Sudah beberapa bulan ini saya tidak menggunakan gadget sebagai moda komunikasi. Alasannya sederhana, touchscreennya sedang mengalami masalah dibeberapa spot alhasil saya tidak bisa mengetik dengan nyaman. Untuk itu saya beralih ke hape model lama peninggalan adik saya, nokia 2600c. pada awalnya sih cukup kesulitan untuk kembali ke teknologi lama. Misal ketika harus mengetik maka membutuhkan (sedikit) tenaga untuk beralih ke huruf yang dituju, berbeda ketika menggunakan qwerty yang cukup sentuh sedikit saja sudah mengabulkan permintaan huruf yang kita inginkan. Apalagi hape lama yang saya gunakan keypadnya cukup keras untuk ditekan dan cukup berisik.
Ada beberapa perubahan yang dapat saya rasakan seperti ngecharge tidak setiap hari (walaupun baterai hape nokia tidak ori namun dapat menyuplai tenaga berhari-hari), orientasi pengeluaran per bulan mulai berubah. Ketika beberapa bulan sebelumnya pengeluaran ditujukan untuk 15.000 paket chat, 10.000 paket sms namun sekarang 25.000 digunakan untuk paket sms semua, alhasil paket sms yang dimiliki mencapai ribuan sms yang entah nantinya akan digunakan untuk sms siapa saja.. haha. Terkadang juga keluar beberapa kocek untuk membeli paket internet, untuk browsing di kamar. Alasan sederhana pengeluaran rutin 25.000 per bulan sekarang adalah untuk memperpanjang masa aktif kartu. Semakin bertambah umur malah berkurang intensitas komunikasinya, kembali ke kondisi pada awal punya hape (masa-masa SMP dan SMA).
Masalah touchscreen juga berimbas kepada aktivitas di dunia maya, jarang browsing, stalking, update tumblr, maupun chatting yang terkadang sampai tengah malam baru kelar. Dengan ketiadaaan paket kehidupan saya dapat dikategorikan damai, gadget hanya berdenting ketika ada wifi, sms pun jarang berdering, sehari tak lebih dari 10 kali, itupun yang sms paling dari operator yang biasanya 2 kali sehari. Sms pun jarang karena dari dulu sudah terlatih untuk sms ketika ada keperluan saja, telepon saja dalam satu semester pun bisa dihitung dengan jari (tangan) karena saya tidak betah telepon, itupun bukan saya yang telepon namun ditelepon karena saya memang tidak punya uang dan pulsa yang cukup.
Kalau kita mau berefleksi sedikit tentang gadget maka gadget itu memiliki kecenderungan sebagai pemuas keinginan, bukan kebutuhan. Sepertinya kalau didefinisikan ‘cukup’ untuk masalah komunikasi telepon dan sms sudah cukup untuk menutup kebutuhan. Itupun kalau kita benar benar bisa bermindset ‘kebutuhan dan hemat’. Namun banyak alasan fasilitas gadget seperti chatting melalui wa, line, bbm, telegram katanya lebih irit, yang memang irit untuk mengirim ribuan karakter antar gadget. Namun berapa persenkah pesan yang kita kita kirim kepadan teman itu yang tergolong penting? Bukankah itu kebanyakan hanya bualan, candaan, dan beberapa kali ‘ungkapan narciscus’ di grup untuk mencari perhatian? Apalagi segudang aplikasi yang mampu melenakan kita sehingga kita lupa berapa puluh jam tangan kita setia menggenggamnya, bukankah itu adalah cobaan? Apalagi ketika perkembangan gadget yang pesat sehingga kita tergoda untuk memperbaruinya.
Yang terparah adalah ketika kita tidak bisa memposisikan dengan baik ketika berkumpul dengan teman. Bagi saya dan beberapa teman itu tidak manusiawi ketika kita mencuekin seseorang yang berada di depan kita dan lebih lebih memilih berinteraksi dengan gadget. Lebih suka melihat wajah buku (facebook) daripada wajah teman kita. Lebih suka berkicau (ngetwiitter) daripada berdiskusi. Lebih suka mencari (searching & browsing) daripada berbagi (sharing) cerita dengan teman- teman kita. Ketika kebiasaan itu sudah membudaya niscaya akan terjadi perubahan sosial pada masyarakat kita. Dari makhluk sosial menjadi makhluk sosialita, eh maaf makhluk sosmed. Saya dengan beberapa teman sempat membuat janji, “ketika kita bertemu hape dan gadget diletakkan dulu, mari kita berbincang”.
So, setiap orang memiliki perbedaan standar ‘cukup’ dalam berkomunikasi, namun akal kita sudah cukup dewasa untuk menentukan cukup itu seperti apa. Dan setiap akal mendefinisikan cukup itu berarti seperlunya sesuai kebutuhan dan kebermanfaatan, ketika berlebihan itu merupakan kecenderungan untuk menuruti keinginan.
Ada cerita masa kecil ketika bapak dan ibu LDR an, saya dan ibu setiap bulan rutin ke pasar kota untuk menelpon bapak ke wartel, karena pada masa itu belum ada hape sehingga mau tidak mau untuk mendengarkan suara bapak harus antri bilik (KBU) telepon. Dan beberapa puluh tahun terakhir wartel itupun tutup karena sudah menjamurnya hape. Pada masa itu sudah terasa cukup walau tidak bersua dan hanya berbicara selama beberapa menit sebulan sekali.
Ada juga kisah romantis ketika pada masa awal pernikahan bapak ibu mereka juga surat-suratan setiap bulan, suratnya ditulis dengan bolpen biru dalam secarik kertas folio. Namun saya lupa tulisannya apa tapi sepertinya so sweet sekali. Konon sampai sekarang ibu saya masih menyimpan dengan rapi surat-surat tahun 90an itu. Walau tidak bisa berbincang banyak namun melalui secarik surat sudah cukup untuk saling bertukar kata. Ah, seringkali masa lalu dengan segudang kejadulannya itu seperti air degan, dibayangkan saja sudah nikmat diminum seteguk sedikit saja sudah melegakan. Daripada masa sekarang yang terasa seperti air laut dengan kemodernannya, semakin diminum semakin terasa dahaganya.
Walaupun sekarang beliau berdua sudah tergolong sering telponan karena keadaan sudah lebih baik dan paketan telpon sekarang juga murah. Biasanya sehari 2 kali, pagi dan sore dengan pembicaraan yang terkadang tidak penting seperti masak apa, sudah makan atau belum, sedang apa, terkadang curhat juga namun untuk yang sedang LDR puluhan tahun kebiasaan telpon itu dikategorikan (sangat) penting. di era sekarang orang yang pacaran aja (katanya) tidak ada kabar sehari saja bingungnya minta ampun apa lagi yang sudah berkeluarga.
***
Diterpa sinar mentari pagi, 30 Desember 2015 – 07:20 WIB
Wah, mas nya sudah pengalaman minum air laut rupanya.. :p
BalasHapusasin tenan cah.. haha..
BalasHapus