Terdengar derap langkah seseorang mendekat ke arahku , perlahan suara itu semakin mendekat. Langkah kakinya semakin terdengar jelas, aku yakin ini adalah suara khas alunan langkah kaki dari sandal seorang wanita. Namun tak begitu kuhiraukan, aku masih asyik membaca blog seseorang yang banyak memuat tentang Conan.
“Apa kau mau nginep di sini?”
Terdengar suara seorang wanita penjaga warnet yang biasa kupanggil Mbak Ii’, kali ini Mbak Ii’ sukses mengusik kekusyukkanku membaca kata-kata ajaib yang diucapkan Conan.
“Ya enggaklah, tidur di ranjangku lebih nyaman.” Jawabku agak sedikit seenaknya, ini wujud jengkelku sebab Mbak Ii’ mengganguku.
“Ya sudah, sana pulang, sudah malam, besok sekolah. Lagian dari tadi kau ini ngapain sih nampaknya asyik sekali. Jangan-jangan..?” Mbak Ii’ lalu merangsek duduk di sebelahku memaksaku untuk bergeser, dengan wajah penuh selidik dan melotot tepat di depan layar monitor yang sudah hampir lima jam aku pantengin.
“Hei. Hei. Jangan-jangan apa? Enak saja, aku ini walaupun nakal otakku nggak mesumlah! Lagipula ngapain aku bayar di sini cuma buat nonton hal bego kaya gitu!” Kataku sewot, kali ini aku mutlak sebal karena dicurigai yang tidak-tidak.
“Yeh, gitu aja marah. Sabarlah. Lah… Kok kamu malah mbocah sih? Udah gedhe masa masih suka kartun? Bukannya bikin PR malah kayak gini.” Ujar Mbak Ii’ panjang lebar sambil terus melototin monitor yang ada di hadapan kami berdua.
“Ini juga lagi bikin tugas kali Mbak Ii’ cantik..” Kataku sambil melempar senyum ke arah Mbak Ii’agar tak dianggap sedang marah.
“Tugas apa kaya gitu? Apa sekolahmu yang terfavorit di seantero kota ini nambah mapel baru mengenai kartun? Hahah,, ada-ada saja..”
“Bukan, aku ini sedang ngerjain tugas BK. Besok pagi setiap siswa diminta maju untuk mengungkapkan cita-citanya beserta alasannya.”
“Lah.. nah kalo gitu apa hubungannya sama kartun ?” Mbak Ii’ Nampak semakin penasaran.
“Aku ingin jadi kayak Conan, jadi detektif!” jawabku sambil mematikan computer.
“Maksutnya? Kau sakit ya? Kau ini sudah besar sudah kelas 3 SMA, bukankah seharusnya kau bisa berfikir sedikit saja lebih realistis?”
“Aku sehat, sangat sehat malah. Di era saat ini setiap orang yang mau sukses harus siap dianggap sebagai orang gila. Dan besok yang perlu aku hadapi saat maju adal dua hal. Pertama aku harus siap ditertawakan dan dianggap gila oleh seisi kelas. Kedua, aku pasti akan sering masuk ruangan BP untuk mendapat ceramah dari guru BP karena mungkin aku dianggap sedang frustasi karena takut menghadapi UAN dan sejenisnya. Realistis memang perlu, tapi imajinatif juga perlu kan?”
“Tapi kenapa musti kartun yang jadi kiblatmu untuk menentukan cita-cita? Seperti anak TK saja!”
“Kurasa jauh lebih baik aku nonton kartun lalu dianggap anak kecil tapi jiwaku dipenuhi motivasi daripada nonton sinetron lalu dianggap remaja tapi jiwaku jadi lemah karena efek tontonan yang cuma bikin nangis,cinta-cintaan, bikin dongkol, nggak mendidik!”
Mbak Ii’ terdiam mendengar peryataanku barusan, entah ia merasa tersindir atau malah semakin menganggap aku sedang sakit. Kubiarkan saja ia asyik dengan lamunannya, hingga pada akhirnya ia mengucapkan sebuah kalimat seperti tanda pasrahnya meladeni perdebatan kami malam ini.
“Benar juga yaa. Tapi cita-cita yang lebih real kan banyak. Kenapa tak jadi ahli fisika seperti kakakmu? Atau jadi guru matematika? Atau apalah?”
Hmm. .kali ini aku yang terdiam. Tak habis pikir, ternyata hipotesisku salah. Dugaanku Mbak Ii’ akan segera mengakhiri percakapan panas kami ini ternyata meleset. Aku menarik nafas lalu mulai menjawab pertanyaan Mbak Ii’ .
“Mbak.. inilah kenapa aku sedikit tak niat sekolah. Aku hanya jenuh saja dengan persepsi orang-orang Indonesia yang menurutku tak telalu mendasar. Bagi masyarakat di tanah airku yang tercinta ini nampaknya predikat orang cerdas itu hanya milik orang-orang yang handal di bidang fisika, matematika dan sejenisnya. Apa alasannya coba? Bukankah setiap orang itu memiliki bakat dan kemampuan sendiri-sendiri? Bagi orang yang sedengan dan punya bakat pas-pasan seperti aku ini ,harus siap dianggap ‘gila’ jika mau sukses! Sekarang aku tak mau ambil pusing tentang apa yang orang katakana! Toh mereka tak akan mempengaruhi esensi kesuksesanku kelak!”
“Hmmm..tapi…”
“Maaf Mbak, bukannya aku gak mau ngelanjutin obrolan kitai tapi ini udah malem aku udah ngantuk mana besok sekolah. Aku pulang ya Mbak, ini uangnya. O iya nanti kalau aku udah dapet uang dari hasil kerasku memecahkan kasus kriminal aku bakal rajin beli pulsa modem deh, jadi aku bisa ngenet di rumah terus sampai jebol nih mata dan Mbak gak perlu deh nungguin aku pulang.” Buru-buru aku akhiri perbincangan ini, aku paham betul jika debat seperti ini diteruskan hanya akan memperburuk keadaan. Mbak Ii’ tidak salah, dan aku juga tidak mau disalahkan. Toh, apa pula salahku? Aku hanya berpendapat.
“Hahaha…oke deh, hati-hati.”
“Siap bos! Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumssalam.”
Aku lalu meninggalkan warnetnya Mbak Ii’, dengan rasa penuh tanya tentang tawa Mbak Ii’ yang mengiringiku pulang ke rumah tadi. Itu tadi tawa menghina tau apa ya? Entahlah,,, it is my time!!!! Biar saja orang mau bilang apa… silahkan anggap aku gila..
Kata Hiruma “Selama masih belum 0% segalanya masih mungkin”..
Jika kita menang karena ini, kita bisa jadi legenda!
(Shinichi Kudo)
Suatu ketika aku yang telah dewasa dan bekerja berkata pada aku kecil yang datang dari masa lalu; “Janganlah kecewa.. "X" adalah suami yang baik dan "Y", walaupun nakal, juga adalah anak yang baik. Meskipun kehidupanku biasa saja, aku bahagia bisa membahagiakan mereka, dan tentu saja aku akan selalu berusaha lebih keras untuk lebih membahagiakan mereka.” *kayak Nobita
“Apa kau mau nginep di sini?”
Terdengar suara seorang wanita penjaga warnet yang biasa kupanggil Mbak Ii’, kali ini Mbak Ii’ sukses mengusik kekusyukkanku membaca kata-kata ajaib yang diucapkan Conan.
“Ya enggaklah, tidur di ranjangku lebih nyaman.” Jawabku agak sedikit seenaknya, ini wujud jengkelku sebab Mbak Ii’ mengganguku.
“Ya sudah, sana pulang, sudah malam, besok sekolah. Lagian dari tadi kau ini ngapain sih nampaknya asyik sekali. Jangan-jangan..?” Mbak Ii’ lalu merangsek duduk di sebelahku memaksaku untuk bergeser, dengan wajah penuh selidik dan melotot tepat di depan layar monitor yang sudah hampir lima jam aku pantengin.
“Hei. Hei. Jangan-jangan apa? Enak saja, aku ini walaupun nakal otakku nggak mesumlah! Lagipula ngapain aku bayar di sini cuma buat nonton hal bego kaya gitu!” Kataku sewot, kali ini aku mutlak sebal karena dicurigai yang tidak-tidak.
“Yeh, gitu aja marah. Sabarlah. Lah… Kok kamu malah mbocah sih? Udah gedhe masa masih suka kartun? Bukannya bikin PR malah kayak gini.” Ujar Mbak Ii’ panjang lebar sambil terus melototin monitor yang ada di hadapan kami berdua.
“Ini juga lagi bikin tugas kali Mbak Ii’ cantik..” Kataku sambil melempar senyum ke arah Mbak Ii’agar tak dianggap sedang marah.
“Tugas apa kaya gitu? Apa sekolahmu yang terfavorit di seantero kota ini nambah mapel baru mengenai kartun? Hahah,, ada-ada saja..”
“Bukan, aku ini sedang ngerjain tugas BK. Besok pagi setiap siswa diminta maju untuk mengungkapkan cita-citanya beserta alasannya.”
“Lah.. nah kalo gitu apa hubungannya sama kartun ?” Mbak Ii’ Nampak semakin penasaran.
“Aku ingin jadi kayak Conan, jadi detektif!” jawabku sambil mematikan computer.
“Maksutnya? Kau sakit ya? Kau ini sudah besar sudah kelas 3 SMA, bukankah seharusnya kau bisa berfikir sedikit saja lebih realistis?”
“Aku sehat, sangat sehat malah. Di era saat ini setiap orang yang mau sukses harus siap dianggap sebagai orang gila. Dan besok yang perlu aku hadapi saat maju adal dua hal. Pertama aku harus siap ditertawakan dan dianggap gila oleh seisi kelas. Kedua, aku pasti akan sering masuk ruangan BP untuk mendapat ceramah dari guru BP karena mungkin aku dianggap sedang frustasi karena takut menghadapi UAN dan sejenisnya. Realistis memang perlu, tapi imajinatif juga perlu kan?”
“Tapi kenapa musti kartun yang jadi kiblatmu untuk menentukan cita-cita? Seperti anak TK saja!”
“Kurasa jauh lebih baik aku nonton kartun lalu dianggap anak kecil tapi jiwaku dipenuhi motivasi daripada nonton sinetron lalu dianggap remaja tapi jiwaku jadi lemah karena efek tontonan yang cuma bikin nangis,cinta-cintaan, bikin dongkol, nggak mendidik!”
Mbak Ii’ terdiam mendengar peryataanku barusan, entah ia merasa tersindir atau malah semakin menganggap aku sedang sakit. Kubiarkan saja ia asyik dengan lamunannya, hingga pada akhirnya ia mengucapkan sebuah kalimat seperti tanda pasrahnya meladeni perdebatan kami malam ini.
“Benar juga yaa. Tapi cita-cita yang lebih real kan banyak. Kenapa tak jadi ahli fisika seperti kakakmu? Atau jadi guru matematika? Atau apalah?”
Hmm. .kali ini aku yang terdiam. Tak habis pikir, ternyata hipotesisku salah. Dugaanku Mbak Ii’ akan segera mengakhiri percakapan panas kami ini ternyata meleset. Aku menarik nafas lalu mulai menjawab pertanyaan Mbak Ii’ .
“Mbak.. inilah kenapa aku sedikit tak niat sekolah. Aku hanya jenuh saja dengan persepsi orang-orang Indonesia yang menurutku tak telalu mendasar. Bagi masyarakat di tanah airku yang tercinta ini nampaknya predikat orang cerdas itu hanya milik orang-orang yang handal di bidang fisika, matematika dan sejenisnya. Apa alasannya coba? Bukankah setiap orang itu memiliki bakat dan kemampuan sendiri-sendiri? Bagi orang yang sedengan dan punya bakat pas-pasan seperti aku ini ,harus siap dianggap ‘gila’ jika mau sukses! Sekarang aku tak mau ambil pusing tentang apa yang orang katakana! Toh mereka tak akan mempengaruhi esensi kesuksesanku kelak!”
“Hmmm..tapi…”
“Maaf Mbak, bukannya aku gak mau ngelanjutin obrolan kitai tapi ini udah malem aku udah ngantuk mana besok sekolah. Aku pulang ya Mbak, ini uangnya. O iya nanti kalau aku udah dapet uang dari hasil kerasku memecahkan kasus kriminal aku bakal rajin beli pulsa modem deh, jadi aku bisa ngenet di rumah terus sampai jebol nih mata dan Mbak gak perlu deh nungguin aku pulang.” Buru-buru aku akhiri perbincangan ini, aku paham betul jika debat seperti ini diteruskan hanya akan memperburuk keadaan. Mbak Ii’ tidak salah, dan aku juga tidak mau disalahkan. Toh, apa pula salahku? Aku hanya berpendapat.
“Hahaha…oke deh, hati-hati.”
“Siap bos! Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumssalam.”
Aku lalu meninggalkan warnetnya Mbak Ii’, dengan rasa penuh tanya tentang tawa Mbak Ii’ yang mengiringiku pulang ke rumah tadi. Itu tadi tawa menghina tau apa ya? Entahlah,,, it is my time!!!! Biar saja orang mau bilang apa… silahkan anggap aku gila..
Kata Hiruma “Selama masih belum 0% segalanya masih mungkin”..
Jika kita menang karena ini, kita bisa jadi legenda!
(Shinichi Kudo)
Suatu ketika aku yang telah dewasa dan bekerja berkata pada aku kecil yang datang dari masa lalu; “Janganlah kecewa.. "X" adalah suami yang baik dan "Y", walaupun nakal, juga adalah anak yang baik. Meskipun kehidupanku biasa saja, aku bahagia bisa membahagiakan mereka, dan tentu saja aku akan selalu berusaha lebih keras untuk lebih membahagiakan mereka.” *kayak Nobita