BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Proses
globalisasi bersama
gagasan-gagasannya yang tidak seimbang saat ini telah menyebabkan bangsa-bangsa
dunia ketiga dalam posisi sulit, terutama dalam rangka mempertahankan jati
dirinya. Karena globalisasi adalah sebuah proses penaklukan budaya, upaya
mempertahankan jati diri ini adalah mekanisme melestarikan diri sebagai sebuah
bangsa. Bangsa yang takluk secara budaya, disukai atau tidak, akan mengambil
budaya penakluk tersebut tanpa melalui sebuah proses kreatif.
Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia,
cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru.
Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa
Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan
(eliminasi) identitas. Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat
Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas
mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas
yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan komunis, yaitu Pancasila
Masyarakat yang melaksanakan perbuatan bertentangan
dengan Pancasila, seperti korupsi, KKN, nepotisme, merampok, mempermasalahkan
poligami tapi membiarkan perselingkuhan, melakukan perjudian, berzina,
minum-minuman keras, dan lain-lain, baik yang dilaksanakan oleh individu maupun
gerombolan (jamaah). Semua itu perbuatan yang sangat bertentangan dan tidak
berpihak kepada Pancasila. Dengan kata lain, Pancasilanya lepas saat mereka
sedang melakukan perbuatan terlarang itu. Di bidang perekonomian, misalnya,
banyak pergeseran ke arah kapitalis dimana swastanisasi dari sektor usaha yang
melayani hajat hidup masyarakat kini sudah banyak. Atau, pengalihan sektor
informasi ke swasta, yang merupakan pergeseran identitas Pancasila ke
Kapitalis/Liberalis.
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah membuka cakrawala kepada pembaca tentang krisis identitas yang dialami
bangsa Indonesia dalam beberapa dekade ini, apakah penyebab hal tersebut dan
bagaimana cara mengatasi supaya krisis identitas ini mampu dibendung serta
tidak memberikan dampak negatif kepada keutuhan budaya dan kedaulatan negara
ini.
C. Metode Penulisan
Dalam hal ini penulis menggunakan :
Dalam hal ini penulis menggunakan :
a.
Metode deskriptif,
sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang krisis Identitas yang dialami bangsa Indonesia .
b. Penelitian kepustakaan
Dalam menulis makalah
ini penulis mencari referensi dan
keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan Identitas
Nasional.
BAB
II
PERMASALAHAN
A.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Dalam
makalah ini penulis mengidentifikasi masalah yang perlu dibahas dan perlu
dijelaskan.permasalahan tersebut adalah :
- apakah yang dimiliki Indonesia yang merupakan identitas Bangsa Indonesia?
- seberapa pentingkah kita sebagai warga negara berpartisipasi dalam pengembangan jati diri bangsa Indonesia?
- bagaimana cara kita untuk mengembangkan identitas bangsa Indonesia?
- Apakah tujuan mengembangkan kapasitas kreatif dalam rangka membangun jati diri bangsa?
B.
BATASAN
MASALAH
Dalam
makalah ini penulis membatasi pembahasan tidak terlalu luas dan terfokus, maka dalam
makalah ini penulis hanya membahas tentang krisis indentitas dan jati diri
bangsa Indonesia
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PANCASILA
SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL
Identitas
nasional secara terminologis adalah suatu cirri yang dimiliki oleh suatu bangsa
yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang
lain.Berdasarkan perngertian yang demikian ini maka setiap bangsa didunia ini
akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan,sifat,cirri-ciri
serta karakter dari bangsa tersebut.Berdasarkan hakikat pengertian identitas
nasional sebagai mana di jelaskan di atas maka identitas nasional suatu Bangsa
tidak dapat di pisahkan dengan jati diri suatu bangsa ataulebih populer disebut
dengan kepribadian suatu bangsa.
Penetapan
Pancasila sebagai azas selayaknya didukung oleh masyarakat Indonesia dengan
menampilkan jati dirinya yang khas, yaitu identitas bangsa. Manakala masyarakat
tidak menampilkan identitas ini sesungguhnya berarti Pancasila tidak
dilaksanakan dalam berkehidupan di masyarakat. Sebenarnya Pancasila akan
mengangkat bangsa ini sebagai salah satu warna dari berbagai identitas yang ada
di masyarakat dunia, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Di era reformasi Pancasila tenggelam, baik dalam tataran
pelaksanaan maupun pembicaraan di kedai-kedai kopi pinggir jalan. Para pemimpin
tidak bangga membawa/membicarakan Pancasila. Bahkan, membawa/membicarakan
Pancasila dianggap menjadi beban psikologis dalam pentas reformasi yang hingga
kini belum menunjukkan perubahan jelas seperti yang diinginkan masyarakat.
