Membina merupakan salah satu cara berdakwah,sedangkan dakwah itu sendiri merupakan kewajiban setiap muslim. Selain itu, Rasulullah pun bersabda thalabul’ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin. Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Halaqah atau forum sejenisnya merupakan sarana yang efektif untuk mempelajari Islam. Rasulullah sendiri pun mencontohkannya dalam membina para sahabat beliau. Halaqah hanya dapat berjalan jika ada pengajar (murabbi) dan peserta (mutarabbi). Menurut kaidah fiqih, sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban,maka hukumnya menjadi wajib. Logikanya, halaqah menjadi wajib karena merupakan sarana efektif untuk keberhasilan dakwah,sedangkan halaqah tidak dapat berjalan tanpa adanya murabbi. Dengan demikian, menjadi murabbi kemudian hukumnya juga wajib. Seperti yang ditulis sebelumnya bahwa Rasulullah pun membina para sahabat dengan halaqah,baik di Darul Arqam,Mekkah, maupun di Madinah. Jadi,bisa diartika bahwa membina merupakan salah satu sunnah rasul. Para sahabat yang notabene merupakan generasi terbaik sepanjang masa merupakan hasil didikan halaqah Rasulullah. Dengan membina halaqah,setidaknya kita berkontribusi membentuk pribadi-pribadi muslim yang unggul.
Membina,selain untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan peserta tentang ilmu Islam, juga memiliki manfaat serupa bagi murabbi itu sendiri. Untuk menyampaikan materi,tentunya murabbi juga harus mempelajarinya terlebih dahulu karena bila salah menyampaikan,akibatnya mungkin bisa fatal. Selain itu, murabbi juga dituntut untuk dapat memahami karakteristik peserta dengan latar belakang dan pemikiran yang beragam. Ia juga dapat belajar banyak hal,misalnya belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, bergaul, mengemukakan pendapat, mempengaruhi orang lain, merencanakan sesuatu, menilai orang lain, mengatur waktu, mengkreasikan sesuatu, mendengar pendapat orang lain, mempercayai orang lain, dan lain sebagainya. Pembelajaran-pembelajaran seperti inilah yang kemudian disadari ataupun tidak akan dapat meng-upgrade kemampuan murabbi.
Memperbaiki sembari membangun pondasi
Melihat sebuah gerakan yang tidak berjalan semestinya, pincang dan compang camping seringkali membuat hati ini miris. Memang perlu kesabaran untuk menghadapinya, sembari membuka lebaran tarikh yang tergores di Al Qur’an yang agung, tentang nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS yang mengajarkan tentang kesabaran dalam melihat suatu hal, prinsip dasarnya adalah lakukanlah dahulu, jangan banyak tanya, dan lebih baik diamlah terlebih dahulu.
Memperbaiki itu memang pekerjaan yang tak mudah, perlu untuk membongkarnya dari per bagian. Melihat sisi rusaknya untuk di repackage kembali. Ataupun menggganti komponen yang lain. Ataupun memang perlu dirusak dahulu sampai lebur tak mampu berdiri sampai dasarnya, kemudian membangun pondasi yang baru yang lebih kokoh untuk dikembangkan komponen diatasnya.
Menggerakkan roda perubah
Untuk merubah kondisi dari sebuah gerakan memang perlu gear penggerak yang mampu berputar secara normal, kalaupun tak ada setidaknya ada yang masih bisa “dilumasi” untuk mampu berputar kembali. Kalau memang sulit mending diganti saja. Dan roda perubah itu memang perlu naik gigi, tak selalu gigi satu, perlu naik dan naik, supaya arus pergerakan ini lebih cepat. Karena waktu yang diberikan untuk merubah itu tidak banyak, dan ada masanya untuk diganti oleh gigi perubah yang baru. Merubah tak semudah memutar bola, dan sependek jarak antar proton elektron. Karena tingkat batasan masa optimal untuk bergerak maka perlu granddesign jangka panjang yang disegmen dalam tahapan yang terencana.
Dan menggerakkan roda perubah ini terkadang perlu dua perlakuan. Dengan sentuhan perlahan, dan sentakan. Dan dua hal ini terkadang dilematis. Seringkali dengan sentuhan perlahan sulit untuk berputar, bahkan tak bergeming sedikitpun. Gemes memang. Nah senjata yang mungkin perlu dikeluarkan. Dengan sedikit” sentakan’ yang menggores setidaknya melecut perputaran roda. Dilema yang kedua seberapa kekuatan sentakan supaya tidak sampai meleburkan. Yaa.. perlu banyak belajar.. belajar peka, memahami, dan menciptakan konspirasi untuk memperbaiki.
Setiap apa yang kia miliki akan dimintai pertanggungjawaban,termasuk ilmu yang kita dapatkan. Ilmu yang tidak diajarkan justru akan menjadi boomerang yang memberatkan timbangan keburukan kita kelak di yaumul mizan. Tidak mengajarkan ilmu sama dengan kikir ilmu,padahal Allah SWT tidak menyukai orang yang kikir. Lagipula, ilmu yang ‘mengalir’ akan lebih bermanfaat baik bagi pemiliknya maupun bagi orang lain,dibandingkan dengan ilmu yang ‘menggenang’. Ibarat air, air yang menggenang akan lebih cepat membusuk dan menjadi sarang penyakit daripada air yang senantiasa mengalir.
Selain itu,membina halaqah juga bisa menjadi sarana perekat ukhuwah. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari halaqah, murabbi dituntut untuk bisa bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama ini dapat menciptakan jalinan ukhuwah Islamiyah antara murobbi dan peserta halaqah. Banyak orang Islam yang tak dapat merasakan manisnya ukhuwah. Namun dengan menjadi murabbi, seorang muslim akan mendapat kesempatan untuk merasakan manisnya ukhuwah.
Selain itu,membina halaqah juga bisa menjadi sarana perekat ukhuwah. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dari halaqah, murabbi dituntut untuk bisa bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama ini dapat menciptakan jalinan ukhuwah Islamiyah antara murobbi dan peserta halaqah. Banyak orang Islam yang tak dapat merasakan manisnya ukhuwah. Namun dengan menjadi murabbi, seorang muslim akan mendapat kesempatan untuk merasakan manisnya ukhuwah.
Bila kemudian banyak orang yang tidak mau memina dengan alasan tidak punya ilmu yang cukup atau alasan yang lainnya,perlu ditegaskan lagi bahwa “..Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. 3 :79). “Sampaikan walau hanya satu ayat”(Al-Hadits) . Kewajiban kita hanyalah menyampaikan, masalah hidayah itu adalah urusan Allah SWT. Mungkin kita tidak bisa langsung berhasil saat pertama kali membina,atau bahan gagal meski sudah berkali-kali membina,tetapi kegagalan bukan alasan untuk berhenti membina. Kegagalan merupakan cara Allah menguji sampai dimana komitmen kita. Asal niat kita lurus,semata-mata demi ridha Allah SWT, maka pasti “inna ma’al ushri yusra” (QS 94 : 6). Kalau bicara pada tataran ideal, sudah jelas bahwa membina merupakan tuntunan Rasulullah SAW.
Pertama, soal kompetisi. Allah pun memerintahkan kita untuk fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Islam yang dibawa Rasulullah SAW usianya sudah hampir 15 abad. Bayangkan berapa banyak jumlah muslim sepanjang rentang waktu itu. Sekarang saja umat muslim sudah mencapai milyaran jiwa, apalagi jika diakumulasi selama 1446 tahun (13 tahun fase Mekkah ditambah 1433 tahun setelah hijrah ke Madinah). Surga itu memang luas, tapi hanya orang dengan amalan terhebat dan pahala terbanyak yang mendapatkan kemuliaan paling besar: melihat Allah SWT. Nah, kita sebagai umat mutaakhir, yang jauh dari ketinggalan dalam hal kualitas dan ketaatan jika dibandingkan generasi awal Islam, sudah seharusnya mengambil apa pun peluang untuk mendapat pahala.
Kedua, soal reward, tentang imbalan dari amal kita Tahukah kalau membina itu adalah investasi yang dijamin tak akan pernah rugi? Jaminannya gak main-main langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah menjanjikan pahala bagi orang yang karenanya orang lain berbuat baik, dengan pahala yang sama besar dengan orang yang melakukan kebaikan itu tanpa mengurangi pahala orang tersebut? Bayangkan jika kita punya 10 orang binaan saja, lalu setiap binaan kita membina lagi masing-masing 10 orang, kita sudah punya investasi pahala dari 110 orang. Belum lagi kalau binaannya binaan kita itu juga membina dan seterusnya demikian. Wah, makin besar saja return(pahala)nya.
Ketiga, soal upgrading diri sendiri. Kata orang bijak, murid adalah cerminan gurunya. Kata ustadz, mutarabbi adalaah cerminan dari murabbinya. Ketika murrabinya jatuh, adik-adik binaanku juga. sadar maupun tidak, membina itu jadi sarana yang ‘memaksa’ kita untuk meningkatkan kapasitas, baik ruhiyah, fikriyah, maupun jasadiyah.
Keempat, soal proteksi diri. Setiap apa yang kita punya sekarang itu akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau lolos di dunia, di akhirat jangan harap. Kesalahan sebiji sawi pun pasti diketahui. Membina itu bisa jadi sarana mengajar sekaligus mengamalkan apa yang kita ajarkan. Praktis dan insya Allah efektif. Percuma juga jadi orang pinter, jenius malah, tapi pinternya cuma dinikmati sendiri.