Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Selasa, 25 Agustus 2015

Buku Tempo : Biografi Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.  KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu. 

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).  Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan. 

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto. Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.  

Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945) Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang. 

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren. Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manusia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.  

Abdul  Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, para perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri KH Muhammad Ilyas, pendiri Pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antar-anak kiai atau anak kiai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, raja pertama Kesultanan Pajang (1549-1582). Keduanya bermuara di Sultan Demak Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498. 

Para ilmuwan memang masih ragu terhadap perihal silsilah ini karena sanad nasab itu berupa cerita oral. Tapi buku-buku yang mengulas kisah hidup ulama Jawa memakai silsilah itu untuk menerangkan pertalian darah mereka dengan pendiri kerajaan Islam di Jawa, wali-wali, bahkan hingga Majapahit. 
Wahid Hasyim juga sepupu satu buyut dengan R. Ng. Haji Minhadjurrahman Djojosoegito, pendiri Jaringan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore. Minhadjurrahman-yang dididik secara Muhammadiyah dengan berguru kepada Ahmad Dahlan-teman debat Wahid Hasyim. Karena itulah tak aneh jika Wahid punya pemikiran terbuka terhadap golongan ini. Ia tahu persis bagaimana Ahmadiyah, baik secara pemikiran maupun nasab atau keturunan.  

TEKAD Hasyim Asy'ari sudah bulat. Ia akan membangun pondok pesantrennya sendiri. Setelah berzikir dan berdoa, ia pun memilih kawasan Tebuireng, Jombang, untuk mewujudkan cita-citanya itu. Pada 1899-saat itu umurnya 28 tahun-Hasyim memboyong keluarganya, pindah dari Nggendang, Jombang, tempatnya selama ini bermukim, menuju Tebuireng. Niat ini awalnya ditentang semua saudara dan teman-teman dekatnya. Bahkan ia diejek dan ditertawai kiai-kiai lain. Mereka tahu Tebuireng adalah daerah yang berbahaya dan tanpa agama. Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai desa tanpa perikemanusiaan. Penduduk di sana punya hobi merampok dan lokasi pelacuran bertebaran di sepanjang jalan. "Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia," kata Hasyim kepada yang menentangnya kala itu. 

Desa Tebuireng menjadi kawasan "jahiliah" karena ada pabrik gula warisan Belanda. Para buruhnya tinggal di sekitar pabrik. Mereka gemar berjudi, hura-hura di pasar malam, dan keluar-masuk tempat pelacuran yang tumbuh subur. Penyamun juga berdatangan ke tempat ini, menyatroni para buruh berkantong tebal atau memalak mereka yang keluar-masuk tempat pelacuran. Hasyim muda tetap nekat. Ia mendirikan pondok yang hanya terletak sekitar seratus meter di seberang pabrik. Awalnya ia mendirikan sebuah pondok beratap rumbia. Hanya berukuran 6 x 8 meter persegi, pondok itu terbagi atas dua ruangan. Hanya dua santri yang berguru di situ pada mulanya. Beberapa bulan kemudian, jumlah santri bertambah jadi 28 orang. Meski lumayan banyak, para santri itu tak bisa hidup tenang. Selama dua tahun pertama, mereka tidur berdesakan di dalam bilik-bilik dan tak berani merapatkan ke tubuh ke dinding yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). 

Saat itu sering terjadi "perang kecil" antara santri dan penduduk yang tak suka kepada mereka. Para penduduk, terutama di malam hari, sering menyerang mereka dengan menusukkan tombak dan parang dari balik dinding. "Para begundal saat itu ganas sekali," kata Imam Tauhid, 87 tahun, salah satu pelayan Kiai Hasyim yang kini masih hidup, kepada Tempo. Imam kini bermukim di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri. Perlahan-lahan, perang ini dimenangi Hasyim dengan para santrinya. Menurut Imam, satu per satu perampok itu angkat kaki. Lokasi pelacuran dan judi pun mereka gusur. Pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang. Pada 6 Februari 1906, pesantren ini mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda. 

Pada zaman revolusi, Pesantren Tebuireng pernah diserbu Belanda karena dianggap membangkang. Mahmad Baedlowi, salah seorang cucu Hasyim, bercerita kepada Tempo, pesantren itu sempat berkali-kali diserang tentara Belanda. Keluarga Hasyim dan para santri terpaksa mengungsi. Belanda bahkan pernah membangun markas tentaranya di sisi utara pesantren. Kendati pesantren dibombardir pasukan Belanda, bisa dibilang mortir-mortir Belanda tak pernah mengenainya. "Bom mereka selalu meleset dan hanya meledak di sekitar pesantren," kata pria 73 tahun itu. Setelah seabad lebih tumbuh, Pesantren Tebuireng kini berkembang pesat. Tebuireng menjadi pelopor pesantren modern. Pesantren yang kini berdiri di atas lahan 12 hektare itu terbagi atas tiga kompleks bangunan yang berdekatan: asrama putra-putri, gedung SMP dan SMA, serta sebuah universitas. Jumlah santrinya kini sekitar 1.500 orang. 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Buku Tempo : Biografi Wahid Hasyim Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan