Portal Digital Data Personal

Tulisanku
Jumat, 04 Desember 2015

Review Buku Titik Nol – Agustinus Wibowo


Buku Titik Nol merupakan buku ketiga yang ditulis oleh petualang (backpacker) asal lumajang, Agustinus Wibowo. Warga Negara Indonesia yang masih memiliki darah cina ini sudah menjelajahi Negara Negara asia tengah, asia barat (afganistan) yang sudah diceritakan pada buku sebelumnya, garis batas dan selimut debu. Buku terbitan gramedia pustaka utama pada tahun 2013 memiliki sampul depan berwarna Biru cerah dipadu orange dengan anak melompat dari pohon yang melambangkan kebebasan, keberanian dan kenekatan serta bertagline perjalananku bukan perjalananmu, perjalananku adalah perjalananmu. Seperti yang dikisahkan pada buku garis batas, Perjalanannya kali ini juga penuh dengan bahaya, dirampok, sakit keras, ada ketegangan, ada keharuan, ada kelucuan dan tentu saja ada perenungan yang dalam di negeri orang dari Tibet, India, Nepal, Afganistan. Buku ini baru ku miliki setelah membaca habis garis batas. Ketika membaca buku ini saya membacanya tidak beraturan, kadang dari depan, kadang dari belakang dan akhirnya selesai juga dengan menguras perasaan. Menurut saya buku ini lebih menyentuh perasaan daripada buku sebelumnya.

Agustinus Wibowo adalah mahasiswa yang sedang berkuliah di Beijing yang bemimpi untuk berjalan dari Beijing ke Afrika Selatan. Perjalanan ini diawali dengan menyeberang ke atap dunia yaitu Tibet, kemudian Nepal, India dan Pakistan, namun harus berhenti sementara di afganistan untuk kembali pulang ke Indonesia menemui ibunya yang sedang sakit. Pemuda ini adalah mahasiswa yang melanjutkan studi di Cina, di kampus paling bergengsi disana. Dia ingin keliling dunia. Tempat yang dikunjunginya begitu banyak. pilihannya jatuh pada backpacker, mengembara dengan bekal seadanya (barang pentingnya adalah ransel dan kamera).

Di buku ini kita akan mendapatkan pengetahuan baru tentang Cina, tibet India, Pakistan, afganistan dan negara di sekitar India (karena ceritanya kebanyakan di wilayah ini). Gambaran geografis, dan antropologisnya terasa begitu nyata seakan-akan pembaca berada dalam buku. Ragam nuansa alam telah dijamahnya, mulai gurun pasir, lingkungan kumuh, hingga gunung bersalju di Tibet sana. Dilengkapi pula dengan foto berwarna untuk melengkapi cerita supaya tak berujung pada imajinasi belaka. Dalam buku ini pula disajikan sebuah cerita tentang ibu dan ayahnya yang sempat sakit serta dinamika keluarga. Keyakinan setiap anggota keluarga berbeda-beda. Ada yang Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Dalam menempuh perjalan panjang tentu harus dibayar mahal. Uang selalu menjadi amunisi pertama untuk melakukan perjalanan. Karena di luar sana, manusia sudah terbiasa dengan uang. Bahkan, untuk memotret anak-anak sedang bermain harus dimintai bayar. Ada juga ibu ibu yang sangat suka difoto di di daerah thar.

Dengan dana terbatas tujuannya yang pertama dari agustinus adalah kota umruqi yang membutuhkan 40 jam dengan duduk tidak manis di dalam kereta karena tempat duduknya keras dengan sandaran sudut siku siku. Sungguh menyebalkan ditambah lagi dengan penuhnya penumpang dalam satu gerbong kereta. Perjalanan tersebut berlanjut sampai kailash dan disana dia bisa melihat puncak gunung yang ditutupi es putih.  Di bagian awal buku ini ada kisah perjumpaan Agustinus dengan orang-orang peziarah Tibet yang begitu tabah merangkak berpuluh-puluh kilometer, dengan orang-orang Nepal yang begitu tangguh mendaki gunung, dengan kota-kota yang sudah mulai memoles diri mengikuti arus modernitas dan tentang Lasha yang mengecewakan karena sudah benar-benar komersil.

Kata jauh itulah yang menyeret Agustinus Wibowo berpetualangan mencari makna hidup. Kata itu pula yang menguatkan hatinya untuk merangkul rangsel, lalu melayangkan kaki hingga melewati garis batas dunia. Kata itu pula yang menjadi pemicu Agustinus kecil melawan ganasnya hidup di perjalanan India, tibet. Mendaki gunung tertinggi, mencicipi penderitaan di kashmir  dan menciumi aroma busuk di gang sempit perkotaan sambil disambut dengan kencingan orang India. Selain itu, dalam perjalannya, ia mengisahkan bagaimana sulitnya air di Tibet. Bahkan mereka rela tidak mandi berminggu-minggu. Air di daerah ini lebih mahal dari emas, jauh lebih berharaga dari Zamrub berlian. Agustinus berpikir, di Indonesia air tumpah dan melimpah ruah. Bahkan, air bisa membanjiri di sana-sini. Tapi disini, di daerah Tibet, menurut kisah yang didendangkan Agustinus berbeda. Tibet yang kehausan, Tibet yang penuh kemiskinan, Tibet yang dijual keindahan kepada Turis, ternyata hidup lebih melarat ketimbang daerah lain di belahan dunia ini. 

Dalam petualangannya menurusi lorong Tibet, ia tidak hanya menemukan kebiasaan orang Tibet menghargai tamu. Dia juga menemukan bagaimana orang Tibet memperlakukan wanita. Jika telah datang waktu nikah, seorang wanita hanya mampu pasrah terhadap pilihan orang tua. Dia akan dinikahkan dengan orang yang sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya. orang Tibet yang menjadikan perempuan sebagai objek sex semata. Mereka bahkan dinikahkan kepada beberapa lelaki. Oh sungguh satu budaya yang bisa mengundang pertikaian jika terlaksana di Indonesia. Orang Tibet itu primitif. Satu gadis dinikahkan dengan tiga lelaki, kakak beradik sekaligus. Satu istri banyak suami, dan satu suami banyak istri. 

Perjalanan tersebut berlanjut ke negeri sang budha dan dewa, india. Disana dia menemui kuil indah, pakaian yang menawan dan alam yang mempesona. Setelahnya ada cerita tentang India yang berbeda dengan film Kuch Kuch Hota Hai, tentang negeri yang begitu ramai, padat dan tidak teratur serta penuh dengan tipu daya dari supir rickshaw dan para calo. Apesnya dia harus di rawat di rumah sakit karena mengidap hepatitis namun dirawat dengan baik dan gratis. Walaupun india kondisi ekonominya tidak sebaik indonesia setidaknya pemerintah bertekad untuk menggratiskan biaya kesehatan. Setibanya di India, Ia menemukan sikap orang India yang sangat malu ketika melahirkan anak perempuan. Bagi rakyat India, lahirnya seorang anak perempuan adalah sebuah kesialan. Itulah mengapa, jutaan janin diaborsi hanya karena jenis kelamin perempuan. Karena dalam pemahaman rakyat India, anak perempuan itu strata sosialnya di bawah. Tambah akan membawa penderitaan bagi keluarga, karena anak perempuan harus punya mas kawin yang mahal untuk pernikahannya. Ya! karena di India,wanita akan menikahi bukan dinikahi. 

