Sejak lahirnya kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang kemudian disusul oleh lahirnya kurikulum tahun 1975, telah mulai tertanam kesadaran para guru bahwa tujuan pelajaran harus dirumuskan sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Tujuan tersebut harus diberitahukan kepada para siswa. Kata taksonomi diambil dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengelompokkan dan “nomos” yang berarti aturan. Secara istilah, Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan tingkatan tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik.
Taksonomi disusun oleh satu tim yang diketuai oleh Benyamin S. Bloom dan Krathwool (1964) sehingga Taksonomi pendidikan lebih dikenal dengan sebutan “Taksonomi Bloom”. Sejarahnya bermula ketika pada awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, sebagai kelanjutan kegiatan serupa tahun 1948, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa persentase terbanyak butir soal evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah hanya meminta siswa untuk mengutarakan hafalan mereka. Hafalan sebenarnya merupakan taraf terendah kemampuan berpikir (menalar, “thinking behaviors”). Artinya, masih ada taraf lain yang lebih tinggi. Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl kemudian pada tahun 1956 merumuskan ada tiga golongan domain atau kawasan. Sampai saat ini taksonomi bloom banyak dipakai sebagai dasar pengembangan tujuan intruksional diberbagai kegiatan latihan dan pendidikan.
Adapun definisi taksonomi menurut beberapa pakar dalam bidang pendidikan:
1. Taksonomi menurut Briggs.
Taksonomi ini lebih mengarah pada karakteristik menurut stimulus atau rangsangan yang dapat ditimbulkan dari media itu sendiri, yaitu kesesuaian rangsangan tersebut dengan karakteristik siswa, tugas pembelajaran, bahan, dan tranmisinya. Briggs mengidentifikasi 13 macam media yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar, yaitu: objek, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi, film rangkai, film bingkai, film, televisi dan gambar.
2. Taksonomi menurut Gagne.
Gagne membuat 7 macam pengelompokan media, yaitu : benda untuk mendemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara dan mesin belajar. Ke tujuh kelompok media ini kemudian dikaitkannya dengan kemampuannya memenuhi fungsi menurut tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya yaitu: pelontar stimulus belajar, penarik minat belajar, contoh perilaku belajar, memberi kondisi eksternal, menuntun cara berfikir, menilai prestasi, dan pemberi umpan balik. Tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (kawasan) yakni kognitif, afektif, dan psikomotor dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kawasan Kognitif (Pemahaman)
Kawasan kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian dan ketrampilan berfikir.kawasan ini dapat dikatakan sebagai suatu sistem tersendiri. Tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir” , mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kawasan kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat “pengetahuan” sampai tingkat yang paling tinggi yaitu “evaluasi”.
Kawasan kognitif terdiri dari enam tingkatan dengan aspek belajar yang berbeda – beda. Keenam tingkat tersebut :
1. Tingkat pengetahuan (knowledge)
Tujuan intruksioanal pada level ini menuntut siswa untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya, seperti misalnya : fakta, rumus, strategi pemecahan masalah masalah dan sebagainya.
Contoh: Siswa mampu mengurutkan atau menyebutkan setiap tingkatan taksonomi dari suatu spesies menurut klasifikasinya.
2. Tingkat pemahaman (comprehension)
Kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelasakan pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata – kata sendiri. Dalam hal ini siwa diharapkan menerjemahkan, atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata – kata sendiri.
Contoh: Siswa dapat menjelaskan keterkaitan fungsi organela-organela pada sel.
3. Tingkat penerapan (aplication).
Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari – hari.
Contoh : Siswa dapat mengoperasikan mikroskop untuk mengamati berbagai preparat.
4. Tingkat analisis (analysis)
Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen – komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat atau tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini siswa diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.
Contoh : Siswa dapat menganalisis dan menarik kesimpulan dari suatu percobaan yang sudah dilakukan.
5. Tingkat sintesis (synthesis)
Sintesis disini diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
Contoh : Siswa dapat mengaitkan antara konsep difusi dan osmosis terhadap bagaimana tumbuhan dapat bertahan hidup.
6. Tingkat evaluasi (evaluation)
Evaluasi merupakan level tertinggi, yang mengharapkan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Jadi evaluasi di sini lebih condong ke bentuk penilaian biasa daripada sistem evaluasi.
Contoh : Siswa menjadi observer ketika temannya melakukan suatu presentasi
Pengertian dan isi masing – masing tingkat dari kawasan kognitif dan cakupan kawasan secara utuh dapat tergambar dengan jelas. Kalau kita melihat ke belakang, yaitu pada sistem pendidikan dan penataran yang biasa kita selenggarakan selama ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah (seperti : tingkat pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan) dan jarang sekali menerapkan analisis, sintesis, dan evaluasi. Guru dituntut agar mendesain program satuan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan intruksional dan harus banyak melakukan latihan terlebih dahulu. Latihan ini termasuk membuat soal berdasarkan kisi – kisi penulisan soal dan komposisi yang disarankan di atas. Dengan demikian seorang guru akan memperoleh suatu pengalaman yang sangat berharga bagi kualitas profesinya di masa yang akan datang. Begitu juga merancang tujuan intruksional, program satuan pembelajaran dan strategi pembelajaran, maka keseimbangan dari keenam tingkat kognitif tersebut perlu selalu dijaga.
Revisi Taksonomi Bloom
Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya dilakukan pada ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi :
1. Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level taksonomi.
2. Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkhis, namun urutan level masih sama yaitu dari urutan terendah hingga tertinggi. Perubahan mendasar terletak pada level 5 dan 6.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering (mengingat).
- Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding (memahami).
- Pada level 3, application diubah menjadi applying (menerapkan).
- Pada level 4, analysis menjadi analyzing (menganalisis).
- Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan perubahan mendasar, yaitu creating (mencipta).
- Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan evaluating (menilai).
Jadi, Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl pada ranah kognitif terdiri dari enam level : remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta). Revisi Krathwohl ini sering digunakan dalam merumuskan tujuan belajar yang sering kita kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6.
Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Jadi, dalam menginterpretasikan piramida di atas, secara logika adalah sebagai berikut :
- Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu
- Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
- Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu
- Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu
- Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.
Beberapa kritik dilemparkan kepada penggambaran piramida ini. Ada yang beranggapan bahwa semua kegiatan tidak selalu harus melewati tahap yang berurutan. Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja tergantung kreasi tiap orang. Namun demikian, memang diakui bahwa pentahapan itu sebenarnya cocok untuk proses pembelajaran yang terintegrasi. Kritik lain mengatakan bahwa higher level (Menganalisa, mengevaluasi dan mencipta) sebenarnya bersifat setara sehingga bentuk segitiga menjadi seperti di bawah ini (Anderson and Krathwohl, 2001).
Berikut ini adalah penjelasan dan pilihan kata kerja kunci dari ranah kognitif yang telah direvisi.
No.
|
Kategori
|
Penjelasan
|
Kata kunci
|
1.
|
Mengingat
|
Kemampuan menyebutkan
kembali informasi /
pengetahuan yang
tersimpan
dalam ingatan. Contoh
:
menyebutkan arti
taksonomi.
|
Mendefinisikan,
menyusun daftar,
menjelaskan, mengingat,
mengenali,
menemukan kembali,
menyatakan,
mengulang,
mengurutkan, menamai,
menempatkan,
menyebutkan.
|
2.
|
Memahami
|
Kemampuan memahami
instruksi dan
menegaskan pengertian/makna ide atau
konsep yang telah
diajarkan baik
dalam bentuk lisan,
tertulis,
maupun grafik/diagram
Contoh : Merangkum
materi
yang telah diajarkan
dengan
kata-kata sendiri
|
Menerangkan,
menjelaskan,
menterjemahkan,
menguraikan, mengartikan, menyatakan kembali, menafsirkan,
menginterpretasikan,
mendiskusikan,
menyeleksi,
mendeteksi, melaporkan,
menduga,
mengelompokkan, memberi
contoh, merangkum
menganalogikan,
mengubah,
memperkirakan.
