Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Selasa, 25 Agustus 2015

Biografi Buya Hamka, Ulama Multi Dimensi


Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kam pung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah. Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari gelar-gelar kehormatan yang disandangnya. Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau yang didapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.

Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sedangkan sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor Hamka”.

Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku. Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang bergelar Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah” yang mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra lantaran Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian hormat serta cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.

Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji Miskin dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan “Harimau Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi kemenangan gerakan Salafiyah pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali agama Islam dari bid’ah, yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah S.A.W.

Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta dua orang ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada masa awal gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada 1802, mereka kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan pembaharuan Islam yang mereka dapati selama belajar di Mekah. Bersama lima orang ulama yang kemudian mendukungnya sehingga mereka dijuluki Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta pengikut-pengikutnya itulah yang kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang menempati posisi penting dalam sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda. Di antara delapan ulama pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya yang tegas dalam berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang mula-mula mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.

Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin dari Mekah yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun kembali dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib. Maka sebelum lebih lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah diuraikan secara singkat sosok Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan juga secara singkat tradisi keulamaan di dalam keluarga Amrullah yang menurut silsilahnya sampai kepada Tuanku Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampat Koto. Tradisi keulamaan keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam tradisional masyarakat Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang mencapai puncaknya di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai perjalanan hidup Hamka kemudian.


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Biografi Buya Hamka, Ulama Multi Dimensi Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan