Dengan menggunakan Kurva Spesies Area (KSA), maka dapat ditetapkan luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur dan jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur (Marpaung, 2009).
Sifat-sifat individu ini dapat dibagi atas dua kelompok besar, di mana dalam analisanya akan memberikan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif meliputi distribusi tumbuhan (frekuensi), kerapatan (density), atau banyaknya (abudance).
JUDUL
Analisis vegetasi Tanaman Pohon di 11 Batuan di Karangsambung Menggunakan Metode Point Center Quarter (PCQ)
TUJUAN
Mengetahui distribusi masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
Menghitung nilai penting masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
Mengetahui spesies dengan kontribusi tertinggi dan terendah yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
DASAR TEORI
Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik.
Dengan menggunakan Kurva Spesies Area (KSA), maka dapat ditetapkan luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur dan jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur (Marpaung, 2009).
Sifat-sifat individu ini dapat dibagi atas dua kelompok besar, di mana dalam analisanya akan memberikan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif meliputi distribusi tumbuhan (frekuensi), kerapatan (density), atau banyaknya (abudance).
Dalam pengambilan contoh kuadrat, terdapat empat sifat yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan, karena hal ini akan mempengaruhi data yang diperoleh dari sample. Keempat sifat itu adalah ukuran petak, bentuk petak, jumlah petak, dan cara meletakkan petak di lapangan (Polunin, 1990).
Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil datanya sangat bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 dm2 sampai 100 m2. Menurut Michael, M. (1992), bahwa Suatu syarat untuk daerah pengambilan contoh haruslah representatif bagi seluruh vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat dikembalikan kepada sifat umum suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang dibentuk oleh populasi-populasi. Dengan demikian pada suatu daerah vegetasi umumnya akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan.
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi umumnya terdiri dari (Andre, 2009) :
Belukar (Shrub)
Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
Epifit (Epiphyte)
Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
Paku-Pakuan (Fern)
Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
Palma (Palm)
Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
Pemanjat (Climber)
Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
Terna (Herb)
Tumbuhan yang merambat di tanah, namun tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut yang kadang-kadang keras.
Pohon (Tree)
Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm. Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
Semai (Seedling)
Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5 m.
Pancang (Sapling)
Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
Tiang (Poles)
Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Untuk memperoleh informasi vegetasi secara obyektif digunakan metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh (releve) berdasar koefisien ketidaksamaan (Marsono, 1987). Variasi dalam releve merupakan dasar untuk mencari pola vegetasinya. Dengan ordinasi diperoleh releve vegetasi dalam bentuk model geometrik yang sedemikian rupa sehingga releve yang paling serupa mendasarkan komposisi spesies beserta kelimpahannya akan rnempunyai posisi yang saling berdekatan, sedangkan releve yang berbeda akan saling berjauhan. Ordinasi dapat pula digunakan untuk menghubungkan pola sebaran jenis jenis dengan perubahan faktor lingkungan (Simanung, 2009).
Dalam analisa vegetasi ini terdapat banyak ragam metode analisa diantaranya yaitu cara petak tunggal, cara petak berganda, cara jalur (Transek) dengan cara garis berpetak, dan cara-cara tanpa petak.
Beberapa metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode kuadran (Simanung, 2009).
Metode Kuadran
Pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja yang menjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya. Ada dua macam metode yang umum digunakan (Simanung, 2009) :
Point-quarter
Metode yang penentuan titik-titik terlebih dahulu ditentukan di sepanjang garis transek. Jarak satu titik dengan lainnya dapat ditentukan secara acak atau sistematis. Masing-masing titik dianggap sebagai pusat dari arah kompas, sehingga setiap titik didapat empat buah kuadran. Pada masing-masing kuadran inilah dilakukan pendaftaran dan pengukuran luas penutupan satu pohon yang terdekat dengan pusat titik kuadran. Selain itu diukur pula jarak antara pohon terdekat dengan titik pusat kuadran.
