Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Kamis, 17 Maret 2011

Pembelajaran konflik Kognitif

2.1 Pengertian pembelajaran konflik kognitif

Pembelajaran konflik kognitif dikembangkan dari pandangan Piaget tentang teori Kontruktivisme. Fase-fase pada pembelajaran  ini didasarkan  pada  proses  restukturisasi  ide  kontruktivisme. Seseorang secara  aktif  dapat  melakukan  reorganisasi  pengetahuan  yang  telah tersimpan dalam struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam perkembangan intelektual seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.  Ketika seorang anak mengakui adanya konflik kognitif yang berupa ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, kesadarannya akan memotivasi  untuk berupaya menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (equilibrium). Menurut Posner (Suparno, 1997) proses penyeimbangan antara  asimilasi dan akomodasi tidak terjadi begitu saja, harus ada keadaan dan syarat tertentu, yaitu
1. Harus  ada  ketidakpuasan  terhadap  konsep  yang  telah  ada  dalam  stuktur kognitif seseorang.
2. Konsep  yang  baru   harus   dimengerti,  rasional,  dan  dapat   memecahkan fenomena yang baru.
3. Konsep  yang  baru  harus  masuk  akal,  dapat  memecahkan  persoalan  yang terdahulu dan konsisten dengan teori-teori yang ada.
4. Konsep baru harus berdaya guna.
Menurut Posner (Suparno, 1997)salah satu  penyebab  ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali yakni suatu peristiwa yang bertentangan dengan  perkiraan siswa, suatu peristiwa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Chinn (Suparno, 1997) menyatakan bahwa fenomena-fenomena anomali berperan besar dalam perubahan konsep dalam sejarah sains.

2.2 Landasan Pembelajaran Konflik Kognitif

Teori Konstruktivisme sebagai Landasan Pembelajaran Konflik Kognitif. Konstruktivisme adalah adalah salah satu filsafat pengetahuan  yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah kontruksi atau bentukan kita sendiri Kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah kontruksi kita sendiri, sehingga tidak mungkin mentransfer pengetahuan karena setiap orang  membangun  pengetahuan  pada  dirinya  (Von  Glasersfeld  dalam Suparno,  1997).   Pembentukan  pengetahuan  menurut   teori   konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri.
Dalam  teori  ini  dikatakan  bahwa  siswa  harus  membangun  pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal. Teori belajar konstruktivisme  merupakan sebuah proses pembelajaran interaktif yang lebih memberi ruang untuk mengalami, mencoba, merasakan dan menemukan sendiri. Menurut   Piaget   (dalam   Suparno,  1997)   menyatakan   bahwa   teori pengetahuan  itu  pada  dasarnya  adalah  teori  adaptasi  pikiran  ke  dalam  suatu realitas.  Proses  adaptasi  ini  dilalui  melalui dua proses,  yaitu  asimilasi  dan akomodasi
1. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan presepsi, konsep ataupun  pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada. Asimilasi dapat dipandang  sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau  rangsangan yang baru kedalam skema yang sudah ada.
2. Akomodasi merupakan proses kognitif  ketika seseorang   menghadapi rangsangan  atau pengalaman yang baru. Seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema  yang telah  dia punya. Dalam keadaan seperti itu, orang itu akan mengadakan akomodasi yaitu dengan cara membentuk  skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang  baru  dan  kemudian  memodifikasi  skema  yang  ada,  sehingga  cocok dengan rangsangan itu.
Pada diri seorang individu telah terdapat sejumlah skema yang dia peroleh melalui  pengalamannya  terdahulu.  Pada  suatu  keadaan  ketika  dia  berhadapan dengan informasi atau pengalaman baru, pada diri anak terjadi pemilahan melalui memorinya. Jika terdapat kesesuaian  antara stimulus yang baru tersebut dengan skema yang sudah ada, maka akan terjadi asimilasi yakni  proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan presepsi, konsep ataupun pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada. Tetapi jika stimulus yang baru tersebut tidak dapat diasimilasikan kedalam skema yang sudah ada, maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium) berupa ketidakpuasan yang  diakibatkan pertentangan antara apa yang dia lihat dengan apa yang dia miliki dalam stuktur kognitifnya (konflik kognitif). Akibat  ketidakseimbangan  ini  maka  individu tersebut  akan  mengubah  pandangannya  atau  skemanya  agar  sesuai  dengan stimulus  yang  baru  tersebut  (akomodasi). Proses  asimilasi  dan akomodasi ini harus berjalan berkesinambungan. Hal inilah yang dimaksud dengan equilibrium (keseimbangan) yakni pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Pertumbuhan intelektual  ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium), hal senada juga   diungkapkan   oleh Vosniadou (2003) yang menyatakan bahwa:
Pemikiran seorang individu terhadap suatu konsep tidak boleh dilihat stabil dan tidak berubah  tetapi fleksibel, lentur, dan dapat didistribusikan. Dalam rangka untuk menjelaskan perubahan konseptual, kita harus  memungkinkan kemungkinan bahwa apa yang sudah diketahui dapat secara radikal direstrukturisasi dan  memunculkan  stuktur  kognitif  yang  baru  yang  berbeda dengan sebelumnya.
Menurut Suparno  (1997) menyatakan bahwa secara  garis  besar, prinsip- prinsip  konstruktivisme  yang  diambil  sebagai  landasan  pendidikan  sains  dan matematika  adalah  (1)  pengetahuan  dibangun  oleh  siswa  sendiri  baik  secara personal maupun secara sosial, (2) pengetahuan tidak dapat pindahkan dari guru ke siswa kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) siswa aktif  mengkonstruksi  terus  menerus  sehingga selalu  terjadi  perubahan  konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan dengan mulus.
Salah  satu  implikasi  teori  kontruktivisme  terhadap  pembelajaran  adalah pentingnya  proses restrukturisasi ide dalam pembelajaran (Driver dan Oldham dalam  Suparno,  1997).  Restukturisasi  ide  dalam  teori  kontruktivisme  dibagi kedalam tiga tahapan yaitu:
a. Tantangan. 
Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. Diskusi kelas.
Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar  atau   salah. Mereka  didorong  untuk  menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas  dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau  guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator  dan mediator.
c. Membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa  konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.

2.3 Hakekat Pembelajaran Konflik Kognitif

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru ke peserta didik, tetapi peserta didik harus mengartikan apa yang diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/miliki sebelumnya (Lorbach dan Tobin, 1992). Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak seja melalui pengalaman fisik tetapi juga pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu dia berinterksi dengan lingkungannya yaitu semua obyek yang dibstraksikan dalam diri seseorang dan di sekeliling kita. (von Glaserfeld, 1989).
Menurut pandangan konstruktivisme oleh Brooks & Brooks (1993) bahwa murid membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelumnya. Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, idea atau perkaitan yang tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada menginterpretasi apa yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan pemahaman baru ini dengan lebih baik Menurut Gagne (1974) ketika seorang berinteraksi dengan lingkungannya maka dalam otaknya akan terbentuk struktur kognitif tertentu yang disebut skemata berupa organisasi mental yang melalui dua mekanisme yaitu asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Adaptasi dapat terjadi jika informasinya mengandung kesamaan dengan struktur mental yang ada. Sedangkan proses akomodasi adalah modifikasi struktur kognitif untuk melakukan respon terhadap informasi yang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan tidak setiap informasi dari guru dapat dimengerti atau dipahami dengan baik oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Belajar sains khusunya biologi memerlukan proses sains dalam pembentukan konsep, prinsip atau hukum. Untuk itu pembelajaran sains di sekolah diharuskan taat pada proses sains agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi.
Miskonsepsi dapat terjadi karena setiap siswa mempunyai konsepsi awal tentang suatu peristiwa atau gejala yang diamati tetapi bertentangan dengan konsep ilmuwan. Untuk itu guru harus berusaha dalam pembelajaran untuk mengetahui konsepsi awal siswa dan memodifikasi atau mengkalarifikasi agar sesuai dengan konsepsi ilmuan.

2.4 Konsep Pembelajaran Konflik Kognitif

Pembelajaran yang dapat mengklarifikasi atau memodifikasi konsepsi siswa salah satu alternatifnya adalah menggunakan strategi konflik kognitif yang merupakan penerapan paham konstruktivisme seperti yang dikemukan oleh Osborne (1993) bahwa strategi konflik kognitif mempunyai pola umum yaitu: exposing alternative framework (mengungkapkan konsepsi awal), creating conceptual cogntif ( menciptakan konflik koseptual), encouraging cognitive accommodation (mengupayakan terjadinya akomodasi kogntif).
1. Mengungkapkan Konsepsi Awal Siswa
Belajar konsep sains melibatkan akomodasi kognitif terhadap konsepsi awal siswa. Untuik mengetahui konsepsi awal siswa dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala alam yang relevan dengan tujuan pembelajaran atau kompotensi dasar yang akan dicapai.
2. Menciptakan Konflik Konseptual
Menciptakan konflik konseptual dalam fikiran siswa merupakan fase yang menantang siswa untuk menguji konsepsi awalnya apakah benar atau salah dengan konsepsi ilmuwan. Pada fase ini guru dapat membimbing siswa mendemonstrasikan atau melakukakan percobaan untuk menguji konsepsi awalnya.
3. Mengupayakan Terjadinya Akomadasi Kognitif
Akomodasi kognitif merupakan interpretasi dari hasil demonstrasi atau percobaan yang dilakukan siswa agar konsepsinya benar dan meyakinkan. Pada fase ini guru membimbing siswa dengan pertanyaan yang sifatnya inkuiri dengan mengajukan pertanyaan seperti: apa yang anda maksud, mengapa, dan bagaimana bisa terjadi.

2.5 Fase - Fase Pembelajaran Konflik Kognitif

Lee et al. (2003) menyatakan terdapat tiga fase dalam proses pembelajaran konflik kognitif, yaitu fase permulaan (preliminary stage), fase konflik (conflict stage) dan fase penyelesaian (resolution stage). Dalam fase permulaan (preliminary  stage)  guru  dapat  menggali  konsepsi  awal  yang  dimiliki  dan menciptakan situasi anomali, yaitu situasi yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa. Situasi anomali dapat diciptakan melalui percobaan atau demonstrasi yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa sebelumnya yang ditanyakan dalam  penggalian  konsepsi  awal.  Pada fase konflik (conflict  stage)  guru mengamati  respon  siswa  terhadap  situasi  anomali  yang  diberikan. Pengakuan terhadap situasi anomali dapat berupa ketertarikan ataupun kecemasan. Pada fase ini diharapkan siswa mengalami pertentangan dalam struktur kognitifnya atas apa yang mereka ketahui sebelumnya dan fakta apa yang mereka lihat melalui hasil demonstrasi atau  percobaan. Dalam  fase  ini,  guru  juga  meminta  siswa untuk mendiskusikan hasil percobaan dengan teman sebaya mereka dan mendiskusikannya dengan guru didepan kelas. Pada fase penyelesaian (resolution stage),  dengan  bimbingan  guru,  siswa  akan  berusaha  menyelesaikan  konflik dalam struktur kognitifnya untuk mendapatkan  kesimpulan yang sesuai dengan konsep ilmiah. Fase-fase yang ada ini didasarkan pada  restukturisasi ide dalam teori kontruktivisme.
Dalam  Baser  (2006)  ketiga  fase  pembelajaran  ini  dijabarkan  dalam  langkah- langkah pembelajaran berikut ini:
1. Siswa diatur ke dalam kelompok (masing-masing siswa diberi sebuah lembar prediksi  untuk  mengetahui  konsepsi awal  mereka  terhadap  situasi  anomali yang diperlihatkan).
2. Guru mendemonstrasikan suatu situasi anomali untuk mengaktifkan siswa.
3. Jika percobaan dimungkinkan, siswa melakukan percobaan dan menghasilkan hasil yang bertentangan dengan mereka dan menetapkan siswa dalam konflik kognitif.
4. Para siswa diminta untuk mendiskusikan hasil percobaan dan ide-ide mereka sebelumnya  dengan  teman  sebaya  mereka.  Hal  ini  memungkinkan  mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka untuk saling bertukar ide-ide mereka dari percobaan.
5. Jika percobaan tidak mungkin, guru meminta siswa untuk membahas situasi anomali  yang  sebelumnya  telah  didemonstrasikan oleh guru  dengan teman sebaya mereka.
6. Kemudian guru mengumpulkan ide-ide yang berbeda tentang situasi di papan tulis dan kemudian mendiskusikannya bersama mereka di depan kelas.
7. Akhirnya,  ide-ide  yang  benar  ditentukan  dan  dijelaskan  secara  rinci.  Jika memungkinkan, guru menggunakan analogi untuk menjelaskan fenomena.

2.6. Komponen Pembelajaran Konflik Kognitif

Keberhasilan  konflik  kognitif  ini  bergantung  dari  keempat  komponen tersebut. Konflik kognitif memiliki potensi untuk menghasilkan pemikiran yang konstruktif  atau destruktif. Sebagai contoh, jika seorang siswa tidak mengenali situasi anomali yang telah  diperlihatkan atau mengabaikan hal itu, atau jika ia tidak suka berada dalam keadaan konflik, maka siswa akan merasa  frustrasi atau terancam bukan menjadi tertarik, dan dalam hal ini  proses penciptaan konflik kognitif  menjadi  destruktif. Konflik kognitif menjadi konstruktif jika seorang siswa  mengenali  situasi  anomali  dengan  jelas,  untuk  kemudian  siswa  merasa tertarik dengan situsi anomali itu, lalu merasa cemas dengan situasi dimana konsepsi yang dimilikinya dengan hasil yang ada dan untuk tujuan akhirnya dia akan  meninjau  kembali  dengan  konsepsi  yang  mereka  pikirkan. Pada tahap resolusi (penyelesaian), siswa akan  mencoba  untuk  menyelesaikan  konflik kognitif dalam setiap cara yang mungkin.
Pembelajaran  konflik  kognitif  sangatlah  cocok  untuk  diterapkan  dalam pembelajaran  biologi karena melalui pembelajaran konflik  kognitif  ini,  siswa dilibatkan untuk memperoleh  suatu konsep dari  materi  biologi  yang diajarkan. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran sains, termasuk  pembelajaran biologi sangatlah penting, hal ini dikarenakan Ilmu pengetahuan terutama sains adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang  ditemukan secara bebas (Einstein dan Infeld dalam Suparno, 1997), dimana abstraksi dan teorisasi sains tidak hanya cukup dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang   berbeda yaitu dunia kenyataan dan dunia pengertian, untuk menjembatani keduanya, diperlukan sebuah proses kontruksi imaginative (Bettencourt dalam Suparno,1997). Maka dari itulah, pengetahuan sains yakni dalam  hal  ini  adalah  pengetahuan  biologi  tidak  dapat  ditransfer  begitu  saja, pemindahan tersebut harus  diinterpretasikan dan dikontruksikan siswa melalui pengalamannya sendiri.
Hal yang   lain yang   perlu   dipahami   adalah bahwa   sebelum   siswa memperoleh  pelajaran  disekolah  mereka  sudah  mempunyai  gagasan  tentang peristiwa alamiah. Gagasan tersebut merupakan pengetahuan pribadi mereka yaitu gagasan  yang  terbentuk   melalui  belajar  informal  dalam  proses  memahami pengalaman sehari-hari. Sebagian besar dari gagasan-gagasan itu bersifat sebagai pengetahuan  sehari-hari  yang  biasanya  bertentangan   dengan  konsep  ilmiah, karena gagasan mereka dibangun atas dasar akal sehat (common sense) saja dan tidak dibangun atas dasar metode ilmiah (I Wayan Sadia dalam Hari, 2010).

2.7 Implikasi Pembelajaran Konflik Kognitif

Menurut teori Piaget, tentang proses perkembangan kognitif mengatakan sturktur kognitif yang kita miliki selalu berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara asimilasi dan akomodasi. Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas atau tanpa konflik, maka struktur kognitif dikatakan berada pada keadaan seimbang (equilibrium) dengan lingkungannya. Namun, jika terjadi konflik maka seseorang berada pada keadaan tidak seimbang (disequilibrium). Hal ini terjadi karena skema yang masuk tidak sama dengan struktur (skema) kognitif yang dimilikinya. Ketika seorang berada pada keadaan disequilibrium, dia akan merespon keadaan ini, dan berupaya mengingat, memberdayakan konsep yang dimilikinya untuk mencari equilibrium baru dengan lingkungannya. Melalui metakognisi, bertanya pada teman yang tidak mengalami konflik, atau scaffolding yang diberikan guru maka siswa dapat keluar dari konflik. Jadi, konflik kognitif merupakan syarat awal atau stimulus dalam memperoleh keseimbangan (equilibrium) baru. Tingkat keseimbangan (equilibrium) baru ini lebih tinggi tingkatannya dari keseimbangan (equilibrium) sebelumnya. Ennis (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir yang bertujuan agar kita dapat membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, sehingga apa yang kita anggap terbaik tentang suatu kebenaran dapat kita lakukan dengan benar.
Konflik kognitif dapat dikembangkan dengan mengintegrasikannya kedalam model Problem Based Learning (PBL) dengan sintaks pembelajaran seperti pada Tabel.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada kegiatan pemecahan masalah, dan masalah yang harus diselesaikan merupakan masalah yang belum jadi atau tidak terstruktur dengan baik (ill-structured problem), sehingga hal ini dapat menantang siswa untuk berpikir dan melakukan diskusi secara berkelompok. Siswa dihadapkan pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, siswa bekerjasama secara berkelompok untuk mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah (problem solving), kemudian siswa mendiskusikan apa yang harus dilakukan dan bernegoisasi.
Pola Konflik Kognitif
Sintaks PBL
Tingkah Laku Guru

