Era
globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua
identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia
ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan
pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal
ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi
perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat
Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda
dengan kapitalis dan komunis, yaitu Pancasila.
Bangsa
Indonesia menetapkan Pancasila sebagai azas. Maka, seluruh perilaku, sikap, dan
kepribadian adalah pelaksanaan dari nilai-nilai Pancasila. Perilaku, sikap, dan
kepribadian yang tidak sesuai dengan Pancasila berarti bukan perilaku, sikap,
dan kepribadian masyarakat Indonesia.
Masyarakat
yang melaksanakan perbuatan bertentangan dengan Pancasila, seperti korupsi,
KKN, nepotisme, merampok, mempermasalahkan poligami tapi membiarkan
perselingkuhan, melakukan perjudian, berzina, minum-minuman keras, dan
lain-lain, baik yang dilaksanakan oleh individu maupun gerombolan (jamaah).
Semua itu perbuatan yang sangat bertentangan dan tidak berpihak kepada
Pancasila. Dengan kata lain, Pancasilanya lepas saat mereka sedang melakukan
perbuatan terlarang itu.
Penetapan
Pancasila sebagai azas selayaknya didukung oleh masyarakat Indonesia dengan
menampilkan jati dirinya yang khas, yaitu identitas bangsa. Manakala masyarakat
tidak menampilkan identitas ini sesungguhnya berarti Pancasila tidak
dilaksanakan dalam berkehidupan di masyarakat. Sebenarnya Pancasila akan
mengangkat bangsa ini sebagai salah satu warna dari berbagai identitas yang ada
di masyarakat dunia, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Bangsa ini
malah bangga mempunyai identitas “baru” yang bila diperhatikan merupakan
perwujudan antara identitas kapitalis dan komunis. Di bidang perekonomian,
misalnya, banyak pergeseran ke arah kapitalis dimana swastanisasi dari sektor
usaha yang melayani hajat hidup masyarakat kini sudah banyak. Atau, pengalihan
sektor informasi ke swasta, yang merupakan pergeseran identitas Pancasila ke
Kapitalis/Liberalis.
Di era
reformasi Pancasila tenggelam, baik dalam tataran pelaksanaan maupun
pembicaraan di kedai-kedai kopi pinggir jalan. Para pemimpin tidak bangga
membawa/membicarakan Pancasila. Bahkan, membawa/membicarakan Pancasila dianggap
menjadi beban psikologis dalam pentas reformasi yang hingga kini belum
menunjukkan perubahan jelas seperti yang diinginkan masyarakat. Maka, lahirlah
istilah-istilah orde baru, orde reformasi, dan sebagainya, di masyarakat. Bagi
sebagian pemimpin, masyarakat yang membicarakan Pancasila takut dijuluki
pengikut/penerus orde baru.
Pemimpin besar
Bung Karno pernah mengatakan, bangsa Indonesia harus mandiri dan tidak
ikut-ikutan pada budaya bangsa lain. Sekarang justru masyarakat kita telah
berperilaku kapitalis/liberalis, yang artinya telah mengubah budaya kita
sendiri. Lihat saja, kontes ratu kecantikan dengan dalih macam-macam. Serta,
penafsiran yang salah terhadap perempuan dan poligami, pornografi yang dianggap
seni, dan lain-lain. Itu semua menjauhkan gagasan suatu negeri dari cita-cita
masyarakat madani atau masyarakat adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan
makmur dalam keadilan.
Apalagi, untuk
menuju masyarakat ini kita harus membangun masyarakat yang rabbani, insani,
akhlaqi, dan tawazun. Hablumminannas wa hablumminallah. Masyarakat yang jauh
dari keempat hal diatas berarti jauh pula dari perwujudan cita-citanya, serta
akan kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Kaum
kapitalis/liberalis gencar mengekspor tatanan yang menjadi identitasnya,
melalui bantuan-bantuan dan pinjaman, baik program pembangunan masyarakat,
pendidikan, kesehatan. Dengan isu demokrasi gender, dan lain-lain. Di sini,
bukan berarti pancasila paham yang tertutup. Justru Pancasila mengajarkan sikap
supel, luwes, dan saling menghargai kemerdekaan bangsa lain. Dalam pergaulan
dunia pun paham Pancasila menganut sistem politik bebas aktif. Ini menujukkan
Indonesia memiliki identitas sendiri dalam percaturan dunia.