Wandering-quarter
Metode dengan cara membuat suatu garis transek dan menetapkan titik sebagai titik awal pengukuran. Dengan menggunakan kompas ditentukan satu kuadran (sudut 90) yang berpusat pada titik awal tersebut dan membelah garis transek dengan dua sudut sama besar. Kemudian dilakukan pendaftaran dan pengukuran luas penutupan danjarak satu pohon terdekat dengan titik pusat kuadran. Penarikan contoh sampling dengan metode-metode diatas umumnya digunakan pada penelitian-penelitian yang bersifat kuantitatif. Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah nama jenis (lokal atau Latin), jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan, penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap lahan, diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung volume pohon, dan tinggi pohon baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC) penting untuk mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon (Andre, 2009).
Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Beberapa rumus yang penting diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu (Gapala, 2010):
Kerapatan (Density)
Banyaknya (abudance) merupakan jumlah individu dari satu jenis pohon dan tumbuhan lain yang besarnya dapat ditaksir atau dihitung. Secara kualitatif kualitatif dibedakan menjadi jarang terdapat, kadang-kadang terdapat, sering terdapat dan banyak sekali terdapat jumlah individu yang dinyatakan dalam persatuan ruang disebut kerapatan yang umunya dinyatakan sebagai jumlah individu,atau biosmas populasi persatuan areal atau volume, misal 200 pohon per Ha.
Dominasi
Dominasi dapat diartikan sebagai penguasaan dari satu jenis terhadap jenis lain (bisa dalam hal ruang, cahaya, dan lainnya) sehingga dominasi dapat dinyatakan dalam besaran banyaknya individu (abudance) dan kerapatan (density), persen penutupan (cover percentage) dan luas bidang dasar (LBD)/Basal area (BA), volume, biomass, dan indeks nilai penting (importance value-IV). Kesempatan ini besaran dominan yang digunakan adalah LBH dengan pertimbangan lebih mudah dan cepat, yaitu dengan melakukan pengukuran diameter pohon pada ketinggian setinggi dada (diameter breas heigt-dbh).
Frekuensi
Frekuensi merupakan ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya suatu jenis frekuensi memberikan gambaran bagimana pola penyebaran suatu jenis, apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok. Hal ini menunjukan daya penyebaran dan adaptasinya terhadap lingkungan.
Raunkiser dalam Shukla dan Chandel (1977) membagi frekuensi dalm lima kelas berdasarkan besarnya persentase,yaitu:
Kelas A dalam frekuensi 1 –20 %
Kelas B dalam frekuensi 21-40 %
Kelas C dalam frekuensi 41-60%
Kelas D dalam frekuensi 61-80 %
Kelas E dalam frekuensi 81-100%
Indeks Nilai Penting (Importance Value Indeks)
Gambaran lengkap mengenai karakter sosiologi suatu spesies dalam komunitas (Contis dan Mc Intosh, 1951) dalam Shukla dan Chandel (1977). Nilainya diperoleh dari menjumlahkan nilai kerapatan relatif, dominasi relaif dan frekuensi relatif sehingga jumlah maksimalnya 300%.
Praktik analisis vegetasi sangat ditunjang oleh kemampuan mengenai jenis tumbuhan. Kelemahan ini dapat diperkecil dengan mengajak pengenal pohon atau dengan membuat herbarium maupun foto yang nantinya dapat diruntut dengan buku pedoman atau dinyatakan keahlian pengenal pohon setempat, ataupun dapat langsung berhubungan dengan lembaga Biologi Nasional Bogor.
Analisis vegetasi dapat dilanjutkan untuk menentukan indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, indeks asosiasi, kesalihan, dll, yang dapat banyak memberikan informasi dalam pengolahan suatu kawasan, penilaian suatu kawasan. Data penunjang seperti tinggi tempat, pH tanah warna tanah, tekstur tanah dll diperlukan untuk membantu dalam menginterpretasikan hasil analisis.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :
1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda.