Maka, lahirlah istilah-istilah orde baru, orde reformasi, dan sebagainya, di
masyarakat. Bagi sebagian pemimpin, masyarakat yang membicarakan Pancasila
takut dijuluki pengikut/penerus orde baru.
Pemimpin besar Bung Karno pernah mengatakan, bangsa
Indonesia harus mandiri dan tidak ikut-ikutan pada budaya bangsa lain. Sekarang
justru masyarakat kita telah berperilaku kapitalis/liberalis, yang artinya
telah mengubah budaya kita sendiri. Lihat saja, kontes ratu kecantikan dengan
dalih macam-macam. Serta, penafsiran yang salah terhadap perempuan dan
poligami, pornografi yang dianggap seni, dan lain-lain. Itu semua menjauhkan
gagasan suatu negeri dari cita-cita masyarakat madani atau masyarakat adil dan
makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Apalagi, untuk menuju masyarakat ini kita harus
membangun masyarakat yang rabbani, insani, akhlaqi, dan tawazun. Hablumminannas
wa hablumminallah. Masyarakat yang jauh dari keempat hal diatas berarti jauh
pula dari perwujudan cita-citanya, serta akan kehilangan identitas sebagai bangsa
Indonesia.
Kaum kapitalis/liberalis gencar mengekspor tatanan yang
menjadi identitasnya, melalui bantuan-bantuan dan pinjaman, baik program
pembangunan masyarakat, pendidikan, kesehatan. Dengan isu demokrasi gender, dan
lain-lain. Di sini, bukan berarti pancasila paham yang tertutup. Justru
Pancasila mengajarkan sikap supel, luwes, dan saling menghargai kemerdekaan
bangsa lain. Dalam pergaulan dunia pun paham Pancasila menganut sistem politik
bebas aktif. Ini menujukkan Indonesia memiliki identitas sendiri dalam
percaturan dunia.
Guna mewujudkan identitas yang khas, masyarakat
Indonesia hendaknya berupaya sungguh-sungguh dalam mengarahkan akal pikiran dan
kecenderungan dengan satu arah yang dibangun di atas satu azas, yaitu
Pancasila. “Azas tunggal” yang digunakan dalam pembentukan identitas merupakan
hal yang penting diperhatikan. Kelalaian dalam hal ini akan menghasilkan
identitas yang tidak jelas warnanya.
B.
PENTINGNYA
MENGEMBANGKAN IDENTITAS BANGSA
Cukuplah Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat merasa
terjajah oleh bangsa lain. peristiwa problema perbatasan wilayah bangsa ini
memanas di wilayah Ambalat. Itulah suatu peristiwa yang mengancam mencoreng
jati diri bangsa ini. Oleh karena itu, kini saatnya kita sebagai bangsa dan
warga Negara yang baik dan memiliki jiwa nasionalisme tinggi, tentu harus
mempropagandakan sebuah proses mulia untuk mengembalikan jati diri bangsa
ini.
Mengembalikan sesuatu yang hilang itu memang tidaklah
mudah semudah membalik telapak tangan, namun jika sesuatu yang hilang itu
dicari oleh segenap masyarakat bangsa ini, maka bukan mustahil jati diri itu akan mewarnai
kehidupan berbangsa kita yang mungkin akan mengantarkan kita menjadi bangsa
yang disegani oleh bangsa lain seperti dulu yang Indonesia sempat dikenal
dengan macan asia pada jaman orba dulu.
Pada saat lintasan reformasi mengikuti
jalur yang tidak jelas, dan lamban, serta menghadapi tantangan-tantangan
multi-dimensi. Bangsa Indonesia menghadapi tantangan untuk memanfaatkan seluruh khasanah
kekayaan budayanya untuk tampil dengan penyelesaian kreatif. Bangsa Indonesia
tidak saja harus dengan penuh keberanian mengambil khasanah budaya dan ilmu
pengetahuan universal yang tersedia, namun harus mampu merumuskan solusi unik
sebagai bagian dari upayanya untuk tetap lestari dalam percaturan sejarah.
Dalam merumuskan
sebuah jati diri bangsa
ini bukanlah hak sebuah generasi atau kelompok tertentu bangsa ini. Jati
diri sebuah bangsa adalah sebuah terus menerus yang dibayangkan bersama secara
sadar oleh anggota bangsa tersebut. Ini berarti bahwa jati diri bangsa merupakan
sebuah proses kreatif bangsa tersebut untuk mempertahankan diri sebagai sebuah
bangsa dalam sebuah pertarungan dan penaklukan budaya di dunia.
C. CARA
MENGEMBANGKAN IDENTITAS BANGSA
Mengembangkan jati
diri identitas ini bisa dilakukan dengan cara membakar semangat masyarakat
untuk serius dan sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan nilai-nilai
Pancasila, serta mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. mengembalikan jati diri bangsa untuk menuju masa depan yang lebih baik dengan sebuah jati diri
yang memang pantas kita banggakan baik
di negeri sendiri maupun di mata negeri lain. Namun semua proses tersebut tak
lebih hanya dalam khayalan belaka jika tidak ada partisipasi dari semua elemen
bangsa ini.
Proses
kreatif bangsa adalah upaya bangsa tersebut untuk melakukan evaluasi diri
secara terus menerus, keberanian meninggalkan aspek-aspek negatif budaya
sendiri, dan mengambil aspek-aspek positif budaya main stream,
serta mengambil keputusan atas postur budaya mereka sendiri dengan penuh
tanggungjawab. Masyarakat atau bangsa Eropa adalah contoh mutakhir yang dapat
kita lihat.
Dalam
kaitan inilah, pendidikan merupakan sebuah upaya sadar untuk membangun
kapasitas kreatif bangsa ini. Kreativitas sebuah bangsa barangkali merupakan
satu-satunya aspek yang terpenting dari bangsa tersebut karena, pertama, bangsa
adalah sebuah komunitas yang diimajinasikan (an imagined society). Perlu
segera dikatakan, bahwa jati diri bangsa hanyalah atribut (sifatan) yang
dilekatkan secara konsensual oleh bangsa tersebut. Kedua, pendidikan adalah
upaya mengantar peserta didik ke masa depan yang penuh gejolak, ketidakpastian,
dan ketidakjelasan. Hanya bangsa kreatif yang akan mampu bertahan, dalam arti
menemukan jati dirinya, dalam lingkungan tidak pasti, dan tidak jelas tersebut. Menjadi
kreatif berarti mengambil keputusan untuk bertanggungjawab.
Segera
perlu dicermati, bahwa di samping kapasitas kreatif adalah pondasi kepemimpinan
(leadership), kapasitas kreatif manusia lebih banyak ditentukan oleh
kecerdasan emosional, moral, spiritualnya. Memimpin pada dasarnya adalah
memilih pilihan-pilihan moral, dan memilih jati (citra) diri. Dalam hal ini,
kompetensi berbahasa dan berkomunikasi (terutama mengarang, bercakap-cakap,
mendengarkan dengan penuh perhatian) merupakan kompetensi yang instrumental.
Kecerdasan akal (IQ) yang bersifat analitik, vertikal-sikuensial, hanya
menyusun kurang dari 20 persen kapasitas kreatif manusia. Pemujaan berlebihan
pada kompetensi kognitif, sains, dan matematika selama ini, telah memberi
gambaran yang keliru mengenai kompetensi yang perlu ditumbuhkembangkan bagi
warga negara. Ditambah dengan proses pembelajaran yang tidak berpusat pada
siswa, kapasitas kreatif siswa menjadi tidak berkembang secara optimal, bahkan dalam
banyak kasus justru
dimatikan.
Kapasitas
kreatif yang rendah bangsa Indonesia sebagian ditunjukkan oleh statusnya
sebagai konsumen sains dan teknologi. Perlu dicermati juga, bahwa kapasitas
kreatif ini merupakan penyusun modal buatan bangsa ini. Ketergantungan
pada modal alamiah merupakan bukti langsung betapa kapasitas kreatif bangsa ini
tidak berkembang, sehingga kemakmurannya diperoleh dengan cara melakukan
eksploitasi kekayaan alamnya. Pada saat lingkungan kita semakin rusak, dan kita semakin
miskin, negara-negara kreatif semakin kaya, lingkungan mereka semakin
terpelihara, dan menjajah kita secara budaya.
