Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Selasa, 25 Agustus 2015

Buku Tempo : Biografi Sutan Sjahrir

Medan kota kenangan Sjahrir semasa kecil. Di daerah kelahirannya, Padang Panjang, Sumatera Barat, Sjahrir hampir tak memiliki kenangan. Usianya baru setahun ketika ia meninggalkan kota itu dan bermukim di Jambi, mengikuti tugas sang ayah, Muhammad Rasyad, sebagai jaksa tinggi. Pada usia empat tahun, Sjahrir pindah ke Medan. Tak banyak jejak Sjahrir yang terekam di Medan. Mrazek dalam Sjahrir:Politics and Exile in Indonesia (1994) menyebut Sjahrir dikenal sebagai anak lelaki terpandai keluarga Rasyad. Nilainya selalu 9 dari ujian berkala yang dilakukan ayahnya. Ia hanya lemah untuk urusan menulis indah. Di usia enam tahun ia masuk Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah rendah Eropa, sekolah terbaik dan modern masa itu. Saat Sjahrir duduk di bangku ELS, Bibliotheekperpustakaan untuk bangsa Hindia berbahasa Belanda-tengah gencar mencetak buku cerita anak. Di kemudian hari, Sjahrir mengaku membaca ratusan buku cerita itu. 

Sjahrir beruntung mengenyam pendidikan di tengah perkembangan politik etis. Selain mendapatkan pendidikan ELS, setiap sore lelaki kelahiran 5 Maret 1909 itu juga mendapat pendidikan Islam dari orang tuanya. Dari ELS Sjahrir, yang lulus pada 1920, melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di Medan. Sayang, dua sekolah itu tak lagi ada. Sekolah MULO itu kini hanya tanah kosong yang ditumbuhi rumput. Hairul dari Badan Warisan Sumatera menunjuk lahan kosong di depan Hotel Tiara, Jalan Cut Mutia, sebagi lokasi sekolah itu. Pada 1985, bangunan yang lantas menjadi SMP Negeri I Medan itu dirobohkan. Di sinilah dahulu Sjahrir mengenyam pendidikan menengah pertamanya dan lulus pada 1923. Tak banyak sumber yang mengulas aktivitas Sjahrir di Medan. Mrazek mencatat Sjahrir penggemar sepak bola. Dia penyerang tengah yang andal. Di Hotel Ina Dharma Deli, Jalan Balai Kota, Medan Petisah, Kota Medan, terdapat jejak Sjahrir yang lain. Di bangunan mewah yang dulunya cuma diperuntukkan bagi orang kulit putih dan bernama Hotel de Broer itu, "Sjahrir kerap mencari uang saku dengan bermain biola di sana," tulis Mrazek. Namun bukti dalam bentuk dokumen tak ditemukan. "Saya tidak memiliki pengetahuan tentang keberadaan Sjahrir di sini," kata Lintong Siahaan, pengelola hotel sepuluh lantai itu. 

Gambaran tentang Sjahrir kecil memang banyak bersembunyi dalam ingatan orang per orang. Di Banda Neira, tempat pembuangan Sjahrir, Des Alwi mendengar ayah angkatnya bercerita tentang masa kecilnya. Ia pernah mencuri rambutan di rumah seorang kapiten warga Tionghoa bernama Chong Afi. Rambutan itu dipetik beserta tangkai-tangkainya dan disimpan di bawah tempat tidurnya. Namun aksi itu dipergoki sang ayah, Muhammad Rasyad, sehingga ia dihukum. Setelah menamatkan MULO, pada 1926 Sjahrir berlayar ke Jawa dengan tujuan Bandung. Di kota ini ia menumpang di rumah saudara tirinya, Radena, di Jalan Dr. Samjudo. Ia mendaftar ke Algemene Middelbare School (AMS) jurusan Barat klasik-jurusan yang mengarahkannya jadi jaksa, sebagaimana ayahnya. Pada mulanya, Sjahrir bukan murid yang menonjol. Namun, dalam perkembangannya, ia memperlihatkan karakternya yang pandai bergaul, pemberani, dan mahir mendebat gurunya. Menurut Des Alwi, nasionalisme Sjahrir tumbuh pertama kali, tatkala mendengar pidato Dr Cipto Mangunkusumo. Saat itu Dr Cipto, yang telah dikenal sebagai tokoh pergerakan, berpidato di satu alun-alun di Bandung. Sjahrir, yang hidup di lingkungan pro-Belanda karena ayahnya pegawai Belanda, semula kurang menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak. Namun kawan sekelasnya, Boediono, membujuk, mengajaknya jalan-jalan serta makan sate. Dari situlah untuk pertama kalinya Sjahrir terpukau dengan semangat kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya, pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi. 

Aktif dalam politik tak membuat Sjahrir meninggalkan hobinya bermain bola dan berkesenian. Ia menjadi anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer, perkumpulan sepak bola di tempat tinggalnya. Ia juga anggota klub sepak bola Luno, di sekolahnya. Lapangan klub di Jalan Pungkur itu kini telah berubah menjadi gedung dan rumah tinggal. Selain itu, bersama teman sekolahnya ia mendirikan perkumpulan sandiwara bernama Batovis. Kelompok ini sering manggung di gedung Concordia, Gedung Merdeka sekarang. Sjahrir berperan sebagai penulis naskah, sutradara, sesekali menjadi pemain. Hampir tiap bulan mereka mementaskan sebuah lakon. Orang Belanda banyak menyaksikan pertunjukan ini, karena menggunakan bahasa Belanda. Ke dalam ceritanya banyak disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan saat itu. 

Sjahrir mempunyai banyak teman, termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka mengundangnya berpesta. Ia mahir berdansa waltz, fox trot, dan charleston. "Sjahrir tidak membenci orang Belanda, yang dibenci paham imperialisme dan kolonialismenya," tulis Syahbuddin Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (1986). Satu kegiatan Sjahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaannya membaca Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa Belanda itu dipasang di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca warga Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah membaca berita tersebut. Bangunan itu hingga kini masih ada, di Jalan Braga II, Bandung. Sjahrir bergerak hampir di semua bidang. Dalam pergerakan, ia juga mendirikan Tjahja Volksuniversiteit atau Tjahja Sekolah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk kalangan jelata. Sjahrir dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap pertemuan. Bintangnya tentu mereka yang dikenal ulung berdebat. Di situlah ia mengasah kemampuannya bersilat lidah. 

Sjahrir adalah bapak politik luar negeri bebas aktif kita. Dialah peletak dasar diplomasi kita. Untuk menembus blokade Belanda sekaligus menaikkan pamor Indonesia di mata dunia, dengan cerdik Sjahrir menawarkan bantuan beras kepada India yang sedang dilanda gagal panen. Belanda hanya bisa membuntuti kapal-kapal barang itu tanpa bisa berbuat apa-apa. dalam diskusi dengan teman-temannya di Partai Sosialis Indonesia pada awal 1960-an, Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik. Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam pamfletnya yang terkenal, Perdjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita." Itulah sebabnya kita dapat mengerti ketika Sjahrir menitikkan air mata tatkala suatu hari dari Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Republik Indonesia ia melihat pemudi-pemudi Ambon dan Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya, orang Ambon dan Manado dianggap pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak pernah ia sukai. 

Sjahrir mengkritik keras para demagog politik. Sjahrir adalah pribadi yang senang dikritik dan mengajari teman-temannya untuk selalu mengkritik pendapatnya. Sikap itu terus ia bawa sewaktu mendekam di rumah tahanan Keagungan, Jakarta, 1962. Ketika itu, para tahanan politik berbincang, bagaimana sikap mereka seandainya dipanggil ke Istana oleh Soekarno. Para tahanan umumnya mengatakan tak mau datang sebelum dibebaskan. Pendapat Sjahrir berbeda: "Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai presiden saya." Sebagai manusia, Sjahrir tentu bukan tanpa kelemahan. Kelompok yang tak suka kepadanya menuduh dia orang yang peragu dan terlalu lembek terhadap Belanda. Metode pengkaderan yang dilakukan partainya dicibir terlalu elitis. 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Buku Tempo : Biografi Sutan Sjahrir Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan