Suatu saat ada seorang ulama besar yang juga Ahlul Kasf (mengetahui isi hati orang lain) kedatangan tamu beberapa ulama. Satu demi satu para ulama yang bertamu itu dipersilahkan masuk, akan tetapi ada satu ulama yang dibiarkan begitu saja dan tidak boleh masuk ke dalam rumahnya. Akhirnya setelah semua ulama pulang, tibalah satu ulama itu dipanggil. Namun setelah duduk berhadap-hadapan, ulama ahlul kasyf itu tidak menoleh dan menghiraukan sama sekali.
Ulama yang dipanggil itupun hanya bisa diam seribu bahasa sampai pada akhirnya ulama itu sedikit memberanikan diri berbicara kepada ulama mukasyafah itu :
"Wahai Syaikh, mengapa sekian lama engkau diam dan tidak menghiraukanku?
Apakah aku ini orang jahat?
Apakah perbuatanku jelek?
atau amal-amalku busuk?
ataukah engkau takabbur merasa lebih mulia, lebih terhormat dan lebih baik daripada aku?"
"Bukan begitu Syaikh, aku diam membiarkan engkau bukan karena aku sombong ataupun merasa lebih baik, Apalagi takabbur karena merasa lebih mulia.
Aku terlihat seperti tidak menghiraukan ini karena aku merasa kasihan kepadamu.
Sebab aku telah diberitahu Allah keadaanmu sesungguhnya,
makanya aku ingin berbicara empat mata denganmu!" Jawab sang ulama yang waskita itu.
"Maksudnya Syaikh?" Tanya ulama yang satu itu.
"Kita sama-sama tahu bahwa dunia ini adalah tempat menanam dan kelak hasilnya pun akan dipetik setelah kita meninggal dunia kelak".
Ulama "mukasyafah" melanjutkan, "Aku tahu dirimu itu adalah seorang ulama, punya ribuan santri, kamu pun sudah terkenal di seantero negeri ini, orasi-orasimu bisa membangkitkan semangat juang siapa saja yang mendengarkan, dan aku juga tahu bahwa kamu adalah ahli ibadah, puasa sunnahmu tidak pernah lepas, sholat malammu selalu terjaga, kepada fakir miskin engkau juga sangat perhatian" jawab ulama "mukasyafah" itu.
"lantas apa kesalahanku wahai Syaikh?" Tanya ulama itu dengan heran.
"Kau banyak menanam tapi sayang, tamanmu gersang atau ladangmu tandus yang akibatnya tanaman yang kamu tanam tidak akan panen di akherat kelak"
"Mengapa seperti itu Syaikh?" Tanya ulama itu dengan kaget.
"Sebab kamu menanam di tanah gersang, tanah tandus, bukan tanah subur, sehingga tanamanmu sia-sia atau tidak tidak berbuah apapun"
"Lantas yang dimaksud tanah tandus itu apa wahai Syaikh?" Tanya ulama itu
"Kamu sudah tahu bahwa hatimu itu adalah ladang, ladang untuk menanam bibit kebaikan,
Sayangnya ketika menanam bibit kebaikan itu hatimu kotor,
suka menggunjing orang lain,
suka merendahkan orang lain,
suka menfitnah orang lain,
meremehkan orang lain,
dan suka mengadu domba orang lain,
dan karena itulah bibit-bibit kebaikan yang kamu tanam tidak dapat tumbuh,
semua amalanmu mati karena pada saat itu perbuatanmu menghapus amal-amalmu". Jawab Sang Ahlul Kasyf.
"Apalagi bersamaan dengan itu kamu telah menanam tanaman dengan penyakit ujubnya", lanjut Sang Syaikh.
"Di mana letak ujub itu wahai Syaikh?" Tanya ulama itu dengan badan bergetar.
"Pada saat kamu bangga menjadi kyai, kamu bangga menjadi orang baik, terutama pada saat kamu menikmati ketika dihormati oleh banyak orang, maka pada saat itulah Ia menghapus semua amal yang kamu tanam.".
"Padahal kamu mengetahui bahwa Ad-Dailami meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, 'Bangga itu akan menghapus amalmu 70 tahun'". Jawab sang Syaikh.
0 komentar:
Posting Komentar