Mencari Tuhan
Hari itu aku tiba-tiba merasa gelisah... Guru agama masih sibuk di depan kelas, menjelaskan keterkaitan agamaku dengan agama mesir kuno dan agama orang Karo Kuno yang menyembah matahari dengan wajah yang begitu bangga...Aku, yang dibesarkan dalam tradisi Hindu yang sangat kuat.. merasa ada yang salah dengan rasa bangga yang ditunjukkan guruku di kelas 3 SMP saat itu..Perasaan bangga sebagai seorang yang kuat dan konsisten terhadap suatu ajaran yang benar... karena paling dulu ada sebelum agama lain (katanya begitu...)
Lalu tanda tanya yang besar memenuhi kepalaku..Kenapa harus menyembah matahari (dewa surya)? Kenapa harus menyembah dewa dan batara kalau dewa dan batara itu diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dan hanya merupakan percikan cahaya dari Sang Hyang Widhi (Yang Maha Menciptakan)? Kenapa tidak langsung saja menyembah sumber cahayanya? Kenapa harus melalui perantara para leluhur, kalau Tuhan itu memang Maha segalanya? Mestinya Ia juga Maha mendengar, sehingga ia bisa mendengar langsung doa dan permintaanku?
Lalu aku mulai melakukan sesuatu yang lain...Aku tidak mau lagi melakukan urut-urutan yang seharusnya dilakukan dalam ritual "mepuspa" dalam persembahyangan yang biasanya dimulai dengan :
- Menyembah Roh para Leluhur
- Menyembah Dewa Batara
- Menyembah Sang Hyang Parama Kawi/Sang Hyang Widhi..
Aku tetap melakukan puspa 3 kali.. tapi dalam hatiku aku katakan...
- Menyembah Sang Hyang Widhi..
- Menyembah Sang Hyang Widhi..
- Menyembah Sang Hyang Widhi...
Itu awal kegelisahan dan pencaharianku saat aku mulai menginjak remaja...
Aku mulai tertarik mengamati agama lain. Kebetulan di dekat rumah temanku ada sebuah gereja. Tapi aku menjadi tidak berminat untuk lebih lanjut mencari tahu. Karena kata temanku...dosa orang kristen bisa dihapus dan ditebus oleh Tuhannya..Dengan konsep karma pahala bahwa setiap perbuatan pasti berakibat dan reinkarnasi (kelahiran kembali dimana dosa-dosa terdahulu tetap ditanggung sampai kelahiran yang akan datang : denganperubahan wujud menjadi mahluk lain atau perubahan kasta sesuai dengan pahala yang dikumpulkan) yang sangat kuat menancap di otakku, aku langsung menolak hal itu. Mana bisa dosa dihapus begitu saja
dan ditebus begitu saja....sangat tidak pantas dan terlalu seenaknya...kasihan sekali Tuhannya orang kristen itu harus menebus dosa sekian banyak pendosa. Apalagi katanya Tuhan itu berputra. Tuhan itu khan bukan laki-laki atau perempuan... jadi bagaimana dia bisa berputera?
Ada masjid di daerah dekat sungai Unda, dimana aku sering main kesana. Tapi sungguh Islam itu sangat tidak menarik. Orangnya judes-judes... nggak mau didekati. Apalagi yang namanya Fatimah... sombong banget. Mana pakai acara tidak makan selama sebulan. Kalau sembahyang sangat tidak sopan karena menunggingi teman dibelakangnya. Kalau menjemur pakaian tinggi-tinggi sampai melewati kepala. Kepala itu khan sesuatu yang suci. Jadi? Bagaimana dong... apakah sebaiknya aku nggak usah beragama? Cukup menyembah Sang Hyang Widhi dengan caraku? Lalu aku mulai tertarik mengamati agama Budha...kayaknya bagus nih. Orang-orangnya kelihatan tenang dan bersahaja. Tapi masa iya juga aku harus menyembah "Orang". Buddha itu khan seorang awatara atau utusan Sang Hyang Widhi. Begitulah...aku dalam kebingungan yang Nyata. Sampai kemudian masa SMP ku terlewat dan aku masuk SMA di Malang, bergabung kembali dengan orang tuaku.
Kebingungan untuk beragama berubah menjadi fanatisme yang justru begitu kuat dengan agamaku. Hal itu lebih didorong oleh sikap teman-temanku yang beragama islam. Mereka katakan darahku halal untuk ditumpahkan karena aku orang kafir. Aku tidak berhak menerima foto kopian buku-buku dan latihan soal dari teman-teman, karena aku orang
kafir. Aku juga tidak boleh menjadi pimpinan redaksi Majalah sekolah, karena aku orang kafir. Aku tidak boleh kost di suatu tempat yang aku sangat suka...karena disana semua beragama islam...dan yang punya rumah tidak mau ada orang kafir di rumah itu. Sungguh.. aku benciii.. sekali dengan agama yang bernama Islam itu. Aku bertekad membuktikan bahwa Hindu itu adalah agama yang benar. Tapi ada kesalahan dalam penerapan ajarannya.
Saat kuliah, aku mulai serius mendalami agamaku. Karena aku merasa harus meluruskan sesuatu. Tapi yang mengesalkan... tidak seorangpun bisa menunjukkan aku kitab Wedha...padahal buku itu khan katanya kitab suci kami. Aku bergerilya kesana kemari...bertanya ke tokoh-tokoh yang mendalami agama kami. Tidak seorangpun punya wedha. Mereka hanya mempelajari kitab-kitab yang ditulis para empu, seperti Maha bharata, Bagawad Ghita dan Sarassamuscaya, kita-kitab itulah yang dianggap kitab suci. Mereka menganggap tidak perlu mengetahui apa isi wedha, karena toh dengan mengimplementasikan isi kitab-kitab dari para empu, sudah cukup dan mereka tetap bisa berbuat baik dan tidak merugikan orang lain, juga tidak melakukan kerusakan di muka bumi.
Aku Pergi ke pura-pura sampai ke pelosok untuk bertanya pada pemangku pura...juga ke departemen agama. Akhirnya aku menemukan Wedha di Depag Surabaya. Sangat besar dan tebal, berbahasa Sansekerta... tapi sayangnya tidak boleh dipinjam, karena katanya hanya orang tertentu yang disucikan yang boleh membaca.. lagi pula kamu tidak akan mengerti dan sulit mempelajari karena tulisannya huruf palawa yang sudah sangat kuno...begitu katanya. Lakukan saja apa yang diajarkan nenek moyang kita. Kenapa repot-repot nyari Wedha? Kebenaran itu ada dimana-mana, nggak harus dari buku wedha...lakukan saja hal-hal yang benar.. itu sudah cukup...
Aku sungguh kesal dan putus asa. Kenapa Tuhan seperti mempermainkan aku? Aku ingin melakukan hal yang benar... karena aku mencintaiNya dengan sungguh-sungguh... tapi kenapa Ia seperti tidak membalas cintaku..? tidak menunjukkan jalan kepadaku..?
Berhari-hari aku tersungkur di kamar kost dengan perasaan yang sangat hampa...kecewa... putus asa. Aku nggak tahu, apa ada yang melihat aku saat itu bicara sendiri seperti orang edan... maksudnya sih bicara pada Tuhan. Akhirnya aku katakan...
Tuhan... sudah bertahun-tahun aku ingin mendekatiMu....Aku sungguh sangat lelah... karena aku rasanya tak pernah bisa meraihMU. Aku tidak mungkin meninggalkanMu, karena aku merasa sangat mencintaiMu. Tapi aku sudah sangat lelah karena tidak bisa menemukan cara untuk mendekatiMu. Tolong tunjukkan jalan itu padaku... atau aku tidak akan beragama sama sekali. Tolong beri aku teman yang bisa menjawab pertanyaanku... setidaknya menunjukkan jalan untuk mendekatiMU. Sungguh...kalau dalam waktu dua minggu ini aku tidak menemukannya...aku akan memutuskan untuk tidak beragama... karena bagiku semuanya salah...