Mengembangkan
kapasitas kreatif dalam rangka membangun jati diri bangsa harus dipijakkan pada
upaya menjadikan peserta didik sebagai pusat proses pembelajaran, dan memberi
kesempatan pada peserta didik untuk mengalami proses pembelajaran
tuntas. Desain kurikulum saat ini kurang tepat, karena dengan beban
seberat saat ini, baik peserta didik maupun guru/dosen hanya tertarik dengan
aspek-aspek kognitif –analitik peserta didik, sehingga tidak terjadi
pembelajaran tuntas. Peserta didik berkapasitas kreatif memadai akan mampu
membangun jati dirinya
sendiri, dan sebagai warga negara akan sanggup secara aktif melakukan
transaksi-transaksi sosial yang diperlukan untuk membangun bangsanya
sendiri. Yang paling menyedihkan
ialah bahwa keluarga melahirkan anak-anak, namun kurang mampu mengembangkan
multiple inteligence, dan kemudian diserahkan ke sekolah. Oleh karenanya harus
digalakkan “pendidikan keluarga “sebagai wadah tumbuh kembang manusia cerdas dan kompetitif. bahwa kelemahan utama pendidikan kita bukan hanya
pada materinya; tapi juga proses pendidikan itu sendiri secara keseluruhan.
Titik berat pada transfer ilmu pengetahuan yang hanya bersifat kognitif, dan
tidak adanya pengajaran dan keteladanan, akhirnya membuat pendidikan kita hanya
menghasilkan manusia yang tidak utuh. Bukan hanya tidak memiliki kecakapan
emosional, tetapi juga kehilangan karakter dan jati diri.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia tidak saja harus
dengan penuh keberanian mengambil khasanah budaya dan ilmu pengetahuan
universal yang tersedia, namun harus mampu merumuskan solusi unik sebagai
bagian dari upayanya untuk tetap lestari dalam percaturan sejarah.
Bangsa
yang memiliki jati diri adalah bangsa yang warga negaranya memiliki jati
diri. Upaya meneguhkan jati diri bangsa dapat dilakukan dengan membangun pendidikan
yang mengembangkan kapasitas kreatif dan kepemimpinan peserta didik sebagai
warga negara
yang akan menentukan kemampuan bangsa ini menemukan jati dirinya sendiri
Ini berarti bahwa jati diri bangsa merupakan sebuah
proses kreatif bangsa tersebut untuk mempertahankan diri sebagai sebuah bangsa
dalam sebuah pertarungan dan penaklukan budaya di dunia. Hanya bangsa kreatif
yang akan mampu bertahan, dalam arti menemukan jatidirinya, dalam lingkungan
tidak pasti, dan tidak jelas tersebut.
B.
SARAN
Oleh karenanya harus digalakkan “pendidikan keluarga “sebagai wadah tumbuh
kembang manusia cerdas dan kompetitif.
Karena pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan
utama dalam pembentukan karakter warga negara yang memiliki jati diri.
Pengajaran dan keteladanan
di dunia pendidikan perlu ditingkatkan karena mampu menghasilkan manusia yang utuh memiliki kecakapan
emosional, karakter, dan jati diri. Karena
dalam perkembangan sekarang ini peserta didik maupun guru/dosen hanya tertarik
dengan aspek-aspek kognitif.
DAFTAR
PUSTAKA
Gino.2006.Pengetahuan
Kewarganegaraan.Jakarta:Yudhistira
Listyarti,Retno.2007.Pendidikan
Kewarganegaraan.Jakarta:Gelora Aksara Pratama
Winarno.2007.Paradigma
Baru Pendidikan kewarganegaraan.Surakarta:Bumi Aksara
http://bibby10.student.umm.ac.id/2010/07/15/mengembalikan-jati-diri-bangsa/ http://dmrosyid.wordpress.com/2007/06/16/membangun-jati-diri-bangsa-sebuah-tantangan-kreatif/
0 komentar:
Posting Komentar