2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Beberapa metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode kuadran. Pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja yang menjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya. Metode kuadran juga ada beberapa jenis:
a. Liat quadrat: Spesies di luar petak sampel dicatat.
b. Count/list count quadrat: Metode ini dikerjakan dengan menghitung jumlah spesies yang ada beberapa batang dari masing-masing spesies di dalam petak. Jadi merupakan suatu daftar spesies yang ada di daerah yang diselidiki.
c. Cover quadrat (basal area kuadrat): Penutupan relatif dicatat, jadi persentase tanah yag tertutup vegetasi. Metode ini digunakan untuk memperkirakan berapa area (penutupan relatif) yang diperlukan tiap-tiap spesies dan berapa total basal dari vegetasi di suatu daerah. Total basal dari vegetasi merupakan penjumlahan basal area dari beberapa jenis tanaman. Cara umum untuk mengetahui basal area pohon dapat dengan mengukur diameter pohon pada tinggi 1,375 meter (setinggi dada).
d. Chart quadrat: Penggambaran letak/bentuk tumbuhan disebut Pantograf. Metode ini ter-utama berguna dalam mereproduksi secara tepat tepi-tepi vegetasi dan menentukan letak tiap- tiap spesies yang vegetasinya tidak begitu rapat. Alat yang digunakan pantograf dan planimeter. Pantograf diperlengkapi dengan lengan pantograf. Planimeter merupakan alat yang dipakai dalam pantograf yaitu alat otomatis mencatat ukuran suatu luas bila batas-batasnya diikuti dengan jarumnya (Wahyu,2009).
ALAT DAN BAHAN
Kompas 1 buah
Protaktor 1 buah
Peta Karangsambung 1 buah
Patok 8 buah
Meteran 1 buah
Tongkat penanda 1 buah
Bambu “+” 1 buah
Tali Rafia secukupnya
Label secukupnya
Alat Tulis secukupnya
Buku identifikasi secukupnya
Kantong plastik secukupnya
CARA KERJA
Menentukan lokasi yang memiliki heterogenitas spesies.
Mencari peta lokasi yaitu peta topografi daerah Karangsambung untuk menentukan luas area total yang akan diamati melalui Google Map.
Menggambar peta lokasi yang telah didapat.
Menentukan jumlah titik sampling per lokasi dengan urutan sebagai berikut :
Luas area total = 66,5971 ha
Luas area cuplikan = 1 % x luas wilayah
= 1 % x 66,5971 ha
= 6,0702 ha
Jumlah titik = (Luas area cuplikan)/(1 ha)=(6,0702 )/(1 ha)= 6 titik
Jumlah titik yang diamati direduksi menjadi 4 titik.
Dari jumlah titik sampling yang harus digunakan menurut perhitungan, titik dapat direduksi dan digunakan dalam pengamatan di Karangsambung.
Menentukan letak titik pada peta secara acak (random sampling).
Menentukan rute pada peta dan mengukur jarak serta sudut dari satu titik ke titik lain.
Mengkonversikan titik-titik tersebut dari petake lokasi sebenarnya dengan bantuan kompas dan protaktor.
Setelah menemukan titiknya, maka mencari arah utara dan memasang tali rafia “+” untuk membuat kuadran I, II, III, IV.
Menancapkan tongkat penanda pada titik central.
Mengambil data pengamatan yaitu:
Mencari pohon yang jaraknya terdekat di tiap kuadran dengan syarat pohon dengan keliling minimal 20 cm (diukur pada batang setinggi kurang lebih 150 cm) dan sudah mature.
Mencatat nama spesies dan mengukur jarak dari titik serta keliling pohonnya.