Semakin ke barat dia mulai menjejaki negeri Pakistan yang sulit untuk ditembus, di sana dia bertemu dengan masyarakat yang mencintai tamu, memuliakan pendatang, membenci amerika namun mencintai dollarnya. Untuk ke pakistan agustinus harus melewati karakoram highway yang memang high karena melewati gunung tertinggi ke-8 di dunia yang tingginya lebih dari 5.000 m diatas air laut dengan berbagai jurang yang siap menelannya. Kashmir yang baru saja diguncang gempa dahsyat. Daerah tersebut memiliki masyarakat yang optimis walaupun bencana mendera mereka. Kasmir merupakan daerah yang indah dan makmur. Di sana terbiasa menjamu tamu dengan sangat baik, bahkan mereka merasakan sedih ketika dalam satu hari tidak ada tamu yang bisa dilayani. Masyarakat pakistan merupakan masyarakat yang sangat menjaga wanitanya. Para wanita ketika keluar rumah dan berada di jalan pasti dengan jubah tertutup dilengkapi burqa. Namun ada peristiwa yang lucu juga, di sebuah toko makanan ada pelayan seksi yang menampakkan paha mulusnya, namun ketika keluar toko pakaiannya menjadi sangat tertutup. Ada juga orang yang sudah berjubah dan berburqa masih digoda laki-laki dijalan. Disana sebisa mungkin perempuan tidak keluar rumah, ketika keluarpun harus bersama muhrimnya. 

Disana umat muslimnya ada dua mazhab aqidah, yaitu sunni dan syiah yang seringkali masih menumpahkan darah walaupun di bulan ramadhan. Ahmadiyah juga ada yang dikenal halal darahnya untuk ditumpahkan. Walaupun pakistan yang memiliki arti sebagai tanah suci namun menurut google trends kata kunci yang sering digunakan disini tidak jauh-jauh dari seks, dan dikota Lahore terdapat pusat prostitusi terbesar, heera mandi. Di pakistan kejujuran adalah nomor satu, dan keramahan tamahan menurut mereka adalah ajaran utama dalam islam. Survey terbaru menyatakan bahwa 80% warga merasa bahwa identitas keislaman mereka lebih penting daripada identitas negaranya.

Setelah dari Pakistan dia memutuskan untuk kembali ke negeri yang sempat dia tinggalkan untuk sementara, Afganistan. Di kota Kabul dia menjalani kembali kehidupannya yang selalu dekat dengan hilangnya nyawa. Disana seringkali terdapat verita tewasnya seseorang oleh bom, namun yang dilaporkan bukanlah siapa-siapa nama yang tewas, namun statistik berapa yang tewas, miris. Seperti kata Joseph Stalin, kematian satu orang adalah tragedi, kematian berjuta orang adalah statistik. Di sana juga berlaku bad news is good news. Berita tewasnya orang dan berbagai foto eksklusifnya adalah sesuatu yang baik bagi jurnalis, beberapa kali terjadi tewasnya seorang jurnalis menyebabkan jurnalis lain mendapatkan piala internasional karena foto eksklusifnya. Di sana bom, teroris, penculikan, korupsi, inflasi adalah sesuatu yang biasa, mereka tenang- tenang saja dan kematian bagi mereka adalah keniscayaan.

Agustinus saat berada di Kabul bekerja sebagai seorang jurnalis demi mendapatkan dollar karena sebelumnya dia pernah kecopetan sehingga tidak punya uang sepeserpun untuk hidup dan melanjutkan perjalanan. Ada banyak kenyataan hidup yang miris dan semua itu ditemui oleh agustinus, ketika kamu membaca kisahnya pasti merasakan kok ada juga yang mengalami seperti itu dan kamu akan menghela nafas panjang seraya bersyukur karena hal itu tidak terjadi di sekitar kita. Di sana berlaku titik nol adalah keluarga, dari keluarga mereka berasal, untuk keluarga mereka hidup, pada keluarga mereka kembali. Orang afgan biasanya hidup dalam rumah besar yang dihuni oleh beberapa generasi. Semakin kokoh bahtera keluarga, semakin mantap perjalanannya. Ketika salah satu anggota keluarga diterpa masalah maka yang lain akan membantu, sehingga semua bahtera mampu meneruskan perjalanan

