Toleransi, Kebhinekaan dan Penyesatan Umat
Oleh: Syaikhina KH. Muh. Najih Maimoen
Saat ini muncul sekelompok orang yang merasa paling memiliki Indonesia, paling berdarah Merah Putih. Pemangku tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling ber-Bhineka Tunggal Ika, paling paham Pancasila, dan UUD 1945. Sangat gegabah jika mereka mengatakan, bahwa Indonesia saat ini lagi terancam kebhinekaannya. Sungguh eroni jika mereka mengatakan bahwa umat islam itu golongan ekslusif yang tidak paham dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wajar ketika ada arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan. Aspirasi merupakan ekspresi dan hak setiap warga Indonesia. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman ke-Indonesiaan.
Wajar umat islam marah, jika yang dilecehkan itu Al Qur'an, kitab suci pedoman umat islam. Wajar mereka tersinggung ketika Rasulullah SAW yang mereka cintai dan menjadi teladan umat ini direndahkan. Apa yang dilakukan umat islam merupakan bentuk kewajiban sekaligus bukti dan ujian kecintaan dan keimanan mereka.
Aksi semacam itupun pernah terjadi pada jaman Belanda, disaat beberapa ormas islam yang berjumlah 35.000 orang turun ke jalan untuk melakukan Aksi Bela Islam, memprotes penistaan terhadap Baginda Rasulullah SAW oleh Djojodikoro, dalam tulisannya di harian Djawi Hisworo, pada tahun 1918. Tentara Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu didirikan oleh Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto untuk menuntut dan mendesak pemerintah Hindia Belanda dan Sunan Surakarta untuk segera mengadili Djojodikoro dan Martodarsono (pemilik surat kabar) atas kasus penistaan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut.
Pandangan negatif itu jelas tidak beralasan.
Lihatlah munculnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang dipelopori KH. Hasyim Asy'ari dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Resolusi Jihad, telah muncul Fatwa Jihad, setelahnya, muncul pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan. ketika Sarekat Islam dan Muhammadiyah memelopori pergerakan Islam untuk melawan penjajah menuju gerbang kemerdekaan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.
Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, dengan semua pengorbanannya.
Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam ditilap dengan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluk
nya" diganti secara diam-diam menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan yang dilakukan para wakil umat Islam itu demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masihkah diragukan komitmen dan pengorbanan umat islam untuk bangsa ini. Hanya karena ingin menuntut keadilan karena agamanya didholimi, lalu dicap sebagai biang ancaman kebhinekaan. Seakan kebhinekaan hanya milik segelintir orang yang ambisius ingin menguasai Indonesia selamanya.
Kenyataannya, justru sinyal perpecahan dan sikap intoleransi itu datang dari para elit politik yang membanggakan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pidato politik oleh Ketua Umum PDIP pada acara perayaan HUT ke-44 PDIP sebagai salah satu bentuk intoleransi dan penistaan terhadap Islam. Menimbulkan gesekan antar umat beragama dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pidato tersebut telah menciderai islam dan pancasila yang berketuhanan yang maha esa. Mereka menginginkan islam lemah, diam tidak punya nyali. Satu per satu ulama dan tokoh Islam dilaporkan ke pihak berwajib dengan berbagai tudingan. Berbagai kesalahan mereka terus dicari-cari. Opini pun terus dibangun, bahwa para ulama sebagai penggerak aksi yang mereka anggap sebagai pihak yang mengganggu dan merusak kebhinekaan. Ada upaya provokasi terhadap kelompok anti-Islam untuk melakukan perlawanan/ penolakan terhadap ulama. Diakui atau tidak, hal ini mengindikasikan adanya upaya kriminalisasi terhadap ulama.
Menguatnya kekuatan Islam yang direpresentasikan Aksi Bela Islam menunjukkan kuatnya dukungan dan ketundukan umat kepada para ulama, membuat takut kelompok status quo ataupun kelompok anti-Islam. Muncul kekhawatiran akan terancamnya kepentingan mereka di negeri ini, apalagi jika dibiarkan hal ini bisa memunculkan kebangkitan Islam. Maka berbagai cara dilakukan untuk menghadangnya. Lahirnya Perpu Nomor 2 tahun 2017 salah satu intimidasi dan bentuk pembunuhan karakterisasi islam. Dengan Perpu tersebut, Pemerintah bisa berbuat sewenang-wenang membubarkan ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan. Jelas ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemunduran berdemokrasi. Lahirnya Perppu tersebut kelihatan hanya berdasarkan kebencian pemerintah pada ormas tertentu dan ini hanya akan memunculkan sentimen anti pemerintah di kalangan ormas, dan justru akan lebih banyak lagi bermunculan ormas-ormas radikal lainnya.
Dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, agama harus ditempatkan pada tempat yang strategis. Tidak boleh diciderai, dinodai dan dinista. Umat islam tidak anti pancasila, umat islam hanya tidak terima bila syari'at islam disejajarkan dengan pancasila. Kami mengakui Pancasila sebagai filsasfat dan dasar negara, namun bukan sebuah ideologi. Jadi salah bila ada pernyataan "ideologi harus dilawan dengan ideologi" karena tidak sejajar.
Mari bersama-sama memiliki dan merawat Indonesia dengan otentik dan tidak egoistik. Saling berbagi, saling memahami tidak saling menguasai. Dengan dideklarasikannya Majlis Dzikir Hubbul Wathan pada tanggal 13 Juli 2017 semoga semakin memperkuat pilar empat, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45, bukan sebaliknya, untuk kepentingan politik sekuler-liberal.
Sarang, 22 Syawwal 1438 H.
Sumber: Ribath Darusshohihain
0 komentar:
Posting Komentar