BENDI itu berhenti di depan Stasiun Pasar Bawah. Seorang lelaki menghampiri, berniat menumpang. Sais bendi menyebutkan ongkos. Lelaki tersebut menawar. Tapi harga tak kunjung cocok. Tak sabar meladeni, sais itu menghardik dengan suara keras, "Kalau tidak punya uang, jangan naik bendi. Jalan kaki saja." Calon penumpang itu, Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta, hanya tersenyum sembari berlalu. Cuplikan kisah 55 tahun silam ini dituturkan kepada TEMPO oleh Husein Abdullah, bekas Komandan Corps Polisi Militer Bukit Tinggi.
Pernah menjadi sepupu ipar Hatta, Husein menyaksikan dari dekat beberapa sisi kehidupan Hatta saat sang Wakil Presiden kembali ke Bukit Tinggi dan memerintah selama dua tahun (1947-1949) dari kota itu. Seabad Bung Hatta adalah ingatan tentang Bukit Tinggi. Hawa sejuk mengaliri kota ini dari Gunung Merapi dan Singgalang serta barisan pegunungan yang melingkarinya. Hatta memang beruntung. Dia lahir di kota ini, yang membelah Ngarai Sianok. Kaum tua-tua melukiskan keindahan ngarai yang subur itu sebagai tempat "desau air di celah-celah batu sungai terdengar seperti nyanyian musim panen." Di Desa Aur Tajungkang-kini menjadi bagian dari pusat Kota Bukit Tinggi-tegak sebuah rumah kayu bertingkat dua. Di sinilah Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 Agustus 1902.
Di sini pula Saleha dan suaminya, Mohammad Djamil, mempertautkan bayi itu dengan tanah Minang, dengan garis darah sebuah keluarga terpandang. Hatta memang lahir dari perpaduan dua keluarga terkemuka: pemuka agama dan saudagar. Kini, di ambang satu abad kelahiran Hatta, orang ramai datang ke Bukit Tinggi untuk menengok rumah kayu itu. Mereka sekadar berkunjung atau boleh jadi ingin meresapi satu jalan sejarah terpenting yang pernah ada di negeri ini dalam sosok Mohammad Hatta. Di kemudian hari, setelah menjadi wakil presiden, Hatta kembali ke kota itu. Dua tahun dia memerintah dari Bukit Tinggi. Gedung Tri Arga--lazim disebut Istana Bung Hatta adalah tempat kediamannya ketika itu. Sampai sekarang, Gedung Tri Arga masih kukuh berdiri di depan Jam Gadang, simbol Kota Bukit Tinggi. Hatta tidur di kamar besar belakang, yang jendelanya menghadap ke Gunung Singgalang.
Pada periode tersebut, penduduk Bukit Tinggi dapat menyaksikan dari dekat kehidupan Hatta yang seperti selalu dikisahkan orang-sederhana dan cermat pada waktu. Beberapa spanduk putih yang berkibar di dekat rumah kelahirannya dan beberapa kantor pemerintah di Bukit Tinggi dalam rangka seabad Bung Hatta juga menuliskan ingatan yang sama: "Seabad Bung Hatta: Arif, Hemat, Santun, dan Sederhana." Menurut Husein, pada 1947 itu, kendati sudah menjadi pejabat tinggi, Hatta sering jalan kaki sendirian-tanpa pengawal-berkeliling kota setiap usai salat subuh. "Beliau jalan dengan membawa tongkat yang ujungnya melengkung untuk pegangan," kata Husein. Dari masjid di dekat Pasar Atas, Bung Hatta berjalan menyusuri jalan di depan stasiun kereta ke Pasar Bawah.
Di sepanjang jalan, dia menegur warga yang pekarangan rumahnya penuh sampah. "Tapi beliau tidak pernah marah, sekadar memberi tahu," ujar Husein kepada TEMPO. Alhasil, kota itu menjadi bersih selama Bung Hatta berkantor di sana. Agak ke luar kota, sekitar 25 kilometer dari Bukit Tinggi, garis kehidupan Hatta terukir dengan jelas di Desa Batu Hampar, Payakumbuh. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, lahir serta dikuburkan di desa itu. Makam keluarga Hatta dari pihak ayahnya itu terletak di tengah rumah-rumah sederhana warga Batu Hampar. Berbentuk bangunan beton seluas 10 x 6 meter persegi dengan banyak kubah di atapnya, kompleks itu disebut Gobah-makam para syekh di Batu Hampar. Kakek Hatta memang se-orang ulama besar dan pemuka agama ternama di Sumatera Barat pada masa itu: Syekh Abdurrachman, yang juga dikenal sebagai Syekh Batu Hampar (lihat Karena Kasih Sepanjang Jalan). Ziarah terakhir Hatta ke Batu Hampar adalah pada 1978, saat dia merayakan hari jadinya yang ke-76.
Buya Sya'roni Kholil, sepupu Hatta yang menjadi penjaga makam, bercerita kepada TEMPO, setiap kali datang, Hatta akan masuk ke ruang dalam dari makam berkubah itu dan berdoa di sisi makam ayahnya-yang wajahnya tak pernah dia kenal. Saat berkedudukan di Bukit Tinggi sebagai wakil presiden, Hatta pun pernah datang ke sana. Harusin Saleh, sepupu Hatta, ikut dalam perjalanan itu sebagai seorang bocah. "Kami naik mobil. Saya duduk di samping sopir, sedangkan Bung Hatta berada di bangku belakang bersama Ayah (Saleh Sutan Sinaro)," tutur Harusin. Begitu mereka memasuki perbatasan Payakumbuh, ribuan manusia sudah menanti di tepi jalan. Keluarga besar Syekh Batu Hampar menggelar upacara penerimaan yang besar. Seusai perjamuan siang, Bung Hatta memberikan wejangan kepada keluarga. "Dia berpesan agar seluruh keluarga berdamai, jelangmenjelang. Saat memandang pohon-pohon kelapa di sekitar rumah yang tinggi, Hatta meminta agar pohon itu diremajakan karena kelapa berguna dari akar hingga daunnya," kata Buya Sya'roni kepada TEMPO. Sebelum kembali ke Bukit Tinggi, Hatta membagikan oleh-oleh rokok Jawa kepada seluruh keluarga. Batu Hampar memiliki surau yang terkenal, yang didirikan dan dipimpin oleh kakek Hatta. Tapi tinggal jauh di Bukit Tinggi membuat Hatta kecil tak dapat berguru kepada syekh ternama itu. Pelajaran agamanya di masa kanak-kanak dia peroleh dari Syekh Mohammad Djamil Djambek.
Ulama yang lahir pada 1862 ini menerima murid di suraunya selepas belajar ilmu falak di Mekah. Di sinilah Hatta belajar mengaji. Surau Syekh Djambek terletak di tengah persawahan tak jauh dari rumah Hatta di Aur Tajungkang. Di surau ini, Hatta khatam membaca Al-Quran. Waktu satu abad tidak melenyapkan surau ini. Namun perkembangan kota yang cepat telah menenggelamkannya di seputar bangunan-bangunan di Pasar Bawah, Bukit Tinggi. Jalan pintas yang dilewati Hatta dulu melalui pematang sawah saat ia pergi mengaji ke surau sudah hilang. Sebagai gantinya, berdirilah rumah-rumah, toko-toko, dan los-los pasar. Alhasil, untuk mencapai surau itu, orang harus memutari jalan yang penuh manusia, berbelok menyusuri jalan kecil yang padat manusia, lalu masuk ke lorong kecil di sela-sela petak penjualan sayur sembari berdesakan dengan para pembeli.
Toh, kisah tentang Hatta di surau itu masih tersimpan dengan baik. Faisal Basyir-cucu Syekh Djambek-dengan fasih membuka cerita yang dia terima dari ayah dan kakeknya: Hatta tergolong anak pandai, tekun, dan amat berdisiplin mengaji. Tak pernah alpa dia datang ke surau itu setiap habis belajar di Europeesche Lagere School (ELS). Tapi Hatta, kendati lancar membaca, tidak terlalu pandai melagukan Al-Quran. Hasilnya? Hatta tumbuh sebagai sosok yang religius. Dalam sebuah pidato kebudayaannya di Jakarta untuk mengenang seratus tahun Bung Hatta pada awal Juni lalu, budayawan Nurcholish Madjid mengatakan, penampilan Bung Hatta yang seperti seorang sufi-memiliki ketulus-ikhlasan, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kedalaman pikiran-tak lepas dari latar belakang keluarganya: dia putra seorang guru mursyid sebuah persaudaraan sufi di Sumatera Barat. Menurut Nurcholish, Hatta berkembang menjadi sebuah pribadi yang sepenuh-penuhnya modern sekaligus pekat dengan perilaku keagamaan yang saleh.
Dasar pendidikan agama yang kuat yang diterimanya di Bukit Tinggi diteruskan di Padang saat dia belajar di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Di kota itu, Haji Abdullah Ahmad memberinya bimbingan agama. Masa-masa di MULO juga menjadi periode yang penting saat kesadaran politiknya sebagai anak bangsa mulai tumbuh dan berkembang, terutama dalam kedudukannya sebagai pelajar yang mengenal Jong Sumatranen Bond. Hatta menjadi pengurus dan bendahara perkumpulan ini. Dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik yang ditulis Deliar Noer, dikisahkan bagaimana Hatta mulai sering mengikuti ceramah dan pertemuan politik yang diadakan tokoh politik lokal, umpamanya Sutan Ali Said. Dia juga selalu hadir bila ada tokoh politik dari Jakarta yang bertandang ke Minangkabau, seperti Abdoel Moies dari Sarekat Islam.
Persentuhannya terhadap ketidakadilan yang ditebarkan oleh kolonial Belanda sudah bermula dari peristiwa-peristiwa dalam keluarganya saat dia masih kanak-kanak dan bersekolah di sekolah dasar Belanda (ELS) di Bukit Tinggi. Kerabat kakeknya, Rais, ditangkap oleh pemerintah karena mengkritik seorang pejabat Belanda yang melakukan perbuatan "tidak senonoh" dalam surat kabar Utusan Melayu. Hatta amat terkesan oleh sikap kerabat kakeknya ketika itu. Dalam ingatan kanak-kanaknya, ia melihat Rais melambaikan tangannya yang terbelenggu dari balik kereta api yang membawanya dari Payakumbuh ke Bukit Tinggi, lalu ke Padang. Saat itu, Hatta dan keluarganya menanti kereta itu lewat dari tepi jalan.
Masa remaja Hatta tidak semata-mata diisi dengan urusan ilmu dan agama. Sebagai anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup, joie de vivre. Salah satu kesenangan itu ada di Plein van Rome, lapangan sepak bola yang terletak di alun-alun kota, di depan Kantor Gemeente, Padang. Dia bergabung dalam klub sepak bola Young Fellow. Pemainnya terdiri atas anak-anak Belanda dan pribumi. Klub ini pernah menjadi juara Sumatera selama tiga tahun berturut-turut semasa Hatta menjadi anggotanya. Marthias Doesky Pandoe, 78 tahun, seorang wartawan tua dari Padang, menyimpan banyak kenangan tentang periode ini.
Menurut Pandoe, teman-teman Hatta yang pernah ditemuinya bercerita bahwa proklamator itu adalah gelandang tengah-sesekali dia menjadi bekyang tangguh. Orang-orang Belanda memberinya julukan onpas seerbaar (sukar diterobos begitu saja). Rahim Oesman, bekas temannya di MULO yang belakangan menjadi dokter ahli penyakit dalam, adalah tukang jinjing sepatu bola Hatta. Dengan menenteng sepatu itu, dia bisa masuk ke lapangan dan menonton pertandingan dengan perdeo. Kegemaran Hatta pada bola tak hilang ketika dia telah menjadi salah satu tokoh politik terpenting Indonesia. Dia tak pernah absen menonton pertandingan besar.
Dan Hatta adalah satu dari dua tokoh-selain Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjadi Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia-yang pernah mendapat hadiah kartu gratis untuk menonton sepak bola dari Ali Sadikin tatkala mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjabat Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Di masa tuanya, Hatta tetap menggemari bola dan mengenang Plein van Rome. Pada awal 1970-an, saat Pandoe bertamu ke rumah Hatta di Jakarta, tuan rumah bertanya, "Di mana letak Plein van Rome sekarang?" Pandoe menjawab bahwa lapangan bola itu masih ada, tapi kini telah menjadi alun-alun Kota Padang. Namanya sudah berganti menjadi Lapangan Imam Bonjol, yang berlokasi tepat di depan Kantor Balai Kota Padang. Pertautan Hatta kepada Bukit Tinggi dan Padang-dua kota di Minangkabau yang berperan dalam pembentukan pribadinya-boleh dikata terus berlangsung hingga jauh setelah dia meninggal. Kedua kota itu berupaya mengikatkan diri dengan Bung Hatta melalui jalan yang selalu ditempuh anak dari Aur Tajungkang itu sepanjang hidupnya: buku dan ilmu pengetahuan.
Di Padang, ada Universitas Bung Hatta yang didirikan oleh masyarakat dan sejumlah tokoh Minangkabau. Sedangkan di Bukit Tinggi, tegaklah Perpustakaan Bung Hatta-yang menyimpan ribuan judul buku. Sayang, kondisi perpustakaan itu kini amat menggiriskan hati: rak-rak bukunya penuh jelaga di setiap sudut, sedangkan lantainya kotor dan kusam. Beberapa buku terpenting yang disumbangkan keluarga Hatta terkunci di dalam lemari tripleks yang sudah terkelupas, yang kacanya ditutupi kertas minyak. Lemari-lemari buku ini liat dan berderak ketika dibuka.
Debu-debu terbang dari tumpukan buku yang diletakkan lintangmelintang. Perpustakaan yang menyimpan 25 ribu judul buku itu hanya ditengok oleh tak lebih dari 50 orang setiap hari-kebanyakan anak sekolah dan pegawai. Suasana perpustakaan itu, yang direkam TEMPO pada Juni silam, menunjukkan satu hal: betapa sulitnya menempuh jalan pengetahuan yang telah diperlihatkan Hatta-bahkan setelah satu abad kelahirannya. Seorang penyair dari Padang pernah berkata kepada beberapa kanak-kanak yang datang kepadanya untuk belajar menulis puisi, "Tulislah sesuatu yang kalian ketahui tentang Bung Hatta. Dia orang besar dan hidupnya seperti buku yang tak akan pernah tamat dibaca."
0 komentar:
Posting Komentar