Guna
mewujudkan identitas yang khas, masyarakat Indonesia hendaknya berupaya
sungguh-sungguh dalam mengarahkan akal pikiran dan kecenderungan dengan satu
arah yang dibangun di atas satu azas, yaitu Pancasila. “Azas tunggal” yang
digunakan dalam pembentukan identitas merupakan hal yang penting diperhatikan.
Kelalaian dalam hal ini akan menghasilkan identitas yang tidak jelas warnanya.
Mengembangkan identitas ini
bisa dilakukan dengan cara membakar semangat masyarakat untuk serius dan
sungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan nilai-nilai Pancasila, serta
mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. mengembalikan jati diri bangsa
untuk menuju masa depan yang lebih baik dengan sebuah jati diri yang memang
pantas kita banggakan baik di negeri
sendiri maupun di mata negeri lain. Namun semua proses tersebut tak lebih hanya
dalam khayalan belaka jika tidak ada support dari semua elemen bangsa ini.
Cukuplah kita sebagai bangsa
yang berdaulat merasa terjajah oleh bangsa lain. peristiwa problema perbatasan
wilayah bangsa ini memanas di wilayah Ambalat. Itulah suatu peristiwa yang
mengancam mencoreng jati diri bangsa ini. Oleh karena itu, kini saatnya kita
sebagai bangsa dan warga Negara yang baik dan memiliki jiwa nasionalisme
tinggi, tentu harus mempropagandakan sebuah proses mulia untuk mengembalikan jati diri bangsa
ini.
Jika kita pun enggan untuk
menyandang jati diri tersebut, lantas apalah arti sebuah kemerdekaan yang dulu
begitu getol kita perjuangkan hingga menghabiskan begitu banyak cucuran darah,
keringat serta air mata baik dari para relawan dan pejuang kita maupun
jiwa-jiwa yang tidak berdosa yang akhirnya pun ikut menjadi korban akibat
sebuah perjuangan tanpa kenal lelah untuk memperebutkan sebuah kemerdekaan yang
pada waktu itu sangat-sangat dinanti oleh segenap bangsa ini untuk mengakhiri
segala tindak kesewenang-wenangan bangsa lain yang tega nian melecehkan
kehormatan bangsa ini.
Mengembalikan sesuatu yang
hilang itu memang tidaklah mudah semudah membalik telapak tangan, namun jika
sesuatu yang hilang itu dicari oleh segenap masyarakat bangsa ini, maka bukan
mustahil jati diri itu akan mewarnai kehidupan
berbangsa kita yang mungkin akan mengantarkan kita menjadi bangsa yang disegani
oleh bangsa lain seperti dulu yang Indonesia sempat dikenal dengan macan asia
pada jaman orba dulu.
Pada saat lintasan reformasi mengikuti jalur yang tidak jelas, dan lamban, serta menghadapi tantangan-tantangan multi-dimensi. Bangsa Indonesia menghadapi tantangan untuk memanfaatkan seluruh khasanah kekayaan budayanya untuk tampil dengan penyelesaian kreatif. Bangsa Indonesia tidak saja harus dengan penuh keberanian mengambil khasanah budaya dan ilmu pengetahuan universal yang tersedia, namun harus mampu merumuskan solusi unik sebagai bagian dari upayanya untuk tetap lestari dalam percaturan sejarah.
Dalam
perspektif ini, mengatakan “NKRI adalah final”, dan merumuskan sebuah “jati
diri bangsa” ini bukanlah hak sebuah generasi atau kelompok tertentu bangsa
ini. Bahkan dalam era globalisasi ini, pertanyaan soal jati diri bangsa ini
bisa dianggap tidak relevan. Jika jatidirinya merupakan gambaran tentang
“postur budaya aslinya”, orang Indonesia “asli”, jika misalnya Homo Soloensis
dan Homo Mojokertoensis bisa disebut demikian, prestasinya tidak tercatat
membanggakan. Jati diri sebuah bangsa adalah sebuah “proses menjadi” terus
menerus yang dibayangkan bersama secara sadar oleh anggota bangsa
tersebut. Artinya, jati diri bangsa , dan “bentuk negara RI” adalah
sebuah “proyek konsensus bersama”, sebuah “proses penemuan”, sebuah proses
“memaknai kebersamaan sekelompok suku dalam suatu kawasan” dalam rangka
memenangkan kompetisi budaya dunia. Ini berarti bahwa jati diri bangsa
merupakan sebuah proses kreatif bangsa tersebut untuk mempertahankan diri
sebagai sebuah bangsa dalam sebuah pertarungan dan penaklukan budaya di dunia.
Proses kreatif
bangsa adalah upaya bangsa tersebut untuk melakukan evaluasi diri secara terus
menerus, keberanian meninggalkan aspek-aspek negatif budaya sendiri, dan
mengambil aspek-aspek positif budaya main stream, serta mengambil
keputusan atas postur budaya mereka sendiri dengan penuh tanggungjawab.
Masyarakat atau bangsa Eropa adalah contoh mutakhir yang dapat kita lihat
(sebagai catatan, luas Indonesia membentang sejak London hingga Ankara).
Kegagalan menyepakati sebuah Konstitusi Eropa dalam dua tahun terakhir ini
membawa “bangsa Eropa” mempertanyakan kembali jati dirinya.
Proses
globalisasi –bersama gagasan-gagasannya- yang tidak seimbang saat ini telah
menyebabkan bangsa-bangsa dunia ketiga dalam posisi sulit, terutama dalam
rangka mempertahankan jati dirinya. Karena globalisasi adalah sebuah proses
penaklukan budaya, upaya mempertahankan jati diri ini adalah mekanisme
melestarikan diri sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang takluk secara budaya,
disukai atau tidak, akan mengambil budaya penakluk tersebut tanpa melalui
sebuah proses kreatif.
Dalam kaitan
inilah, pendidikan merupakan sebuah upaya sadar untuk membangun kapasitas
kreatif bangsa ini. Kreativitas sebuah bangsa barangkali merupakan satu-satunya
aspek yang terpenting dari bangsa tersebut karena, pertama, bangsa adalah
sebuah komunitas yang diimajinasikan (an imagined society). Perlu segera
dikatakan, bahwa jati diri bangsa hanyalah atribut (sifatan) yang dilekatkan
secara konsensual oleh bangsa tersebut. Kedua, pendidikan adalah upaya mengantar
peserta didik ke masa depan yang penuh gejolak, ketidakpastian, dan
ketidakjelasan. Hanya bangsa kreatif yang akan mampu bertahan, dalam arti
menemukan jati dirinya, dalam lingkungan tidak pasti, dan tidak jelas tersebut.
Kreativitas sebagai tanggung jawab sejarah
Peran kreatif
manusia harus dipandang sebagai peran utamanya sebagai makhluk sejarah. Sejarah
(his-story) adalah kisah upaya kreatif manusia dalam menjawab tantangan
hidup. Pertanggungjawaban yang kita tagih pada setiap manusia mensyaratkan bahwa
manusia kita beri kewenangan kreatif. Menjadi kreatif berarti mengambil
keputusan untuk bertanggungjawab. Kewenangan kreatif ini dipijakkan pada
kapasitas kreatifnya, yaitu :
1.
Kepekaan
dan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk “pasar” yang dilayaninya,
2.
Kesanggupan
untuk melayani orang lain secara tidak diskriminatif,
3.
Kejujuran
untuk melakukan evaluasi diri secara terus menerus,
4.
Kekayaan
imajinasi untuk menyediakan alternatif pemecahan masalah,
5.
Kecerdasan
untuk menilai kelayakan rumusan pemecahan masalah tersebut,
6.
Keberanian
untuk memilih pemecahan masalah dengan penuh tanggungjawab
7.
Ketrampilan
untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut secara etis, terutama dalam
sebuah lingkungan yang majemuk.
