2.1 Pengertian pembelajaran konflik kognitif
Pembelajaran konflik kognitif dikembangkan dari pandangan Piaget tentang teori Kontruktivisme. Fase-fase pada pembelajaran ini didasarkan pada proses restukturisasi ide kontruktivisme. Seseorang secara aktif dapat melakukan reorganisasi pengetahuan yang telah tersimpan dalam struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam perkembangan intelektual seseorang, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Ketika seorang anak mengakui adanya konflik kognitif yang berupa ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, kesadarannya akan memotivasi untuk berupaya menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (equilibrium). Menurut Posner (Suparno, 1997) proses penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi tidak terjadi begitu saja, harus ada keadaan dan syarat tertentu, yaitu
1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada dalam stuktur kognitif seseorang.
2. Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan fenomena yang baru.
3. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan persoalan yang terdahulu dan konsisten dengan teori-teori yang ada.
4. Konsep baru harus berdaya guna.
Menurut Posner (Suparno, 1997)salah satu penyebab ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali yakni suatu peristiwa yang bertentangan dengan perkiraan siswa, suatu peristiwa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Chinn (Suparno, 1997) menyatakan bahwa fenomena-fenomena anomali berperan besar dalam perubahan konsep dalam sejarah sains.
2.2 Landasan Pembelajaran Konflik Kognitif
Teori Konstruktivisme sebagai Landasan Pembelajaran Konflik Kognitif. Konstruktivisme adalah adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah kontruksi atau bentukan kita sendiri Kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah kontruksi kita sendiri, sehingga tidak mungkin mentransfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997). Pembentukan pengetahuan menurut teori konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri.
Dalam teori ini dikatakan bahwa siswa harus membangun pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal. Teori belajar konstruktivisme merupakan sebuah proses pembelajaran interaktif yang lebih memberi ruang untuk mengalami, mencoba, merasakan dan menemukan sendiri. Menurut Piaget (dalam Suparno, 1997) menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas. Proses adaptasi ini dilalui melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi
1. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan presepsi, konsep ataupun pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru kedalam skema yang sudah ada.
2. Akomodasi merupakan proses kognitif ketika seseorang menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru. Seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah dia punya. Dalam keadaan seperti itu, orang itu akan mengadakan akomodasi yaitu dengan cara membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru dan kemudian memodifikasi skema yang ada, sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Pada diri seorang individu telah terdapat sejumlah skema yang dia peroleh melalui pengalamannya terdahulu. Pada suatu keadaan ketika dia berhadapan dengan informasi atau pengalaman baru, pada diri anak terjadi pemilahan melalui memorinya. Jika terdapat kesesuaian antara stimulus yang baru tersebut dengan skema yang sudah ada, maka akan terjadi asimilasi yakni proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan presepsi, konsep ataupun pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada. Tetapi jika stimulus yang baru tersebut tidak dapat diasimilasikan kedalam skema yang sudah ada, maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium) berupa ketidakpuasan yang diakibatkan pertentangan antara apa yang dia lihat dengan apa yang dia miliki dalam stuktur kognitifnya (konflik kognitif). Akibat ketidakseimbangan ini maka individu tersebut akan mengubah pandangannya atau skemanya agar sesuai dengan stimulus yang baru tersebut (akomodasi). Proses asimilasi dan akomodasi ini harus berjalan berkesinambungan. Hal inilah yang dimaksud dengan equilibrium (keseimbangan) yakni pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium), hal senada juga diungkapkan oleh Vosniadou (2003) yang menyatakan bahwa:
Pemikiran seorang individu terhadap suatu konsep tidak boleh dilihat stabil dan tidak berubah tetapi fleksibel, lentur, dan dapat didistribusikan. Dalam rangka untuk menjelaskan perubahan konseptual, kita harus memungkinkan kemungkinan bahwa apa yang sudah diketahui dapat secara radikal direstrukturisasi dan memunculkan stuktur kognitif yang baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Menurut Suparno (1997) menyatakan bahwa secara garis besar, prinsip- prinsip konstruktivisme yang diambil sebagai landasan pendidikan sains dan matematika adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun secara sosial, (2) pengetahuan tidak dapat pindahkan dari guru ke siswa kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) siswa aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan dengan mulus.
Salah satu implikasi teori kontruktivisme terhadap pembelajaran adalah pentingnya proses restrukturisasi ide dalam pembelajaran (Driver dan Oldham dalam Suparno, 1997). Restukturisasi ide dalam teori kontruktivisme dibagi kedalam tiga tahapan yaitu:
a. Tantangan.
Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. Diskusi kelas.
Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator.
c. Membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
2.3 Hakekat Pembelajaran Konflik Kognitif
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru ke peserta didik, tetapi peserta didik harus mengartikan apa yang diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka atau konstruksi yang telah mereka bangun/miliki sebelumnya (Lorbach dan Tobin, 1992). Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak seja melalui pengalaman fisik tetapi juga pengalaman kognitif dan mental. Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang sewaktu dia berinterksi dengan lingkungannya yaitu semua obyek yang dibstraksikan dalam diri seseorang dan di sekeliling kita. (von Glaserfeld, 1989).
Menurut pandangan konstruktivisme oleh Brooks & Brooks (1993) bahwa murid membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelumnya. Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, idea atau perkaitan yang tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada menginterpretasi apa yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan pemahaman baru ini dengan lebih baik Menurut Gagne (1974) ketika seorang berinteraksi dengan lingkungannya maka dalam otaknya akan terbentuk struktur kognitif tertentu yang disebut skemata berupa organisasi mental yang melalui dua mekanisme yaitu asimilasi dan akomodasi.
Proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kognitif dan kemampuan yang sudah ada untuk beradaptasi dengan masalah atau informasi baru yang datang dari lingkungannya. Adaptasi dapat terjadi jika informasinya mengandung kesamaan dengan struktur mental yang ada. Sedangkan proses akomodasi adalah modifikasi struktur kognitif untuk melakukan respon terhadap informasi yang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan tidak setiap informasi dari guru dapat dimengerti atau dipahami dengan baik oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Belajar sains khusunya biologi memerlukan proses sains dalam pembentukan konsep, prinsip atau hukum. Untuk itu pembelajaran sains di sekolah diharuskan taat pada proses sains agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi.
Miskonsepsi dapat terjadi karena setiap siswa mempunyai konsepsi awal tentang suatu peristiwa atau gejala yang diamati tetapi bertentangan dengan konsep ilmuwan. Untuk itu guru harus berusaha dalam pembelajaran untuk mengetahui konsepsi awal siswa dan memodifikasi atau mengkalarifikasi agar sesuai dengan konsepsi ilmuan.
2.4 Konsep Pembelajaran Konflik Kognitif
Pembelajaran yang dapat mengklarifikasi atau memodifikasi konsepsi siswa salah satu alternatifnya adalah menggunakan strategi konflik kognitif yang merupakan penerapan paham konstruktivisme seperti yang dikemukan oleh Osborne (1993) bahwa strategi konflik kognitif mempunyai pola umum yaitu: exposing alternative framework (mengungkapkan konsepsi awal), creating conceptual cogntif ( menciptakan konflik koseptual), encouraging cognitive accommodation (mengupayakan terjadinya akomodasi kogntif).
1. Mengungkapkan Konsepsi Awal Siswa
Belajar konsep sains melibatkan akomodasi kognitif terhadap konsepsi awal siswa. Untuik mengetahui konsepsi awal siswa dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala alam yang relevan dengan tujuan pembelajaran atau kompotensi dasar yang akan dicapai.
2. Menciptakan Konflik Konseptual
Menciptakan konflik konseptual dalam fikiran siswa merupakan fase yang menantang siswa untuk menguji konsepsi awalnya apakah benar atau salah dengan konsepsi ilmuwan. Pada fase ini guru dapat membimbing siswa mendemonstrasikan atau melakukakan percobaan untuk menguji konsepsi awalnya.
3. Mengupayakan Terjadinya Akomadasi Kognitif
Akomodasi kognitif merupakan interpretasi dari hasil demonstrasi atau percobaan yang dilakukan siswa agar konsepsinya benar dan meyakinkan. Pada fase ini guru membimbing siswa dengan pertanyaan yang sifatnya inkuiri dengan mengajukan pertanyaan seperti: apa yang anda maksud, mengapa, dan bagaimana bisa terjadi.
2.5 Fase - Fase Pembelajaran Konflik Kognitif
Lee et al. (2003) menyatakan terdapat tiga fase dalam proses pembelajaran konflik kognitif, yaitu fase permulaan (preliminary stage), fase konflik (conflict stage) dan fase penyelesaian (resolution stage). Dalam fase permulaan (preliminary stage) guru dapat menggali konsepsi awal yang dimiliki dan menciptakan situasi anomali, yaitu situasi yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa. Situasi anomali dapat diciptakan melalui percobaan atau demonstrasi yang bertentangan dengan pengetahuan awal siswa sebelumnya yang ditanyakan dalam penggalian konsepsi awal. Pada fase konflik (conflict stage) guru mengamati respon siswa terhadap situasi anomali yang diberikan. Pengakuan terhadap situasi anomali dapat berupa ketertarikan ataupun kecemasan. Pada fase ini diharapkan siswa mengalami pertentangan dalam struktur kognitifnya atas apa yang mereka ketahui sebelumnya dan fakta apa yang mereka lihat melalui hasil demonstrasi atau percobaan. Dalam fase ini, guru juga meminta siswa untuk mendiskusikan hasil percobaan dengan teman sebaya mereka dan mendiskusikannya dengan guru didepan kelas. Pada fase penyelesaian (resolution stage), dengan bimbingan guru, siswa akan berusaha menyelesaikan konflik dalam struktur kognitifnya untuk mendapatkan kesimpulan yang sesuai dengan konsep ilmiah. Fase-fase yang ada ini didasarkan pada restukturisasi ide dalam teori kontruktivisme.
Dalam Baser (2006) ketiga fase pembelajaran ini dijabarkan dalam langkah- langkah pembelajaran berikut ini:
1. Siswa diatur ke dalam kelompok (masing-masing siswa diberi sebuah lembar prediksi untuk mengetahui konsepsi awal mereka terhadap situasi anomali yang diperlihatkan).
2. Guru mendemonstrasikan suatu situasi anomali untuk mengaktifkan siswa.
3. Jika percobaan dimungkinkan, siswa melakukan percobaan dan menghasilkan hasil yang bertentangan dengan mereka dan menetapkan siswa dalam konflik kognitif.
4. Para siswa diminta untuk mendiskusikan hasil percobaan dan ide-ide mereka sebelumnya dengan teman sebaya mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka untuk saling bertukar ide-ide mereka dari percobaan.
5. Jika percobaan tidak mungkin, guru meminta siswa untuk membahas situasi anomali yang sebelumnya telah didemonstrasikan oleh guru dengan teman sebaya mereka.
6. Kemudian guru mengumpulkan ide-ide yang berbeda tentang situasi di papan tulis dan kemudian mendiskusikannya bersama mereka di depan kelas.
7. Akhirnya, ide-ide yang benar ditentukan dan dijelaskan secara rinci. Jika memungkinkan, guru menggunakan analogi untuk menjelaskan fenomena.
2.6. Komponen Pembelajaran Konflik Kognitif
Keberhasilan konflik kognitif ini bergantung dari keempat komponen tersebut. Konflik kognitif memiliki potensi untuk menghasilkan pemikiran yang konstruktif atau destruktif. Sebagai contoh, jika seorang siswa tidak mengenali situasi anomali yang telah diperlihatkan atau mengabaikan hal itu, atau jika ia tidak suka berada dalam keadaan konflik, maka siswa akan merasa frustrasi atau terancam bukan menjadi tertarik, dan dalam hal ini proses penciptaan konflik kognitif menjadi destruktif. Konflik kognitif menjadi konstruktif jika seorang siswa mengenali situasi anomali dengan jelas, untuk kemudian siswa merasa tertarik dengan situsi anomali itu, lalu merasa cemas dengan situasi dimana konsepsi yang dimilikinya dengan hasil yang ada dan untuk tujuan akhirnya dia akan meninjau kembali dengan konsepsi yang mereka pikirkan. Pada tahap resolusi (penyelesaian), siswa akan mencoba untuk menyelesaikan konflik kognitif dalam setiap cara yang mungkin.
Pembelajaran konflik kognitif sangatlah cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran biologi karena melalui pembelajaran konflik kognitif ini, siswa dilibatkan untuk memperoleh suatu konsep dari materi biologi yang diajarkan. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran sains, termasuk pembelajaran biologi sangatlah penting, hal ini dikarenakan Ilmu pengetahuan terutama sains adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Einstein dan Infeld dalam Suparno, 1997), dimana abstraksi dan teorisasi sains tidak hanya cukup dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang berbeda yaitu dunia kenyataan dan dunia pengertian, untuk menjembatani keduanya, diperlukan sebuah proses kontruksi imaginative (Bettencourt dalam Suparno,1997). Maka dari itulah, pengetahuan sains yakni dalam hal ini adalah pengetahuan biologi tidak dapat ditransfer begitu saja, pemindahan tersebut harus diinterpretasikan dan dikontruksikan siswa melalui pengalamannya sendiri.
Hal yang lain yang perlu dipahami adalah bahwa sebelum siswa memperoleh pelajaran disekolah mereka sudah mempunyai gagasan tentang peristiwa alamiah. Gagasan tersebut merupakan pengetahuan pribadi mereka yaitu gagasan yang terbentuk melalui belajar informal dalam proses memahami pengalaman sehari-hari. Sebagian besar dari gagasan-gagasan itu bersifat sebagai pengetahuan sehari-hari yang biasanya bertentangan dengan konsep ilmiah, karena gagasan mereka dibangun atas dasar akal sehat (common sense) saja dan tidak dibangun atas dasar metode ilmiah (I Wayan Sadia dalam Hari, 2010).
2.7 Implikasi Pembelajaran Konflik Kognitif
Menurut teori Piaget, tentang proses perkembangan kognitif mengatakan sturktur kognitif yang kita miliki selalu berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara asimilasi dan akomodasi. Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas atau tanpa konflik, maka struktur kognitif dikatakan berada pada keadaan seimbang (equilibrium) dengan lingkungannya. Namun, jika terjadi konflik maka seseorang berada pada keadaan tidak seimbang (disequilibrium). Hal ini terjadi karena skema yang masuk tidak sama dengan struktur (skema) kognitif yang dimilikinya. Ketika seorang berada pada keadaan disequilibrium, dia akan merespon keadaan ini, dan berupaya mengingat, memberdayakan konsep yang dimilikinya untuk mencari equilibrium baru dengan lingkungannya. Melalui metakognisi, bertanya pada teman yang tidak mengalami konflik, atau scaffolding yang diberikan guru maka siswa dapat keluar dari konflik. Jadi, konflik kognitif merupakan syarat awal atau stimulus dalam memperoleh keseimbangan (equilibrium) baru. Tingkat keseimbangan (equilibrium) baru ini lebih tinggi tingkatannya dari keseimbangan (equilibrium) sebelumnya. Ennis (1996) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir yang bertujuan agar kita dapat membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, sehingga apa yang kita anggap terbaik tentang suatu kebenaran dapat kita lakukan dengan benar.
Konflik kognitif dapat dikembangkan dengan mengintegrasikannya kedalam model Problem Based Learning (PBL) dengan sintaks pembelajaran seperti pada Tabel.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada kegiatan pemecahan masalah, dan masalah yang harus diselesaikan merupakan masalah yang belum jadi atau tidak terstruktur dengan baik (ill-structured problem), sehingga hal ini dapat menantang siswa untuk berpikir dan melakukan diskusi secara berkelompok. Siswa dihadapkan pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, siswa bekerjasama secara berkelompok untuk mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah (problem solving), kemudian siswa mendiskusikan apa yang harus dilakukan dan bernegoisasi.
Pola Konflik
Kognitif
|
Sintaks PBL
|
Tingkah Laku Guru
|
|
Mengungkapkan
Konsepsi Awal Siswa
|
Memberikan pertanyaan secara lisan atau tulisan
|
||
Menciptakan Konflik
Konseptual
|
Orientasi siswa kepada masalah
|
Menyampaikan tujuan
pembelajaran, mempersiapkan
kegiatan ilmiah dan memotivasi siswa
|
|
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
|
Mendemonstrasikan dan atau membimbing dalam membuat permasalahan
|
||
Membimbing
penyelidikan individu maupun kelompok
|
Mendorong siswa
dalam kerja kelompok untuk pemecahan masalah dan mengkomunikasikannya
|
||
Mengembangkandan menyajikan
hasil karya
|
|||
Mengupayakan
Terjadinya Akomadasi Kognitif
|
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Membantu siswa dalam evaluasi dan atau refleksi dari proses pemecahan
masalah
|
Modifikasi dari sintaks model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik (Trianto, 2007)
2.8 Kelebihan Pembelajaran Konflik Kognitif
Melalui pembelajaran ini, konsepsi siswa yang keliru tersebut dapat dirubah dengan proses equilibrium yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi yakni dengan memberikan ketidakpuasan terhadap konsepsi awal yang dimiliki siswa dengan memberikan situasi yang bertentangan dengan konsepsi tersebut. Suatu peristiwa dimana siswa tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Dalam situasi seperti itu, siswa dapat bertindak secara efisien untuk membentuk pengetahuan atau konsep yang baru melalui akomodasi.
Menurut Baser (2006) pembelajaran ini dapat mendorong adanya perubahan konsepsi siswa pada arah yang positif. Perubahan konsepsi siswa pada arah yang positif ini nantinya akan bermuara pada penguasaan konsep yang baik. Pembelajaran konflik kognitif ini memiliki keunggulan antara lain dapat mendorong perubahan konsepsi siswa dari konsep yang salah menjadi konsep yang benar, serta dapat menciptakan situasi pembelajaran yang dinamis melalui beragam metode pembelajaran didalamnya. Selain itu menurut partono (2003) pembelajaran ini juga dapat mengoptimalkan kemampuan konstruksi dalam stuktur kognitif siswa, dimana kemampuan ini sangat diperlukan dalam pembelajaran sains termasuk pembelajaran biologi. Sedangkan Sung-Bin et al menyatakan bahwa pembelajaran ini dapat mendorong siswa untuk meninjau kembali pikirannya terhadap konsepsi yang dia miliki sampai dia mendapatkan konsep yang sesuai, sehingga melalui pembelajaran ini siswa akan lebih terpacu untuk belajar karena rasa keingintahuan dia.
DAFTAR PUSTAKA
Baser, J . 2006. Doing Action Research: A Guide for School Support Staff. London: Paul Chapman Publishing
Brooks,J.G. & Books,M.G. 1993. The Courage To Be Constructivist. Educational
Leadership, Alexandria, VA:Association for Supervision and Curriculum
Development (ASCD).
Ennis, R. H, 1996. Critical Thinking, United States of America: Prentice-Hall Inc.
Gagne, R.M. 1974. The condition of Learning and Theory of Instruction. New York: DreydenPress.
Lorsbach, A. & Tobin, K. 1992. Contructivism as a Referent for Science Teaching. NARST
Reseach Matters. To The Sciense Teacher, No.30
Osborne, J. 1993. Beyond Construktivism In The Proceedings of the Third International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics Ittaca, N.Y,. Misconception Truts.
Partono. 2003. Pengaruh strategi konflik kognitif dalam Pembelajaran Fisika. Tesis PPS UPI.Bandung : UPI Press
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Trianto, 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
Von G’lasersfeld, E. 1991. Cognition, Construction of knowledge, and Teaching, Synthese, 80,121-140
0 komentar:
Posting Komentar