|
3.
|
Menerapkan
|
Kemampuan melakukan
sesuatu
dan mengaplikasikan konsep
dalam situasi
tetentu. Contoh:
Melakukan proses
pembayaran
gaji sesuai dengan
sistem
berlaku
|
Memilih, menerapkan,
melaksanakan,
mengubah,
menggunakan,
mendemonstrasikan,
memodifikasi,
menginterpretasikan,
menunjukkan,
membuktikan,
menggambarkan,
mengoperasikan,
menjalankan
memprogramkan,
mempraktekkan, memulai.
|
4.
|
Menganalisis
|
Kemampuan memisahkan
konsep kedalam
beberapa
komponen dan
mnghubungkan
satu sama lain untuk
memperoleh pemahaman
atas
konsep tersebut
secara utuh.
Contoh: Menganalisis penyebab
meningkatnya Harga
pokok
penjualan dalam
laporan
keuangan dengan
memisahkan
komponen-
komponennya.
|
Mengkaji ulang,
membedakan,
membandingkan,
mengkontraskan,
memisahkan,
menghubungkan, menunjukan
hubungan antara
variabel, memecah menjadi
beberapa bagian,
menyisihkan, menduga,
mempertimbangkan
mempertentangkan,
menata ulang,
mencirikan, mengubah
struktur, melakukan
pengetesan,
mengintegrasikan,
mengorganisir,
mengkerangkakan.
|
5.
|
Mengevaluasi/menilai
|
Kemampuan menetapkan
derajat sesuatu
berdasarkan
norma, kriteria atau
patokan
tertentu
Contoh: Membandingkan
hasil
ujian siswa dengan
kunci
jawaban
|
Mengkaji ulang,
mempertahankan,
menyeleksi,
mempertahankan, mengevaluasi,
mendukung, menilai,
menjustifikasi,
mengecek, mengkritik,
memprediksi,
membenarkan,
menyalahkan.
|
6.
|
Mencipta
|
Kemampuan memadukan
unsurunsur
menjadi sesuatu
bentuk
baru yang utuh dan
koheren,
atau membuat sesuatu
yang
orisinil. Contoh:
Membuat
kurikulum dengan
mengintegrasikan
pendapat dan
materi dari beberapa
sumber
|
Merakit, merancang,
menemukan,
menciptakan,
memperoleh,
mengembangkan,
memformulasikan,
membangun, membentuk,
melengkapi,
membuat,
menyempurnakan, melakukan
inovasi, mendisain,
menghasilkan karya.
|
b. Kawasan Afektif (sikap dan perilaku)
Kawasan afektif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sedarhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang seperti kepribadian dan hati nurani.
1. Tingkat menerima (receiving)
Mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan serta memberikan respons terhadap stimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar dalam domain afektif.
Contoh: Kesadaran para siswa bahwa kesulitan – kesulitan yang ditemui selama perkuliahan adalah tantangan bagi masa depannya. Sehingga dia akan dengan tetap semangat menjalani perkuliahan itu tanpa mengeluh.
2. Tingkat tanggapan (responding)
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan keaktifan dalam memberikan tanggapan. Dalam hal ini siswa menjadi tersangkut secara aktif, menjadi peserta, dan tertarik.
Contoh : Para siswa aktif memperdebatkan masalah yang dilontarkan gurunya.
3. Tingkat menilai (valuing)
Pengakuan secara objektif (jujur) bahwa siswa itu objek, sistem atau benda tertentu mempunyai kadar manfaat. Kemauan untuk menerima suatu objek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif.
Contoh : Setelah beberapa kali seorang siswa gagal dalam memahami cara menentukan titik ordinat dengan bantuan tanda medan, maka ia memutuskan untuk belajar sungguh – sungguh.
4. Pengorganisasian (Organization)
Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
Contoh : Siswa mampu bekerjasama dalam kelompok, membagi tugas dengan adil, saling bertukar gagasan, sehingga tercipta kekompakkan kelompok diantara siswa.
5. Tingkat karateristik (characterization)
Karakterisasi adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai – nilai yang dapat diterimanya, sehingga sikap dan perbuatan itu seolah – olah telah menjadi ciri – ciri pelakunya.
Contoh : Sejak di SMA hingga tamat Perguruan Tinggi. Siti selalu belajar siang dan malam karena ia percaya bahwa hanya dengan belajar keras cita – citanya akan tercapai.
Sikap Ilmiah
Sains sebagai proses dalam pembelajaran mendorong siswa untuk memiliki keterampilan dan keahlian para ilmuan dalam memecahkan masalah ilmiah. Keterampilan ini sangat membantu siswa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pembelajaran. Sains sebagai proses dalam pembelajaran menuntut guru untuk terampil dan memiliki keahlian khusus dalam mengorganisasi kondisi kelas. Siswa pun dituntut untuk selalu berani tampil secara individu maupun kelompok kecil dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Guru dalam hal ini hanya bersifat sebagai fasilitator saja dan kegiatan sepenuhnya terpusat pada siswa.
Untuk memenuhi peran siswa yang harus aktif dalam setiap pembelajaran, maka siswa harus menerapkan atau bersikap ilmiah dalam memecahkan berbagai permasalahan layaknya seorang ilmuwan yang sedang memecahkan masalah ilmiah. Sikap-sikap tersebut seperti:
- Perlunya mencari dan merumuskan suatu hipotesis.
- Berhati-hati dalam melakukan berbagai percobaan.
- Mampu menerima berbagai masukan dari pihak lain atau terbuka terhadap pendapat temannya.
- Memiliki rasa ingin tau yang besar terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul.
- Menyadari bahwa sains mampu mengatasi permasalahan tersebut.
- Memiliki antusias yang besar terhadap pengetahuan dan metodenya.
- Mengakui bahwa pengetahuan ilmiah sangat penting dalam dunia modern.
(Sumintono, 2010)
Secara garis besar terdapat 12 sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap siswa :
1. Sikap Ingin Tahu
Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya.
Contohnya : “Mengapa demikian? Bagaimana caranya? Apa saja unsur-unsurnya? Dan seterusnya”.
2. Jujur
Seorang peneliti harus dapat menerima apa pun hasil penelitiannya, dan tidak boleh mengubah data hasil penelitiannya.
3. Objektif
Seorang peneliti dalam mengemukakan hasil penelitiannya tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan pribadinya, tetapi harus berdasarkan kenyataan (fakta) yang ada.
4. Memiliki Kepedulian
Seorang peneliti mau mengubah pandangannya ketika menemukan bukti yang baru.
5. Teliti
Seorang peneliti dalam melakukan penelitian harus teliti dan tidak boleh melakukan kesalahan, karena dapat mempengaruhi hasil penelitiannya.
6. Tekun
Seorang peneliti harus tekun dan tidak mudah putus asa jika menghadapi masalah dalam penelitiannya.
7. Berani dan Santun
Seorang peneliti harus berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi.
8. Sikap Kritis
Sikap kritis terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihan-kekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.
9. Sikap Terbuka
Sikap terbuka dapat dilihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
10. Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain
Sikap menghargai karya orang lain ini terlihat pada kebiasaan menyebutkan sumber secara jelas sekiranya pernyataan atau pendapat yang disampaikan memang berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain.
11. Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran
Sikap ini menampak pada ketegaran membela fakta dan hasil temuan lapangan atau pengembangan walapun bertentangan atau tidak sesuai dengan teori atau dalil yang ada.
12. Sikap Menjangkau ke Depan
Sikap ini dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi pengembangan bidang ilmunya. (Bundu, 2006)
c. Kawasan Psikomotor (psychomotor domain)
Kawasan psikomotor adalah kawasan yang berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Dimensi (ranah) psikomotorik meliputi aktivitas motorik yang penting dalam pengembangan kemampuan siswa dalam memanipulasi benda-benda,dan secara umum mengembangkan keterampilan motorik siswa. Psikomotorikberhubungan dengan gerakan sengaja yang dikendalikan oleh aktivitas otak. Dimensi psikomotorik umumnya berupa keterampilan yang memerlukan koordinasi otak dengan beberapa otot.
Berkaitan dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972) menambahkanbahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu.
Hingga akhir hayatnya, Bloom tidak merumuskan kategori dalam ranah psikomotorik. Ahli psikologi berikutnyalah yang mengembangkan kategori psikomotorik, yakni Dave (1967), Simpson (1972), dan Harrow (1972). Berikut ini adalah kategori psikomotorik menurut Dave (1967):
1. Imitasi
Imitasi berarti meniru tindakan seseorang. Contoh imitasi misalnya seorang siswa mengamati demonstrasi guru tentang penggunaan cawan petri, bunsen, batang L, dan jarum oze dalam menggores biakan bakteri dan kemudian siswa meniru proses atau aktivitas guru tersebut.
2. Manipulasi
Kategori manipulasi berarti melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan cara mengikuti petunjuk umum, bukan berdasarkan observasi. Pada kategori ini, siswa dipandu melalui instruksi untuk melakukan keterampilan tertentu. Dalam pembelajaran IPA, siswa yang dapat melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk LKS berarti sudah masuk dalam kategori ini. Misalnya guru membagikan LKS yang mencakup prosedur kerja mengenai fotosintesis tumbuhan yang harus dilakukan siswa.
3. Presisi
Kategori presisi berarti secara independen melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan akurasi, proporsi, dan ketepatan. Dalam pembelajaran IPA, kategori presisi ini misalnya siswa terampil melakukan pengukuran suhu dengan termometer atau terampil menggunakan mikroskop. Tidak hanya terampil menggunakan alat-alat laboratorium tetapi siswa juga harus memahami setiap bagian-bagian pada alat-alat tersebut.
4. Artikulasi
Kategori artikulasi artinya memodifikasi keterampilan atau produk agar sesuai dengan situasi baru, atau menggabungkan lebih dari satu keterampilan dalam urutan harmonis dan konsisten. Dalam pembelajaran IPA, misalnya siswa sudah dapat menggabungkan langkah-langkah tertentu dalam memecahkan masalah dengan metode ilmiah.
5. Naturalisasi
Kategori naturalisasi artinya menyelesaikan satu atau lebih keterampilan dengan mudah dan membuat keterampilan otomatis dengan tenaga fisik atau mental yang ada. Pada kategori ini, sifat aktivitas telah otomatis, sadar penguasaan aktivitas, dan penguasaan keterampilan terkait sudah pada tingkat strategis (misalnya dapat menentukan langkah yang lebih efisien). Misalnya siswa di minta untuk mendesain, mengukur, menemukan, dan mengelola alat respirometer untuk mengetahui mekanisme respirasi pada hewan jangkrik.
Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains. Jakarta : Depdiknas.
Sumintono, bambang. 2010. Pembelajaran sains, pengembangan keterampilan sains dan sikap ilmiah dalam meningkatkan kompetensi guru. Johor bahru : Universiti Teknologi Malaysia.
Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains. Jakarta : Depdiknas.
Sumintono, bambang. 2010. Pembelajaran sains, pengembangan keterampilan sains dan sikap ilmiah dalam meningkatkan kompetensi guru. Johor bahru : Universiti Teknologi Malaysia.
0 komentar:
Posting Komentar