Lalu apa yang terjadi? Dua minggu kemudian aku bertemu teman baru dalam suatu kejadian yang bersifat sangat kebetulan. Dia beragama Islam... tapi bukan orang yang alim.. karena dia tidak pernah shalat.. bapaknyapun kristen, tapi ibunya islam. Tapi dia punya pengetahuan dan wawasan yang terbuka luas. Entah bagaimana mulanya kami berdiskusi masalah agama. Diskusi yang tiba-tiba jadi begitu intens. Seringkali terjadi perdebatan yang seru...dan sering diakhiri dengan kemarahan dan bentakan-bentakan. Herannya...kami tidak pernah berhenti memulai diskusi lagi hari berikutnya...
Dari dia, kemudian aku mendapat pemahaman baru tentang Islam...pemahaman baru tentang shalat yang dulu aku anggap sangat tidak sopan. Pemahaman tentang puasa. Dan tentang Muhammad sang Nabi. Aku jadi sangat terkejut, saat teringat ajaran tentang awatara. Bahwa akan datang awatara ke 10 yang bernama Mahamattan. Apakah
dia itu Muhammad?
Tapi entah kenapa ada perasaan berat untuk mengakui itu semua adalah suatu kebenaran. Ada semacam perasaan gengsi. Juga perasaan malu dan takut. Ada sesuatu yang berat untuk dilalui.
Sampai akhirnya aku lulus dan pindah ke Surabaya. Kontak kami masih terus berjalan. Teman diskusiku pun sudah banyak berubah. Ia mulai shalat...setelah 12 tahun ditinggalkannya. Aku, sampai saat itu dalam hati sudah mengakui Islam sebagai suatu kebenaran. Tapi ada suatu beban, entah apa...yang sungguh berat yang mengganjal, untuk menjadikannya sebagai agamaku.
Sudah menjadi kehendak Allah aku kost di sebuah rumah orang kristen, tapi anak kostnya semua Islam. Mereka sungguh teduh dan bersahabat...bayangan orang Islam yang judes dan galak sudah tidak ada lagi. Mereka memberi masukan-masukan. Yang aku ingat betul suatu kalimat... "Mungkin agama mbak saat turun juga agama yang benar... tapi dalam perjalanannya telah banyak diselewengkan...Jika diibaratkan kurikulum... Islam adalah revisi terakhir dari semua kurikulum yang sudah ada..."
Sungguh tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang pasti. Baiklah..aku akan mengikuti kurikulum terakhir. Apapun resikonya... termasuk kehilangan hak menjadi seorang "Anak Agung Istri" (Aku terlahir sebagai perempuan dengan kasta ksatria, yang otomatis hilang jika melakukan pernikahan dengan kasta di bawahnya, atau pindah agama). Akupun mengucapkan
dua kalimat syahadat.....Aku mulai belajar shalat. Aku dituntun oleh suatu kekuatan...yang mempermudah semuanya. Aku seperti mendapat pelajaran dalam mimpi saat tertidur...sehingga saat terbangun aku dengan mudah hafal gerakan dan bacaan shalat.
Sudah kehendak Allah pula aku kemudian pindah kost dekat masjid, disana ada pengajian rutin tiap senin yang diisi oleh seorang Ustadz, mengkaji kandungan Al Quran... yang sungguh mengukuhkan keputusanku...
Demikianlah... Aku akhirnya "menemukan" Tuhan. Perasaan rinduku...tiba-tiba seperti terbalas tuntas. Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku merasakan begitu nikmatnya saat-saat shalat. Perasaan seorang pencinta yang bertemu dengan Yang sangat dicintai..
Indah sekali... Subhanallah...
Hari itu aku tiba-tiba merasa gelisah... Guru agama masih sibuk di depan kelas, menjelaskan keterkaitan agamaku dengan agama mesir kuno dan agama orang Karo Kuno yang menyembah matahari dengan wajah yang begitu bangga...Aku, yang dibesarkan dalam tradisi Hindu yang sangat kuat.. merasa ada yang salah dengan rasa bangga yang ditunjukkan guruku di kelas 3 SMP saat itu..Perasaan bangga sebagai seorang yang kuat dan konsisten terhadap suatu ajaran yang benar... karena paling dulu ada sebelum agama lain (katanya begitu...)
Lalu tanda tanya yang besar memenuhi kepalaku..Kenapa harus menyembah matahari (dewa surya)? Kenapa harus menyembah dewa dan batara kalau dewa dan batara itu diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dan hanya merupakan percikan cahaya dari Sang Hyang Widhi (Yang Maha Menciptakan)? Kenapa tidak langsung saja menyembah sumber cahayanya? Kenapa harus melalui perantara para leluhur, kalau Tuhan itu memang Maha segalanya? Mestinya Ia juga Maha mendengar, sehingga ia bisa mendengar langsung doa dan permintaanku?
Lalu aku mulai melakukan sesuatu yang lain...Aku tidak mau lagi melakukan urut-urutan yang seharusnya dilakukan dalam ritual "mepuspa" dalam persembahyangan yang biasanya dimulai dengan :
- Menyembah Roh para Leluhur
- Menyembah Dewa Batara
- Menyembah Sang Hyang Parama Kawi/Sang Hyang Widhi..
Aku tetap melakukan puspa 3 kali.. tapi dalam hatiku aku katakan...
- Menyembah Sang Hyang Widhi..
- Menyembah Sang Hyang Widhi..
- Menyembah Sang Hyang Widhi...
Itu awal kegelisahan dan pencaharianku saat aku mulai menginjak remaja...
Aku mulai tertarik mengamati agama lain. Kebetulan di dekat rumah temanku ada sebuah gereja. Tapi aku menjadi tidak berminat untuk lebih lanjut mencari tahu. Karena kata temanku...dosa orang kristen bisa dihapus dan ditebus oleh Tuhannya..Dengan konsep karma pahala bahwa setiap perbuatan pasti berakibat dan reinkarnasi (kelahiran kembali dimana dosa-dosa terdahulu tetap ditanggung sampai kelahiran yang akan datang : denganperubahan wujud menjadi mahluk lain atau perubahan kasta sesuai dengan pahala yang dikumpulkan) yang sangat kuat menancap di otakku, aku langsung menolak hal itu. Mana bisa dosa dihapus begitu saja
dan ditebus begitu saja....sangat tidak pantas dan terlalu seenaknya...kasihan sekali Tuhannya orang kristen itu harus menebus dosa sekian banyak pendosa. Apalagi katanya Tuhan itu berputra. Tuhan itu khan bukan laki-laki atau perempuan... jadi bagaimana dia bisa berputera?
Ada masjid di daerah dekat sungai Unda, dimana aku sering main kesana. Tapi sungguh Islam itu sangat tidak menarik. Orangnya judes-judes... nggak mau didekati. Apalagi yang namanya Fatimah... sombong banget. Mana pakai acara tidak makan selama sebulan. Kalau sembahyang sangat tidak sopan karena menunggingi teman dibelakangnya. Kalau menjemur pakaian tinggi-tinggi sampai melewati kepala. Kepala itu khan sesuatu yang suci. Jadi? Bagaimana dong... apakah sebaiknya aku nggak usah beragama? Cukup menyembah Sang Hyang Widhi dengan caraku? Lalu aku mulai tertarik mengamati agama Budha...kayaknya bagus nih. Orang-orangnya kelihatan tenang dan bersahaja. Tapi masa iya juga aku harus menyembah "Orang". Buddha itu khan seorang awatara atau utusan Sang Hyang Widhi. Begitulah...aku dalam kebingungan yang Nyata. Sampai kemudian masa SMP ku terlewat dan aku masuk SMA di Malang, bergabung kembali dengan orang tuaku.
Kebingungan untuk beragama berubah menjadi fanatisme yang justru begitu kuat dengan agamaku. Hal itu lebih didorong oleh sikap teman-temanku yang beragama islam. Mereka katakan darahku halal untuk ditumpahkan karena aku orang kafir. Aku tidak berhak menerima foto kopian buku-buku dan latihan soal dari teman-teman, karena aku orang
kafir. Aku juga tidak boleh menjadi pimpinan redaksi Majalah sekolah, karena aku orang kafir. Aku tidak boleh kost di suatu tempat yang aku sangat suka...karena disana semua beragama islam...dan yang punya rumah tidak mau ada orang kafir di rumah itu. Sungguh.. aku benciii.. sekali dengan agama yang bernama Islam itu. Aku bertekad membuktikan bahwa Hindu itu adalah agama yang benar. Tapi ada kesalahan dalam penerapan ajarannya.
Saat kuliah, aku mulai serius mendalami agamaku. Karena aku merasa harus meluruskan sesuatu. Tapi yang mengesalkan... tidak seorangpun bisa menunjukkan aku kitab Wedha...padahal buku itu khan katanya kitab suci kami. Aku bergerilya kesana kemari...bertanya ke tokoh-tokoh yang mendalami agama kami. Tidak seorangpun punya wedha. Mereka hanya mempelajari kitab-kitab yang ditulis para empu, seperti Maha bharata, Bagawad Ghita dan Sarassamuscaya, kita-kitab itulah yang dianggap kitab suci. Mereka menganggap tidak perlu mengetahui apa isi wedha, karena toh dengan mengimplementasikan isi kitab-kitab dari para empu, sudah cukup dan mereka tetap bisa berbuat baik dan tidak merugikan orang lain, juga tidak melakukan kerusakan di muka bumi.
Aku Pergi ke pura-pura sampai ke pelosok untuk bertanya pada pemangku pura...juga ke departemen agama. Akhirnya aku menemukan Wedha di Depag Surabaya. Sangat besar dan tebal, berbahasa Sansekerta... tapi sayangnya tidak boleh dipinjam, karena katanya hanya orang tertentu yang disucikan yang boleh membaca.. lagi pula kamu tidak akan mengerti dan sulit mempelajari karena tulisannya huruf palawa yang sudah sangat kuno...begitu katanya. Lakukan saja apa yang diajarkan nenek moyang kita. Kenapa repot-repot nyari Wedha? Kebenaran itu ada dimana-mana, nggak harus dari buku wedha...lakukan saja hal-hal yang benar.. itu sudah cukup...
Aku sungguh kesal dan putus asa. Kenapa Tuhan seperti mempermainkan aku? Aku ingin melakukan hal yang benar... karena aku mencintaiNya dengan sungguh-sungguh... tapi kenapa Ia seperti tidak membalas cintaku..? tidak menunjukkan jalan kepadaku..?
Berhari-hari aku tersungkur di kamar kost dengan perasaan yang sangat hampa...kecewa... putus asa. Aku nggak tahu, apa ada yang melihat aku saat itu bicara sendiri seperti orang edan... maksudnya sih bicara pada Tuhan. Akhirnya aku katakan...
Tuhan... sudah bertahun-tahun aku ingin mendekatiMu....Aku sungguh sangat lelah... karena aku rasanya tak pernah bisa meraihMU. Aku tidak mungkin meninggalkanMu, karena aku merasa sangat mencintaiMu. Tapi aku sudah sangat lelah karena tidak bisa menemukan cara untuk mendekatiMu. Tolong tunjukkan jalan itu padaku... atau aku tidak akan beragama sama sekali. Tolong beri aku teman yang bisa menjawab pertanyaanku... setidaknya menunjukkan jalan untuk mendekatiMU. Sungguh...kalau dalam waktu dua minggu ini aku tidak menemukannya...aku akan memutuskan untuk tidak beragama... karena bagiku semuanya salah...
Lalu apa yang terjadi? Dua minggu kemudian aku bertemu teman baru dalam suatu kejadian yang bersifat sangat kebetulan. Dia beragama Islam... tapi bukan orang yang alim.. karena dia tidak pernah shalat.. bapaknyapun kristen, tapi ibunya islam. Tapi dia punya pengetahuan dan wawasan yang terbuka luas. Entah bagaimana mulanya kami berdiskusi masalah agama. Diskusi yang tiba-tiba jadi begitu intens. Seringkali terjadi perdebatan yang seru...dan sering diakhiri dengan kemarahan dan bentakan-bentakan. Herannya...kami tidak pernah berhenti memulai diskusi lagi hari berikutnya...
Dari dia, kemudian aku mendapat pemahaman baru tentang Islam...pemahaman baru tentang shalat yang dulu aku anggap sangat tidak sopan. Pemahaman tentang puasa. Dan tentang Muhammad sang Nabi. Aku jadi sangat terkejut, saat teringat ajaran tentang awatara. Bahwa akan datang awatara ke 10 yang bernama Mahamattan. Apakah
dia itu Muhammad?
Tapi entah kenapa ada perasaan berat untuk mengakui itu semua adalah suatu kebenaran. Ada semacam perasaan gengsi. Juga perasaan malu dan takut. Ada sesuatu yang berat untuk dilalui.
Sampai akhirnya aku lulus dan pindah ke Surabaya. Kontak kami masih terus berjalan. Teman diskusiku pun sudah banyak berubah. Ia mulai shalat...setelah 12 tahun ditinggalkannya. Aku, sampai saat itu dalam hati sudah mengakui Islam sebagai suatu kebenaran. Tapi ada suatu beban, entah apa...yang sungguh berat yang mengganjal, untuk menjadikannya sebagai agamaku.
Sudah menjadi kehendak Allah aku kost di sebuah rumah orang kristen, tapi anak kostnya semua Islam. Mereka sungguh teduh dan bersahabat...bayangan orang Islam yang judes dan galak sudah tidak ada lagi. Mereka memberi masukan-masukan. Yang aku ingat betul suatu kalimat... "Mungkin agama mbak saat turun juga agama yang benar... tapi dalam perjalanannya telah banyak diselewengkan...Jika diibaratkan kurikulum... Islam adalah revisi terakhir dari semua kurikulum yang sudah ada..."
Sungguh tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang pasti. Baiklah..aku akan mengikuti kurikulum terakhir. Apapun resikonya... termasuk kehilangan hak menjadi seorang "Anak Agung Istri" (Aku terlahir sebagai perempuan dengan kasta ksatria, yang otomatis hilang jika melakukan pernikahan dengan kasta di bawahnya, atau pindah agama). Akupun mengucapkan
dua kalimat syahadat.....Aku mulai belajar shalat. Aku dituntun oleh suatu kekuatan...yang mempermudah semuanya. Aku seperti mendapat pelajaran dalam mimpi saat tertidur...sehingga saat terbangun aku dengan mudah hafal gerakan dan bacaan shalat.
Sudah kehendak Allah pula aku kemudian pindah kost dekat masjid, disana ada pengajian rutin tiap senin yang diisi oleh seorang Ustadz, mengkaji kandungan Al Quran... yang sungguh mengukuhkan keputusanku...
Demikianlah... Aku akhirnya "menemukan" Tuhan. Perasaan rinduku...tiba-tiba seperti terbalas tuntas. Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku merasakan begitu nikmatnya saat-saat shalat. Perasaan seorang pencinta yang bertemu dengan Yang sangat dicintai..
Indah sekali... Subhanallah...
0 komentar:
Posting Komentar