Segera perlu
dicermati, bahwa di samping kapasitas kreatif adalah pondasi kepemimpinan (leadership),
kapasitas kreatif manusia lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional,
moral, spiritualnya. Memimpin pada dasarnya adalah memilih pilihan-pilihan
moral, dan memilih jati (citra) diri. Dalam hal ini, kompetensi berbahasa dan
berkomunikasi (terutama mengarang, bercakap-cakap, mendengarkan dengan penuh
perhatian) merupakan kompetensi yang instrumental. Kecerdasan akal (IQ) yang
bersifat analitik, vertikal-sikuensial, dan crispy, hanya menyusun
kurang dari 20 persen kapasitas kreatif manusia. Pemujaan berlebihan pada
kompetensi kognitif, sains, dan matematika selama ini, telah memberi gambaran
yang keliru mengenai kompetensi yang perlu ditumbuhkembangkan bagi warga
negara. Ditambah dengan proses pembelajaran yang tidak berpusat pada siswa,
kapasitas kreatif siswa menjadi tidak berkembang secara optimal, bahkan –dalam
banyak kasus- justru dimatikan.
Ciri terpenting
masa depan adalah ketidakpastian dan ketidakjelasannya. Jika pendidikan adalah
pengantar ke masa depan, maka sekolah seharusnya merupakan sebuah training
ground penyikapan secara sehat ketidakpastian dan ketidakjelasan tersebut.
Pembelajaran kontekstual, memberi tantangan intelektual, emosional, moral
cukup, merupakan lingkungan kondusif bagi penumbuhan kapasitas kreatif (dan
dengan demikian juga kepemimpinan) siswa. Ketidaktuntasan penyelesaian
bertumpuk masalah kita dalam periode reformasi (demokratisasi dan
desentralisasi) saat ini sebagian besar disebabkan sikap tidak kreatif para
pemimpin formal birokrasi yang lamban dan indecisive. Ciri pemimpin
(daerah, dan pada berbagai tingkatan hirarki) tidak bertanggungjawab semacam
ini adalah dengan mengatakan “saya hanya pelaksana, bertindak berdasarkan
petunjuk teknik dan petunjuk pelaksanan dari atasan saya”, seolah-olah mereka
hanyalah sebuah tombol yang ditekan secara “remote control” dari
Jakarta. Oleh karena itu, guru sebagai pemandu siswa ke masa depan, perlu
memiliki kompetensi in-promptu untuk mengembangkan pengalaman belajar
bermakna secara inovatif dan luwes. Guru yang menggantungkan diri pada “juklak
dan juknis rinci” dari “atas” sehingga tidak perlu melakukan interpretasi –dan
oleh karenanya tidak bertanggungjawab- (apalagi kelulusan siswanya ditentukan
oleh Ujian Nasional) bukanlah guru kompeten untuk mengembangkan kapasitas
kreatif anak didik.
Kapasitas
kreatif juga ditunjukkan oleh kemampuan berpikir secara sintetik,
lateral-paralel, dan fuzzy. Kapasitas kreatif yang rendah bangsa
Indonesia sebagian ditunjukkan oleh statusnya sebagai konsumen sains dan
teknologi. Perlu dicermati juga, bahwa kapasitas kreatif ini merupakan
penyusun modal buatan bangsa ini. Ketergantungan pada modal alamiah merupakan
bukti langsung betapa kapasitas kreatif bangsa ini tidak berkembang, sehingga
kemakmurannya diperoleh dengan cara melakukan eksploitasi kekayaan alamnya,
bukan melalui proses nilai tambah yang berbasis pengetahuan, teknologi,
dan seni. Seluruh ekspor tambang, kayu, hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan
perikanan, habis oleh impor produk-produk teknologi dan budaya bangsa dunia
pertama (telekomunikasi, mobil, pesawat terbang, film, musik, fashion,
perangkat lunak). Pada saat lingkungan kita semakin rusak, dan kita semakin
miskin, negara-negara kreatif semakin kaya, lingkungan mereka semakin terpelihara,
dan menjajah kita secara budaya.
{ Implikasi
Pendidikan
Mengembangkan kapasitas kreatif dalam rangka membangun
jati diri bangsa harus dipijakkan pada upaya menjadikan peserta didik sebagai
pusat proses pembelajaran, dan memberi kesempatan pada peserta didik untuk
mengalami proses pembelajaran tuntas.
Desain kurikulum saat ini kurang tepat, karena dengan
beban seberat saat ini, baik peserta didik maupun guru/dosen hanya tertarik
dengan aspek-aspek kognitif –analitik peserta didik, sehingga tidak terjadi
pembelajaran tuntas. Dengan koleksi perpustakaan dan terbatasnya akses
internet, peserta didik dan guru tidak terdorong untuk melakukan
proses-proses pembelajaran yang lebih bersifat penguasaan proses inquiry,
tapi lebih tertarik pada hasil proses yang telah disediakan. Proses
individualisasi pengetahuan tidak terjadi, sehingga peserta didik akan segera
“melupakan” materi begitu semester berganti. Sistem evaluasi hampir selalu
evaluasi tertulis, bahkan pilihan berganda, yang analitik dan reduksionistik.
Pengembangan kemampuan-kemampuan sintetik, dan lintas-disiplin, bekerja dalam
kelompok tidak berkembang, karena ini “mempersulit” peserta didik dan guru
sendiri. Harus juga dikatakan, bahwa guru dan dosen tidak terbiasa untuk
memberikan tantangan intelektual yang cukup, materi kuliah dan ujian yang tidak
banyak perubahan dan pemutakhiran, sehingga berkembang budaya “baceman” di
kalangan mahasiswa.
Mahasiswa juga tidak terbiasa menjadi manajer kuliahnya
sendiri. Pada umumnya, mahasiswa tidak tahu apa tujuan kuliahnya, dan oleh
karena itu tidak memiliki strategi menyelesaikan kuliahnya. Sangat penting
untuk mempersoalkan tujuan kuliah mahasiswa up-front pada masa-masa awal
kehidupan kampusnya (to challenge them about their objectives up-front)
, agar mahasiswa mulai menyadari tujuan, kendala, dan kebutuhan untuk
merumuskan strategi atau “ rencana” kuliahnya. Ini dimaksudkan agar mahasiswa
didorong untuk bertanggungjawab atas kesuksesan kuliah mereka sendiri, serta
memberi pengalaman bermakna pada kehadiran mereka di kampus.
Upaya meneguhkan jatidiri bangsa dapat dilakukan dengan
membangun pendidikan yang mengembangkan kapasitas kreatif dan kepemimpinan
peserta didik sebagai warga negara. Pendidikan yang membangun kapasitas kreatif
ini akan menentukan kemampuan bangsa ini menemukan jati dirinya sendiri sebagai
bagian dari proses konsensus bangsa ini sebagai sebuah komunitas yang
diimajinasikan. Bangsa yang memiliki jati diri adalah bangsa yang warga
negaranya memiliki jati diri.
Upaya membangun kapasitas kreatif ini seharusnya sudah
dimulai sejak pendidikan dasar. Pendidikan sebagai pengantar anak didik ke masa
depan perlu didorong agar menjadi gerakan budaya yang mengembangkan local
leaders yang sanggup menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan secara
kreatif. Memaksankan sebuah tafsir “jati diri” tertentu bagi mereka, atau
menganggap bahwa NKRI adaklah bentuk final –yang akan cocok sepanjang masa-
merupakan penghinaan atas tanggung jawab kreatif mereka dan pegingkaran atas
tanggungjawab sejarah mereka sebagai pemimpin di masa depan.
Sekolah dan kampus perlu mendisain ulang kurikulumnya
menjadi tidak “padat akademik” seperti sekarang dengan jumlah sajian
akademik yang terlalu banyak (lebih dari 6). Beban yang lebih “peka
kepribadian” adalah 12 sks dengan jumlah sajian akademik 3 atau 4 saja,
sehingga pendalaman materi dan pengembangan kepribadian peserta didik
memperoleh porsi perhatian, dan alokasi sumberdaya yang lebih memadai. Model
evaluasi hendaknya lebih multi-ranah, kualitatif, dan mendorong proses pembelajaran
tuntas. Tugas-tugas lintas –disiplin yang bersifat sintetik juga perlu
dikembangkan.
Peserta didik berkapasitas kreatif memadai akan mampu
membangun jati dirinya sendiri, dan sebagai warga
negara akan sanggup secara aktif melakukan transaksi-transaksi sosial yang
diperlukan untuk membangun bangsanya sendiri. Jati diri bangsa
selanjutnya akan ditemukan dalam proses konsensus kreatif ini. Adalah
tanggungjawab sejarah mereka, dan terserah mereka untuk menentukan jati diri,
atau bentuk negara RI ini. Ini yang membuat masa depan mereka tidak sekedar
“warisan”, namun menjadi menantang dan mungkin menegangkan, dan oleh karena itu
menjadi berharga dan pantas diperjuangkan.
Kelemahan utama dari sistem pendidikan kita sekarang adalah
pendidik-pendidik kita telah terjebak pada dunia kapitalistik. Lembaga-lembaga
pendidikan kita telah masuk perangkap sebagai pasar berbagai kepentingan
bisnis. Akibatnya, pembangunan SDM yang sesungguhnya di mana lembaga pendidikan
semestinya membuat anak didiknya dapat hidup mandiri dan lebih baik daripada
sebelum masuk lembaga pendidikan tersebut, akhirnya tidak dapat tercapai.
Anak-anak yang masuk ke sebuah lembaga pendidikan kita sekarang justru menjadi
anak-anak yang minder dan kurang tangguh di dalam menghadapi tantangan hidup.
Kita membutuhkan tenaga-tenaga pendidik yang berjiwa seperti Socrates,
Aristoteles, Mbah Kyai Cholil dsbnya. Socrates dapat melahirkan Plato yang terkanal juga
sebagai filosof. Aristoteles mampu melahirkan Alexander Agung yang menjadi Raja
Macedonia dengan kekuasaan yang sangat besar. Mbah Kyai Cholil mampu melahirkan
pendiri NU KH Hasyim Asy’ari . KH Manab pendiri Ponpes Lirboyo, KH Ma’ruf —
pendiri Ponpes Kedung Lo dsbnya. Sebagai pendidik, beliau-beliau merupakan
pribadi yang sederhana, berwawasan luas dan benar-benar memperhatikan kasih
sayang terhadap anak didiknya.
Sistem Pendidikan kita ibarat rumah sakit umum yang harus menerima banyak
(sangat banyak) pasien dengan segala macam penyakitnya, tanpa dokter spesialis
(ha ha ha).Penyakit sosial demikian banyak, anak dibesarkan dalam rumah tangga yang kurang berfungsi sebagai lembaga
pendidikan utama. Sebaik apapun kurikulum dan sistem pendidikan kalau pelakunya
tidak profesional ,toh tidak berarti apa apa Kurikulum ibarat sebuah lagu, tergantung siapa yang
menyanyikannya.
Tidak ada komitmen membangun manusia seutuhnya.karena komitmen harus
diwujudkan dalam keteladanan. Pemimpin
(educator) hampir punah , yang banyak adalah pemerintah .Yang paling
menyedihkan ialah bahwa keluarga melahirkan anak-anak, namun kurang mampu
mengembangkan multiple inteligence, dan kemudian diserahkan ke sekolah. Oleh
karenanya harus digalakkan “pendidikan keluarga “sebagai wadah tumbuh kembang manusia cerdas dan kompetitif.
bahwa kelemahan utama pendidikan kita bukan hanya pada materinya; tapi juga
proses pendidikan itu sendiri secara keseluruhan. Titik berat pada transfer
ilmu pengetahuan yang hanya bersifat kognitif, dan tidak adanya pengajaran dan
keteladanan; akhirnya membuat pendidikan kita hanya menghasilkan manusia yang
tidak utuh. Bukan hanya tidak memiliki kecakapan emosional, tetapi juga
kehilangan karakter dan jati diri.
0 komentar:
Posting Komentar