maaf, aku nggak sengaja.” aku memunguti kertas-kertas kecil yang berhamburan di lantai.
“Cewek aneh.” umpat laki-laki yang berjongkok dihadapanku. Dia menatapku tajam, seakan ingin menunjukkan kebencian yang teramat sangat. Aku diam, merapikan kembali kertas-kertas puisiku yang berantakan di lantai. Sebisa mungkin aku berusaha menghindarinya. Lelaki keras yang sebenarnya begitu rapuh.
“Permisi, assalamu’alaikum.”
Laki-laki itu tidak menjawab salamku. Tidak pernah. Dulu Indah sempat cerita, laki-laki kasar atas nama Yahya itu berubah sejak 4 tahun yang lalu. Tepatnya saat ayah mereka meninggal dunia karena kecelakaan pesawat terbang.
Mendengar cerita Indah tentang ayahnya, seharusnya aku merasa terbantu dan mengerti pada tabiat Yahya selama ini. Tapi nyatanya aku malah merasa bingung dan membuatku memikirkannya berulang-ulang. Ya Allah, sebenarnya aku tidak ingin membuat ataupun punya masalah dengan siapapun. Apalagi sampai ada orang yang membenciku, dan alasannya adalah kerudung serta ibadah yang selama ini kupikir sudah cukup benar. Aku ingin melupakannya. Enggan memikirkan hal-hal seperti itu. Tapi aku tidak cukup kuat untuk itu semua.
“Astaqfirullah…” desahku pelan. Aku memikirkannya lagi, bahkan terlalu dalam. Kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat sunah agar aku tenang.
“Heh! Ngapain kamu? Air bersih dibuang-buang. Boros”
“Tadi habis wudhu. Aku nggak buang-buang air. Ibu kost juga pasti mengerti. Wudhu memang harus dengan air bersih. Permisi, aku mau sholat.”
“Sholat? Buat apa?! Capek doank.”
“Astaqfirullah. Mas Yahya. Kenapa bicara begitu? Mana punya agama orang-orang meninggalkan sholat.”
“Nggak penting banget, sih. Tanpa sholat juga masih bisa hidup, bias senang-senang, nggak kayak kamu. Kamu jadi cewek kuper karena kebiasaan-kebiasaan kamu.”
“Demi Allah aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Permisi.” air mataku hamper mengalir. Untung aku segera berbalik meninggalkannya. Dadaku bergerumuh, tanganku bergetar, dan tenggorokanku terasa begitu pekat.
Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Yahya. Aku hanya merasa sedih ketika mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulutnya. Memang selama ini aku belum pernah sekalipun melihatnya melaksanakan sholat, mengaji, ataupun berpuasa. Tapi aku tidak pernah menyangka dia bias memiliki pendapat sehina itu tentang sholat. Aku bingung, seharusnya aku tidak perlu ambil pusing dengan apapun dosa yang dia perbuat. Tapi entah kenapa aku merasa aku punya tanggung jawab. Aku perlu meluruskan jalan yang dia tempuh. Jalan yang mungkin sudah terlalu menyimpang dari jalur.
“Mbak Kinar?”
“Eh, Indah kamu ngagetin aja.”
“Malam-malam begini lagi mikirin apa sih, Mbak? Mas Yahya?” aku merasa sedikit tidak nyaman dengan pertanyaan Indah barusan. Tapi aku merasa aku harus menjawabnya, meskipun hanya dengan anggukan kecil.
“Aku nggak bisa melarang Mbak Kinar mikirin Mas Yahya. Karena jujur sebenarnya aku juga bingung dengan sikap Mas Yahya. Ibu juga pusing harus bagaimana mendidik Mas Yahya biar berubah, dan kembali seperti dulu lagi.”
“Kembali seperti dulu lagi? Maksud kamu? Apa dulu dia nggak begitu?”
“Mbak pasti heran kalau tahu Mas Yahya dulu. Mbak percaya kalau aku bilang dulu Mas Yahya selalu juara kelas, rajin beribadah, bahkan pernah juara lomba azan dan qira’?”
“Apa??!” mulutku membentuk terowongan yang tidak terlalu besar. “Tapi, kenapa sekarang dia jadi….”
“Iya, Mbak. Sekarang dia jadi ‘psikopat’ gitu. Serem.”
“Dia buka psikopat. Ndah. Mungkin dia lebih mirip seperti anak kecil yang lagi ngambek karena mainannya hilang. Dan dia jadi benci sama semua mainan. Indah, dia lagi butuh kita.”
“Kok Mbak Kinar malah bela Mas Yahya? Masa Yahya sudah sering menyakiti kamu, Mbak.”
“Apa kamu akan marah, kalau seandainya anak kecil yang lagi ngambek itu melempar mainan yang kamu berika sama dia?”
“Tapi Mas Yahya kan bukan anak kecil lagi. Mbak. Dia sudah dewasa. Harusnya dia bias membedakan mana yang harus dia lakukan dan mana yang harus dia tinggalkan. Dia seharusnya sadar bahwa nggak ada satu hal pun yang sanggup melawan kuasa Allah untuk mengambil nyawa Ayah. Bahkan dia….” Indah tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk dalam, aku juga. Takut.
“Kalau nggak suka sama aku itu bilang aja langsung. Nggak usah ngomongin aku di belakang kayak gini. Indah, kamu yakin sama apa yang kamu omongin tadi?”
“Mas Yahya, istiqfar. Ini Cuma salah paham. Berapa lama Mas dengerin kita ngomong? Pasti nggak dari awal kan? Aku bisa….”
“Kamu anak baru di sini, nggak usah jadi sok penting!” sesaat kemudian dia pergi. Tanpa sepatah kata apapun aku tahu Indah takut. Wajahnya memerah dan air matanya mulai mengalir.
“Ndah, kamu tenang aja. Biar aku yang urus.” Tanpa mendengar jawaban apa-apa dari Indah, aku berlari menyusul Yahya. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sangat menyesal dengan obrolanku dan Indah tadi. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan penjelasan.
Aku berlari mengejar langkah besar Yahya. Kerudungku tergerai-gerai dimainkan angina malam yang dingin. Entah berapa lama dan berapa jauh aku berlari, sampai aku tiba di depan sebuah surau yang tak terawat. Disitu aku melihat sosok Yahya, kemudian aku mendekatinya perlahan.
“Mas Yahya.”
“Mau ngapain kamu? Bukannya kamu paling anti deket sama cowok.”
“Mas, aku nggak mau ada salah paham.”
“Kita buka muhrim!!”
“Mas Yahya dengar dulu penjelasanku. Indah nggak salah, jangan marahi dia. Demi Allah ini semau karena….”
“Karena apa?! Jawab!”
“Karena aku nggak tahan sama sikap Mas Yahya selama ini. Sebelumnya aku minta maaf. Aku hanya ingin bisa sholat tanpa ada suara berisik, bias ngaji tanpa ada yang berteriak ‘hey berisik’. Aku juga sudah sering membuat santri-santriku menunggu terlalu lama di masjid karena aku terlambat. Mas, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Aku ini manusia biasa yang punya batas kesabaran.”
“Jangan sebut nama itu di depanku! Aku benci Dia.”
“Astaqfirullah… Mas, tolong hapus kebencian itu. Jangan sampai kamu dilaknat….”
“Buat apa aku perduli?! Toh Dia juga nggak pernah perduli dengan perasaanku.” Saat itu juga air mataku mengalir. “Dengan mudahnya Dia ambil nyawa ayahku. Bahkan untuk menyaksikan jenazah beliaupun aku tidak diijinkan. Tanpa makam, tidak ada nisan wangi yang terukir nama ayah kebanggaanku. Dia tidak pernah perduli dengan perasaanku….”
“Tapi karena rahmat-Nya juga, kamu bias terlahir dan hidup hingga sekarang. Kamu bias bernapas, berjalan, melihat, berbicara, tidur, bahkan sakitpun itu karena rahmat dari-Nya. Mas, masih ada kesempatan untuk bertaubat. Kamu sudah terlalu jauh, jangan buat dirimu jadi lebih jauh lagi. Kalau kamu mau aku bisa Bantu.”
“Aku nggak butuh bantuan kamu. Kamu Cuma cewek kuper yang nggak tahu apa-apa….”
“Setidaknya aku tahu mana yang benar dan mana yang salah.”
“Kamu bias berkata seperti itu karena kamu nggak tahu apa yang aku rasakan. Kamu nggak akan bisa mengerti bagaimana sakitnya kehilangan orang yang kita sayang. Betapa hancurnya hati kamu mendengar bahwa orang yang paling sayangi telah meninggal tanpa deketahui jasadnya. Kamu nggak akan bisa mengerti. Itu karena kamu hanya anak kecil yang bisanya hanya minta uang dan menyusahkan orang tua….”
“Kamu pikir bagaimana perasaanku saat aku tahu bahwa aku ini hanya anak pungut?!” tanpa sadar aku mengatakan apa yang seharusnya tidak aku katakan. Tapi anehnya, aku sama sekali tidak menyesal. Mungkin sudah saatnya orang tahu siapa aku.
“Apa maksud kamu? Anak pungut?”
“Iya, aku yang nggak tahu apa-apa ini adalah anak yang dipungut dari jalanan. Orang tua angkatku menemukanku saat aku masih bayi, tepat di tepi jalan, dekat tong sampah.”
Dan dimulailah cerita tragisku malam itu. Aku mengatakan semuanya. Dari mulai orang tua angkatku membawaku pulang bersama mereka, membiarkaku tetap bertahan hidup, merawatku, dan menyiksaku padalah aku hanya melakukan kesalahan kecil. Bahkan aku juga mengatakan dosa yang pernah aku lakukan. Bahwa aku memutuskan untuk berkerudung hanya demi menutupi luka-luka dam memar yang diberikan kedua orang tua angkatku. Sampai aku mulai menyadari betapa pentingnya kerudung ini. Ya Alla, aku benar-benar tidak memikirkan akibat bila dia menetahui ini semua. Tapi aku terlanjur menceritakannya. Apapun resikonya, aku terima. Ya Khalik, Kau akan tunjukkan padaku jalan yang benar. Meskipun dia akan berpikir aku anak haram, dan menyebarkan aib ini pada semua orang. Hingga orang-orang akan membenciku, dan mulai menjauhiku.
“Jadi kau….”
“Aku ini bisa dibilang anak haram. Tapi aku tidak pernah menyalahkan Allah apalagi membenci-Nya seperti kau. Bahkan aku berusaha menebus kesalahan mereka yang telah menyia-nyiakanku, dengan mempertaruhkan hidupku.” air mataku belum berhenti mengalir, dan kerudungku basah karenanya. Ya Allah beri aku kekuatan. Setidaknya untuk berlari pulang ke kost.
***

Fajar yang indah. Sayang, hatiku masih diliputi mendung. Ini sudah hari kelima setelah kejadian malam itu. Sejak saat itu aku meninggalkannya di lapangan basket, aku belum pernah melihatnya lagi. Dia juga tidak lagi mengganggu sholatku, mengotori airwudhuku, berteriak saat aku mengaji, atau menghambatku agar aku terlambat ke masjid. Tapi hal itu tidak membuatku lega. Justru aku merasa resah karenanya. Ya Allah, ada apa lagi ini….
Sore ini aku kembali harus berangkat ke masjid untuk mengantar ngaji santri-santriku. Persis yang aku lakukan setiap hari Minggu sore. Rasanya pun sama. Resah dan takut kalu-kalu Yahya akan melakukan hal-hal jahil seperti biasanya. Dan sampai di depan gerbang aku melihatnya menunggu seseorang. Aku tidak berani berkata apa-apa, menatap wajahnya saja aku gemetar.
“Kinar….” ini pertama kalinya dia memanggil namaku. “Nggak nyangka, aku masih ingat cara wudhu, cara sholat, dan aku juga bisa kembali mengingat wajah almarhum ayah.” seperti ada petir di sing bolong saat ia berkata demikian.
“Mas Yahya benar-benar mau bertobat?”
“Ya, seminggu ini aku berusaha untuk kembali menemukan jalan lurus yang Dia ridhoi. Rasanya sangat sulit. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku sampai aku bisa menjadi sekafir ini.”
“Jangan tanya ’kenapa aku’. Karena itu hanya akan membuatku semakin lemah dan terpuruk. Allah Maha Pengampun. Dia yang akan membantumu.” kemudian aku melangkah pergi. Tapi dia menghentikanku lagi. “Santri-santriku sudah menunggu di masjid. Aku tidak ingin mereka menunggu lebih lama lagi. Sudah terlalu sering.”
“Aku hanya ingin berterima kasih, sekaligus minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Kalau disebutkan satu persatu kasihan santri-santrimu.”
“Alhamdulillah.” Air sejuk embun serasa menetesi gurun hatiku. “Aku memaafkan semuanya, dan terima kasih kembali. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut mengajar ngaji di masjid. Biar santri-santri bisa jadi juara qira’ atau juara azan seperti kamu. Tapi, aku nggak memaksa kalau kamu nggak tertarik.”
“Insya Allah.”
Hff….
Aku tidak dapat menyembunyikan kelegaan hatiku. Semuanya menjadi telibat begitu indah. Perjuanganku membantu Yahya untuk menemukan-Nya kembali ternyata tidak sia-sia. Aku berharap Kau akan mengampuni semua dosa-dosanya.
***

Pada suatu sore, di masjid.
“Mabak Kinar, katanya mau ada guru ngaji baru buat kita. Kenapa sampai sekarang belum datang?”
“Sabar, sayang. Mungkin sebentar lagi. Kita ngaji dulu saja, ya.”
Gelisahku timbul kembali. Aku takut Yahya tidak dating. Mungkinkah dia akan kembali khilaf dan semakin menjadi?” Ya Allah, di mana Yahya sekarang. Aku benar-benar khawatir. Di tengah kekhawatiranku itu tiba-tiba,
“Assalamu’alaikum. Maaf saya terlambat. Tadi habis sholat ashar baca Al Qur’an sebentar, tapi keterusan sampai sekarang.”
“Nggak apa-apa. Anak-anak, kenalkan guru baru kalian. Kak Yahya.”
Akhirnya semuanya selesai. Tidak sia-sia aku mempertahankan diri di kost itu. Aku bisa membuatnya kembali kepada Allah SWT. Kembali ke jalan yang seharusnya dia tempuh. Dan aku yakin dia belum begitu terlambat. Semoga ini tidak hanya untuk sementara. Bukan kebahagiaan sesaat. Semoga aku masih bisa membuatnya untuk mempertahankan jalan ini. Dan semoga aku bisa mempercayai janji dan harapannya saat melamarku beberapa hari yang lalu.
***


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Allah Is The Most Forgiving Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan