Oleh : Prasetyani Estuning Asri
Hujan mulai reda, dengan tergesa-gesa Tya beranjak meninggalkan halte tempat ia berteduh. Hari mulai petang, ia sudah menduga pasti abangnya baklan ngomel-ngomel karena ia pulang larut lagi.
“Dari mana kamu Dek?” Sergap abang Tya yang memang sudah menunggu kedatangan Tya.
“Dari nyari buku, kan tadi udah pamit. Udah ah minggir! Aku lagi bete ini.” Tya menerobos di bawah tangan abangya yang bersandar di daun pintu.
“Ya tapi nggak sampek malem juga kalik. Bete kenapa?”
“Iya deh, besik nggak lagi. Nih, temenku pada rese, bikin emosi tau nggak! Dibilangin nggak ngerti-ngerti juga.”
Mereka berdua lalu menuju dapur, abang Tya lalu menyeduh dua cangkir teh untuk menambah kehangatan malam itu.
“Hemm, kamu tuh selalu gitu..”
“Gitu giman sih Bang??”
Abang Tya masih asyik menyeruput teh yang ia seduh tanpa gula, Tya mulai jengkel dan terus berkicau.
“Abang ih ikutan nggak jelas!! Semua orang tuh hari ini aneh! Bikin bete!”
“Diem deh! Kamu tu selalu kayak gitu, selalu nganggep orang lain salah, selalu menilai segala sesuatu cuma dari satu sudut pandang dan langsung komentar ngalor ngidul pakai emosi! Mau sampai kapan kayak gini ha??”
“Tapi kan aku nggak salah Bang.. aku ngapain coba? Aku cuma nggak suka aja sama sikap temen gue tadi, tapi dia itu aku suruh introspeksi nggak mau!! Aku kan jengkel, Bang! Aku kan emang kayak gini ceplas-ceplos,harusnya mereka ngerti sifatku dong,aku kan cuma mau jadi diri sendiri!”
“Hemmh, kamu tuh Dek, sukanya nyuruh orang lain buat introspeksi, tapi apa kamu pernah introspeksi??? Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan orang lain atas ucapanmu yang menyakitkan?? Kamu selalu merasa dalam pihak yang benar, kamu EGOIS Dek! Menjadi diri sendiri itu BUKAN berarti ngebolehin sifat-sifat jelek terpupus dalam diri! Apa salahnya berubah jadi lebih baik. .”
“Oke aku egoist, tapi mereka juga sama!Bang, aku tuh cuma nggak suka sama sikap perempuan yang kalau punya masalah pasti lama urusannya. Nggak kayak laki-laki, punya masalah selesain dan udah selesai! Tapi perempuan itu aneh Bang!”
“Dek, plis deh. Jangan kepala batu!! Jangan kayak gini terus!! Kamu harus bisa memahami posisimu, kau ini perempuan! Kamu yang aneh kalau sampai punya pikiran perempuan itu aneh! Mereka bukannya egois, mereka juga bukannya sensitif atau suka membesar-bensarkan masalah! Tapi mereka memiliki hati yang lembut, yang tidak bisa begitu saja menerima perlakuan kasarmu!”
Tya tertunduk lesu sofa sambil memegangi secangkir teh buatan Abangnya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan tangispun pecah. Ia mulai menyadari betapa kersanya ia selama ini, betapa egoisnya dia dalam menjalani persahabatan. Dia tidak memahami hati seorang wanita meski ia sendiri adalah wanita. Abang Tya mulai melunak ketika melihat adiknya mulai menangis tersedu-sedu.
“A a aku me memang begoo” Suara Tya lirih sambil memukul-mukul kepalanya.
“Sudah.. sudah cukup... Dek, Abang tahu kau mudah bergaul, kau mudah akrab dengan teman-temanmu, tapi Dek,kau juga mudah emosian. Mulai sekarang, Abang minta kamu berubah ya, jangan sampai kau kehilangan teman-temanmu yang luar biasa itu. Sudah jangan nangis, minta maaf gih sama teman-temanmu.” Kali ini suara Abangnya Tya jauh lebih halus.
“Mana mau mereka maafin aku yang bego ini?”
“Luka itu lambat laun akan mengering, tapi ingat akan selalu ada bekasnya. Tugasmu saat ini adalah mengeringkan luka itu, untuk soal bekas yang akan selalu mengingatkan tentang terciptanya luka itu adalah urusan sang empunya luka. Tapi dengan catatan, kau harus berusaha keras menyembuhkan luka itu, kalau bisa hapus hingga tak berbekas. Yang jelas, sekarang segeralah minta maaf, tulus! Untuk urusan mereka mau memaafkan atau tidak, itu bukan lagi menjadi urusanmu.”
Tya mulai bangkit dan memeluk Abangnya dengan erat. Ia mulai menyadari bahwa sebelum meluapkan emosi alangkah baiknya kita berpikir dahulu, karena etelah emosi semuanya kan berantakan. Dalam hati kecilnya, Tya berjanji akan menahan emosinya, dan berusaha untuk tidak egois, serta mau memahami perasaan orang lain.
Nb: untuk semua orang yang pernah saya sakiti, saya mohon maaf..
Hujan mulai reda, dengan tergesa-gesa Tya beranjak meninggalkan halte tempat ia berteduh. Hari mulai petang, ia sudah menduga pasti abangnya baklan ngomel-ngomel karena ia pulang larut lagi.
“Dari mana kamu Dek?” Sergap abang Tya yang memang sudah menunggu kedatangan Tya.
“Dari nyari buku, kan tadi udah pamit. Udah ah minggir! Aku lagi bete ini.” Tya menerobos di bawah tangan abangya yang bersandar di daun pintu.
“Ya tapi nggak sampek malem juga kalik. Bete kenapa?”
“Iya deh, besik nggak lagi. Nih, temenku pada rese, bikin emosi tau nggak! Dibilangin nggak ngerti-ngerti juga.”
Mereka berdua lalu menuju dapur, abang Tya lalu menyeduh dua cangkir teh untuk menambah kehangatan malam itu.
“Hemm, kamu tuh selalu gitu..”
“Gitu giman sih Bang??”
Abang Tya masih asyik menyeruput teh yang ia seduh tanpa gula, Tya mulai jengkel dan terus berkicau.
“Abang ih ikutan nggak jelas!! Semua orang tuh hari ini aneh! Bikin bete!”
“Diem deh! Kamu tu selalu kayak gitu, selalu nganggep orang lain salah, selalu menilai segala sesuatu cuma dari satu sudut pandang dan langsung komentar ngalor ngidul pakai emosi! Mau sampai kapan kayak gini ha??”
“Tapi kan aku nggak salah Bang.. aku ngapain coba? Aku cuma nggak suka aja sama sikap temen gue tadi, tapi dia itu aku suruh introspeksi nggak mau!! Aku kan jengkel, Bang! Aku kan emang kayak gini ceplas-ceplos,harusnya mereka ngerti sifatku dong,aku kan cuma mau jadi diri sendiri!”
“Hemmh, kamu tuh Dek, sukanya nyuruh orang lain buat introspeksi, tapi apa kamu pernah introspeksi??? Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan orang lain atas ucapanmu yang menyakitkan?? Kamu selalu merasa dalam pihak yang benar, kamu EGOIS Dek! Menjadi diri sendiri itu BUKAN berarti ngebolehin sifat-sifat jelek terpupus dalam diri! Apa salahnya berubah jadi lebih baik. .”
“Oke aku egoist, tapi mereka juga sama!Bang, aku tuh cuma nggak suka sama sikap perempuan yang kalau punya masalah pasti lama urusannya. Nggak kayak laki-laki, punya masalah selesain dan udah selesai! Tapi perempuan itu aneh Bang!”
“Dek, plis deh. Jangan kepala batu!! Jangan kayak gini terus!! Kamu harus bisa memahami posisimu, kau ini perempuan! Kamu yang aneh kalau sampai punya pikiran perempuan itu aneh! Mereka bukannya egois, mereka juga bukannya sensitif atau suka membesar-bensarkan masalah! Tapi mereka memiliki hati yang lembut, yang tidak bisa begitu saja menerima perlakuan kasarmu!”
Tya tertunduk lesu sofa sambil memegangi secangkir teh buatan Abangnya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan tangispun pecah. Ia mulai menyadari betapa kersanya ia selama ini, betapa egoisnya dia dalam menjalani persahabatan. Dia tidak memahami hati seorang wanita meski ia sendiri adalah wanita. Abang Tya mulai melunak ketika melihat adiknya mulai menangis tersedu-sedu.
“A a aku me memang begoo” Suara Tya lirih sambil memukul-mukul kepalanya.
“Sudah.. sudah cukup... Dek, Abang tahu kau mudah bergaul, kau mudah akrab dengan teman-temanmu, tapi Dek,kau juga mudah emosian. Mulai sekarang, Abang minta kamu berubah ya, jangan sampai kau kehilangan teman-temanmu yang luar biasa itu. Sudah jangan nangis, minta maaf gih sama teman-temanmu.” Kali ini suara Abangnya Tya jauh lebih halus.
“Mana mau mereka maafin aku yang bego ini?”
“Luka itu lambat laun akan mengering, tapi ingat akan selalu ada bekasnya. Tugasmu saat ini adalah mengeringkan luka itu, untuk soal bekas yang akan selalu mengingatkan tentang terciptanya luka itu adalah urusan sang empunya luka. Tapi dengan catatan, kau harus berusaha keras menyembuhkan luka itu, kalau bisa hapus hingga tak berbekas. Yang jelas, sekarang segeralah minta maaf, tulus! Untuk urusan mereka mau memaafkan atau tidak, itu bukan lagi menjadi urusanmu.”
Tya mulai bangkit dan memeluk Abangnya dengan erat. Ia mulai menyadari bahwa sebelum meluapkan emosi alangkah baiknya kita berpikir dahulu, karena etelah emosi semuanya kan berantakan. Dalam hati kecilnya, Tya berjanji akan menahan emosinya, dan berusaha untuk tidak egois, serta mau memahami perasaan orang lain.
Nb: untuk semua orang yang pernah saya sakiti, saya mohon maaf..