Mungkin kita harus menggali kembali makna dari mengkritik.. setahuku mengkritik itu mengajukan komentar kepada orangnya langsung, kalau tidak ya minimal apa yang menjadi uneg-uneg kita tersampaikan kepada empunya, minimal disurati lah atau ditelepon.. misalnya, "pak, sampeyan itu anu anu lho.. seharusne ora nganu nganu.. ngapunten nggih". menyampaikan dengan baik apa yang membuat kita muneg, kalau mampu ya kasih solusi, nek ora ya gak popo lah. setelah itu meminta maaf jika ada yang salah.. namun banyak orang yang mengaku mengkritik namun (sayangnya) mencurahkan segala hal yang membuatnya muneg kepada orang lain, bukan kepada siapa yang dikritiknya, terkadang disertai keinginan mendapatkan pujian, dukungan, predikat kritikus yang kritis dan berbagai motif lainnya. bukankah itu salah alamat? apalagi jika ditambahi diskusi yang membumbui sehingga semakin pedas membara. "pak ini anu anu, bla bla.. maka kita harus nganu-nganu, kata bu ini pak nya ini itu, maka hati-hati kepada si anu nganu".. ditambahi pula julukan si anu anu, kae kui anu..
Katanya sih ini negara yang memiliki peraturan dan undang-undang, namun asas praduga tak bersalah tidak berlaku secara umum, hanya berlaku di meja majelis hukum. namun sepertinya teori konspirasi tumbuh subur di semua lini.. jarene kae iki ngene-ngene, dugaanku kae nganu nganu, alesane anu anu.. tapi aku ra ngerti bener opo ora.. setelah itu pemikiran itu hingga dari mulut ke telinga, dari mulut ke mulut, dari telinga ketelinga, jadinya seperti amonia yang tertiup angin, busuk ! ketika kita berdiskusi membicarakan orang lain terutama keburukannya itu sudah bisa dikategorikan sebagai ghibah, walau tidak seluruh pembicaraanya bisa dikategorikan seperti itu.. ketika kita mengompor-ngompori orang lain supaya semakin tersulut membara bukankah itu dikatakan provokator? ketika apa yang kita ungkapkan tidak sesuai dengan fakta dan tidak didahului dengan konfirmasi kepada orang yang bersangkutan bukankah itu fitnah? apalagi diperparah dengan tidak mau mengaku salah ketika itu salah dan berkelit tidak mau meminta maaf, bukankah itu sombong?
Era ini merupakan era yang bebas, terutama di dunia maya. banyak jiwa yang sudah kehilangan etika, agama dan sopan santunnya. hilang di sini bukan hilang secara statusnya namun kehilangan nilai nilai yang terkandung dalam setiap detik kehidupannya. banyak orang yang merasa bebas itu tanpa batas, namun lupa bahwa setiap kebebasan setiap orang akan berbenturan dengan kebebasan orang lain, dan setiap benturan itu akan timbul apa itu etika dan norma dimana agama sebagai pondasinya. parahnya ketika banyak orang yang banyak yang mengungkapkan uneg-unegnya kepada dengan orang lain dengan garangnya, pedasnya, serta dibumbui dengan umpatannya dimanakah pelajaran bahasa indonesia yang mengajarkan untuk berbahasa yang baik dan benar? PPKn yang mengajarkan untuk menjadi warga negara yang baik dan taat hukum? dimanakan pelajaran budi pekerti yang mengajarkan untuk meminta maaf dalam setiap perkataan jika ada kata yang kurang berkenan? di manakah pelajaran agama yang mengajari untuk berkasih sayang? apakah pelajaran itu hanya berujung tinta yang menempel pada kertas? apakah pelajaran itu ibarat etanol yang terpapar oleh sinar mentari?
Salah satu nasehat mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) yang kuperoleh sore tadi, ada orang mengkritik tetapi tidak bisa memberi jalan keluar, ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik. duh, untuk mencapai derajat memberi solusi tanpa mengkritik memang tidak mudah, namun inilah yang harus terinternalisasi dalam diri kita. cobalah mulai bicaralah dengan si empunya (sebisa mungkin bertatap muka, ketika hanya sekedar bertatap aksara maka tercipta peluang pergeseran makna), mulailah mencari solusi dengan kepala yang dingin dan hadirkan hati. jangan orang lain yang tidak berkepentingan dan mau berkontribusi, nantinya malah berujung ghibah dan provokasi. kalaupun tidak ya silahkan disurati dengan bahasa yang tegas, jelas dan tidak membuat orang tersakiti. ketika kita koar koar di media sosial itu bukanlah solusi, malah bisa memperberat dosa kita di yaumil hisab nanti..
***
Petang malam yang temaram, 13 Januari 2016 - 19:23 WIB
0 komentar:
Posting Komentar