Di dalam perjalanan menyusuri buku ini saya menemukan banyak sekali hikmah kehidupan dan kemudian saya rangkum di bawah ini :
  1. Hidup itu tidak seperti lembaran buku, ketika kita menemukan bab yang membosankan, lalu kita loncati begitu saja. Dalam hidup, semua bab itu harus dibaca, dijalani dan dinikmati
  2. "Meminta itu sampah, merendahkan harkat dan martabat manusia untuk tidak malu lagi mengemis”
  3. Dalam sebuah perjalanan kita akan bertemu dan pergi meninggalkan orang-orang bersama kenangannya sendiri. Semua itu dipahami sebagai kodrat yang dikenal dengan jodoh. Ya! Agustinus percaya bahwa pertemuan dan perpisahan pada intinya adalah produk dari sebuah perjodohan. Itulah mengapa, manusia di belahan dunia mana pun, jika telah berjodoh, pasti akan bertemu juga. 
  4. Demi untuk menghindari penderitaan manusia akan melakukan apapun, bahkan membunuh. begitu pun untuk membeli segenggam senyum. Manusia akan mati-matian berjuang. Memang kebahagian itu memabukkan. Sekali kita mencicipinya, maka kita akan mati-matian mencarinya 
  5. Hidup adalah perjalanan. Jika kamu tidak melakukan perjalanan, maka lebih baik memilih mati saja. Sebab, tak akan ada perubahan. Semua akan diam di tempat tanpa ada satu goresan sejarah yang akan tercipta. Di saat itu, mati adalah pilihan yang pantas. 
  6. Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar dan juga belajar melihat e dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dilalui semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali.
  7. Perasaan kasih antara orang tua dengan anaknya apapun latar belakang bangsa dan budaya dimana mana adalah sama.
  8. Perjalanan tanpa makna bagaikan rumah tanpa roh. Hanya wujud yang tanpa jiwa
  9. Ketika mimpi indah tak terpenuhi, manusia harus belajar menerima
  10. Justru karena masih ada mimpi kita punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar. Tanpa mimpi sama sekali apa arti hidup ini?
  11. Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang redup redam..
  12. Kata orang, dulu Ibu menunggui kita hingga dewasa. Tetapi kita, menunggui Ibu dalam usia tua. Ya, mau diapakan lagi? Memang begitu adanya.
  13. Kemenangan terbesar bukan berarti tak pernah jatuh. Sang pemenang itu pasti pernah jatuh, tapi ia selalu bangun. 
  14. Tak  masalah berapa lambat kamu berjalan, yang penting jangan sampai kamu berhenti.
  15. Cita- cita yang tak tergapai pasti akan membawa penyesalan, tapi penyesalan akan lebih menyiksa ketika kita meyerah sebelum kalah.
  16. Perjalanan telah mengajarkan membawa barang bawaan hanyalah beban memberatkan, makin ringan barang bawaan maka makin ringan langkah kaki.
  17. Orang bilang pekerjaan yang terbaik adalah pekerjaan yang sama dengan hobi, tapi seiiring dengan perubahan status dari hobi menjadi profesi maka rasa juga akan berubah. Dari dulunya cinta sempurna, ideal, bebas menjadi untung rugi, tugas dan rutinitas.
  18. Tanpa pendidikan formal kita pun bisa belajar dari perjalanan, betapa perjalanan adalah guru yang paling agung.
  19. Perjalanan adalah sebuah point of no return. Tidak ada yang kembali ke sedia kala.
  20. Orang beragama lebih bahagia daripada yang tidak, mungkin kuncinya adalah penyerahan.
  21. Ketika orang bijak menunjuk ke bulan yang terlihat oleh orang bodoh hanyalah jari.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Review Buku Titik Nol – Agustinus Wibowo Rating: 5 Reviewed By: Wawan Listyawan