Mengungkapkan Konsepsi Awal Siswa
Memberikan pertanyaan secara lisan atau tulisan

Menciptakan Konflik Konseptual
Orientasi siswa kepada masalah
Menyampaikan tujuan pembelajaran, mempersiapkan kegiatan ilmiah dan memotivasi siswa
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Mendemonstrasikan dan atau membimbing dalam membuat permasalahan

Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok
Mendorong siswa dalam kerja kelompok untuk pemecahan masalah dan mengkomunikasikannya

Mengembangkandan menyajikan hasil karya

Mengupayakan Terjadinya Akomadasi Kognitif
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Membantu siswa dalam evaluasi dan atau refleksi dari proses pemecahan masalah

Modifikasi dari sintaks model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik (Trianto, 2007)

2.8 Kelebihan Pembelajaran Konflik Kognitif

Melalui pembelajaran ini, konsepsi siswa yang keliru tersebut dapat dirubah dengan proses equilibrium yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan   proses   asimilasi   dan   akomodasi   yakni   dengan   memberikan ketidakpuasan terhadap konsepsi awal  yang dimiliki siswa dengan memberikan situasi yang bertentangan dengan konsepsi tersebut. Suatu peristiwa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru.  Dalam  situasi  seperti  itu,  siswa  dapat  bertindak  secara  efisien  untuk membentuk pengetahuan atau konsep yang baru melalui akomodasi.
Menurut Baser (2006) pembelajaran ini dapat mendorong adanya perubahan konsepsi siswa pada arah yang positif. Perubahan konsepsi siswa pada arah yang positif ini nantinya akan bermuara  pada  penguasaan konsep yang baik. Pembelajaran konflik kognitif ini  memiliki  keunggulan antara lain dapat mendorong  perubahan konsepsi siswa dari konsep yang salah menjadi konsep yang benar, serta dapat  menciptakan situasi pembelajaran yang dinamis melalui beragam metode pembelajaran  didalamnya. Selain itu menurut partono (2003) pembelajaran  ini  juga  dapat  mengoptimalkan   kemampuan  konstruksi  dalam stuktur   kognitif   siswa, dimana kemampuan ini sangat diperlukan dalam pembelajaran  sains  termasuk  pembelajaran  biologi.  Sedangkan  Sung-Bin  et  al menyatakan  bahwa  pembelajaran  ini  dapat  mendorong  siswa  untuk  meninjau kembali  pikirannya terhadap konsepsi yang dia miliki sampai dia mendapatkan konsep yang sesuai, sehingga melalui pembelajaran ini siswa akan lebih terpacu untuk belajar karena rasa keingintahuan dia.

DAFTAR PUSTAKA
Baser, J . 2006. Doing Action Research: A Guide for School Support Staff. London: Paul Chapman Publishing
Brooks,J.G. & Books,M.G. 1993. The Courage To Be Constructivist. Educational
Leadership, Alexandria, VA:Association for Supervision and Curriculum
Development (ASCD).
Ennis, R. H, 1996. Critical Thinking, United States of America: Prentice-Hall Inc.
Gagne, R.M. 1974. The condition of Learning and Theory of Instruction. New York: DreydenPress. 
Lorsbach, A. & Tobin, K. 1992. Contructivism as a Referent for Science Teaching. NARST
Reseach Matters. To The Sciense Teacher, No.30
Osborne, J. 1993. Beyond Construktivism In The Proceedings of the Third International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics Ittaca, N.Y,. Misconception Truts.
Partono. 2003. Pengaruh strategi konflik kognitif dalam Pembelajaran Fisika. Tesis PPS UPI.Bandung : UPI Press
Suparno, Paul.  1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Trianto, 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Von G’lasersfeld, E. 1991. Cognition, Construction of knowledge, and Teaching, Synthese, 80,121-140


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Pembelajaran konflik Kognitif Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan