Jika ada remaja bertanya “Pacaran itu boleh, nggak sih?” Jawaban bijak apa yang akan Anda berikan?
Remaja adalah orang buta yang baru mendapat mata. Indahnya dunia yang tertutup tirai kanak-kanak belum lama tersingkap. Warna-warninya begitu mempesona. Rasanya lebih manis daripada gula. Salah hal yang indah dan manis itu adalah cinta. Satu kata yang menjadi santapan harian remaja.
Warna cinta makin meriah manakala kapitalis ikut menyentuhnya. Cinta dikemas jadi serba wah. Berbagai produk diberi label cinta. Film, lagu, parfum, kosmetik, makanan, minuman, dan siapa yang tak mencicipi, „kampungan banget, loe!” Remaja yang dicekoki cinta setiap hari akhirnya terkontaminasi. Apalagi cinta bermetamorfasa jadi aneka bentuk. Awalnya temen jadi temen. Mulanya cuma teman diskusi, ingin jadi lebih. Karena bentunya yang maya cinta menginfeksi berbagai kalangan, tak peduli anak kyai atau anak berandalan. Semua bisa terpanah cinta.
Bagi remaja yang sejak kecil bersentuhan dengan nilai-nilai islam pasti tahu, cinta adalah rasa yang harus dikelola sebaik-baiknya. Tapi, meskipun sudah mengerti, toh banyak juga yang tak kuasa menahan gejolak cinta. Maka dari itu tak usah heran kalau ada anak rohis, jilbaber atau ikhwan yang diam-diam berpacaran. Jika sudah begini bagaimana reaksi Anda?
Bisa jadi Anda akan melarang, “Pacaran itu nggak boleh. Islam tidak mengenal istilah pacaran. Yang ada ta’aruf!“ Atau ada yang lebih keras, ”Pacaran itu hukumnya haram! HARAM! Perbuatan SYETAN LAKNATULLAH!“ Peringatan itu disampaikan dengan kata-kata keras, tajam dan wajah merah menahan marah. Jika anda berada di posisi si remaja, apa reaksi anda. Tersenyum lugu, mencoba tegar, atau meringis ketakutan?
Dalam sebuah kajian, Ustad Cinta menawarkan sebuah pendekatan positif. Kalau ada remaja yang ingin pacaran. Jangan buru-buru melarang. Tersenyumlah padanya, bicara baik-baik dengan penuh kelembutan. Bolehkan saja si remaja berpacaran, tapi dengan syarat:
1. Silahkan pacaran asal jangan sampai ketahuan Tuhan
Ya, silahkan si remaja pacaran asal tidak ketahuan Tuhan. Mau di dalam gua, di tengah hutan, di puncak gunung yang sepi, di kuburan tengah malam, terserah. Pokoknya tempat yang tidak Tuhan ketahui.
2. Silahkan pacaran asal jangan asyik berdua
Silahkan pacaran saja tapi jangan pernah berduaan. Ajaklah adik, kakak, orang tua, om, tante, kakek, nenek, tetangga, pokoknya rame-rame. Jika cuma ingin berdua, lebih baik di rumah saja bersama mama dan papa.
Setelah menguraikan dua syarat ini, mungkin remaja akan mengeluh, ”Ye... sama aja bohong.“
Memang. Dua syarat di atas hanyalah taktik. Sebuah pendekatan yang lebih bersahabat. Pesan yang ingin disampaikan juga larangan, tapi disampaikan lebih manis. Si remaja akan tersenyum setelah mendengar nasehat ini. Bandingkan jika belum apa-apa si remaja sudah dilarang, dihakimi, dimarahi. Ia akan memasang jarak dan enggan curhat lagi dengan orang yang melarang.
Mungkin pendekatan positif masih terasa asing bagi kita. Sejak kecil kita terbiasa dididik dengan pendekatan negatif:
”Jangan nakal! Nanti ditangkap polisi.“
”Kalau bandel nggak akan mama kasih uang Jajan.“
”Shalat yang bener! Kalau nggak, kamu bisa masuk neraka!“
Padahal kita bisa menasehati dengan bijak. Memilih kata dan kalimat yang tepat, disampaikan dengan penuh kelembutan.
”Jadi anak manis, ya. Supaya Mama dan papa tambah sayang sama kamu“
”Ayo yang rajin. Nanti uang jajannya dikasih lebih“
”Shalat ya, Sayang. Biar kita sama-sama masuk surga.“
Pendekatan positif. Memang masih asing. Tapi jika hasilnya lebih baik, kenapa kita tak mencobanya. Selamat mencoba! (Koko Nata)
Sumber: Ustad Cinta
kokonata.multiply.com
Remaja adalah orang buta yang baru mendapat mata. Indahnya dunia yang tertutup tirai kanak-kanak belum lama tersingkap. Warna-warninya begitu mempesona. Rasanya lebih manis daripada gula. Salah hal yang indah dan manis itu adalah cinta. Satu kata yang menjadi santapan harian remaja.
Warna cinta makin meriah manakala kapitalis ikut menyentuhnya. Cinta dikemas jadi serba wah. Berbagai produk diberi label cinta. Film, lagu, parfum, kosmetik, makanan, minuman, dan siapa yang tak mencicipi, „kampungan banget, loe!” Remaja yang dicekoki cinta setiap hari akhirnya terkontaminasi. Apalagi cinta bermetamorfasa jadi aneka bentuk. Awalnya temen jadi temen. Mulanya cuma teman diskusi, ingin jadi lebih. Karena bentunya yang maya cinta menginfeksi berbagai kalangan, tak peduli anak kyai atau anak berandalan. Semua bisa terpanah cinta.
Bagi remaja yang sejak kecil bersentuhan dengan nilai-nilai islam pasti tahu, cinta adalah rasa yang harus dikelola sebaik-baiknya. Tapi, meskipun sudah mengerti, toh banyak juga yang tak kuasa menahan gejolak cinta. Maka dari itu tak usah heran kalau ada anak rohis, jilbaber atau ikhwan yang diam-diam berpacaran. Jika sudah begini bagaimana reaksi Anda?
Bisa jadi Anda akan melarang, “Pacaran itu nggak boleh. Islam tidak mengenal istilah pacaran. Yang ada ta’aruf!“ Atau ada yang lebih keras, ”Pacaran itu hukumnya haram! HARAM! Perbuatan SYETAN LAKNATULLAH!“ Peringatan itu disampaikan dengan kata-kata keras, tajam dan wajah merah menahan marah. Jika anda berada di posisi si remaja, apa reaksi anda. Tersenyum lugu, mencoba tegar, atau meringis ketakutan?
Dalam sebuah kajian, Ustad Cinta menawarkan sebuah pendekatan positif. Kalau ada remaja yang ingin pacaran. Jangan buru-buru melarang. Tersenyumlah padanya, bicara baik-baik dengan penuh kelembutan. Bolehkan saja si remaja berpacaran, tapi dengan syarat:
1. Silahkan pacaran asal jangan sampai ketahuan Tuhan
Ya, silahkan si remaja pacaran asal tidak ketahuan Tuhan. Mau di dalam gua, di tengah hutan, di puncak gunung yang sepi, di kuburan tengah malam, terserah. Pokoknya tempat yang tidak Tuhan ketahui.
2. Silahkan pacaran asal jangan asyik berdua
Silahkan pacaran saja tapi jangan pernah berduaan. Ajaklah adik, kakak, orang tua, om, tante, kakek, nenek, tetangga, pokoknya rame-rame. Jika cuma ingin berdua, lebih baik di rumah saja bersama mama dan papa.
Setelah menguraikan dua syarat ini, mungkin remaja akan mengeluh, ”Ye... sama aja bohong.“
Memang. Dua syarat di atas hanyalah taktik. Sebuah pendekatan yang lebih bersahabat. Pesan yang ingin disampaikan juga larangan, tapi disampaikan lebih manis. Si remaja akan tersenyum setelah mendengar nasehat ini. Bandingkan jika belum apa-apa si remaja sudah dilarang, dihakimi, dimarahi. Ia akan memasang jarak dan enggan curhat lagi dengan orang yang melarang.
Mungkin pendekatan positif masih terasa asing bagi kita. Sejak kecil kita terbiasa dididik dengan pendekatan negatif:
”Jangan nakal! Nanti ditangkap polisi.“
”Kalau bandel nggak akan mama kasih uang Jajan.“
”Shalat yang bener! Kalau nggak, kamu bisa masuk neraka!“
Padahal kita bisa menasehati dengan bijak. Memilih kata dan kalimat yang tepat, disampaikan dengan penuh kelembutan.
”Jadi anak manis, ya. Supaya Mama dan papa tambah sayang sama kamu“
”Ayo yang rajin. Nanti uang jajannya dikasih lebih“
”Shalat ya, Sayang. Biar kita sama-sama masuk surga.“
Pendekatan positif. Memang masih asing. Tapi jika hasilnya lebih baik, kenapa kita tak mencobanya. Selamat mencoba! (Koko Nata)
Sumber: Ustad Cinta
kokonata.multiply.com