a. Mencari mean distance (rata-rata jarak) = D
D = (Total jarak)/(∑ 〖total quarter〗)
b. Mencari densitas per 100 m2 = (mean area)/D^2 x faktor koreksi
Mean area = 100
Faktor koreksi untuk PCQ = 1
c. Mencari densitas setiap spesies (DsM)
∑ Dalam quarter = (∑Individu spesies X)/(∑ 〖Total quarter〗)
DsM = ∑ Dalam quarter x Densitas per 100 m2
d. Mencari Dominansi mutlak (DmM)
BA = π r2
Rata-rata BA spesies X = (Jumlah total BA spesies X)/(∑ 〖Individu spesies X〗)
e. Mencari frekuensi mutlak (FM)
FM = (∑ 〖Titik sampling yang ada spesies X〗)/(∑ 〖Titik sampling〗) x 100 %
f. Mencari nilai relatif
Densitas Relatif (DsR) = ∑ DsM spesies X x 100 %
∑ total DsM
Dominansi Relatif (DmR) = ∑ DmM spesies X x 100 %
∑ total DmM
Frekuensi Relatif ( FR) = ∑ FM spesies X x 100 %
∑ total FM
g. Mencari nilai penting dan rangking
NP = DsR + DmR + FR
Semakin besar nilai penting maka semakin tinggi pula rangking untuk setiap spesies di Karangsambung.
PEMBAHASAN
Analisa Kuantitatif
Mean Distance (rata-rata jarak) = D
D = (Total jarak)/(∑ 〖Total quarter〗)= 63,72/16 =3,98253,9825
Densitas Per 100 m2
Densitas Per 100 m2 = (Main area)/D^2 ×faktor koreksi = 100/〖(3,9825)〗^2 ×1 =6,30504849
∑ dalam quarter
∑ dalam quarter = (∑ 〖Individu spesies X〗)/(∑ 〖Total quarter〗)
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Densitas mutlak tiap jenis (DsM)
DsM = ∑ dalam quarter Densitas Per 100 m2
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Densitas relatif tiap jenis (DsR)
DsR = (DsM spesies X)/(∑ DsM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Basal Area (BA)
BA =Ï€r^2
(hasil perhitungan BA tiap spesies terlampir di data praktikum)
Rata-rata Basal Area (Rata-rata BA)
Rata-rata BA spesies X = (Jumlah total BA spesies X)/(∑ 〖Individu spesies X〗)
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Dominansi Mutlak (DmM)
DmM = Rata-rata BA spesies X × DsM spesies X
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Dominansi relatif (DmR)
DmR = (DmM spesies X)/(∑ DmM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Frekuensi Mutlak (FM)
FM = (∑ 〖Titik sampling yang ada spesies X〗)/(∑ 〖Titik sampel〗) 100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Frekuensi Relatif (FR)
FR = (FM spesies X)/(∑ FM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
JUDUL
Analisis vegetasi Tanaman Pohon di 11 Batuan di Karangsambung Menggunakan Metode Point Center Quarter (PCQ)
TUJUAN
Mengetahui distribusi masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
Menghitung nilai penting masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
Mengetahui spesies dengan kontribusi tertinggi dan terendah yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung.
DASAR TEORI
Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik.
Dengan menggunakan Kurva Spesies Area (KSA), maka dapat ditetapkan luas minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur dan jumlah minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur yang mewakili jika menggunakan metode jalur (Marpaung, 2009).
Sifat-sifat individu ini dapat dibagi atas dua kelompok besar, di mana dalam analisanya akan memberikan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif meliputi distribusi tumbuhan (frekuensi), kerapatan (density), atau banyaknya (abudance).
Dalam pengambilan contoh kuadrat, terdapat empat sifat yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan, karena hal ini akan mempengaruhi data yang diperoleh dari sample. Keempat sifat itu adalah ukuran petak, bentuk petak, jumlah petak, dan cara meletakkan petak di lapangan (Polunin, 1990).
Luas daerah contoh vegetasi yang akan diambil datanya sangat bervariasi untuk setiap bentuk vegetasi mulai dari 1 dm2 sampai 100 m2. Menurut Michael, M. (1992), bahwa Suatu syarat untuk daerah pengambilan contoh haruslah representatif bagi seluruh vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat dikembalikan kepada sifat umum suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang dibentuk oleh populasi-populasi. Dengan demikian pada suatu daerah vegetasi umumnya akan terdapat suatu luas tertentu, dan daerah tadi sudah memperlihatkan kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan.
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Jika berbicara mengenai vegetasi, kita tidak bisa terlepas dari komponen penyusun vegetasi itu sendiri dan komponen tersebutlah yang menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuh-tumbuhan penyusun suatu vegetasi umumnya terdiri dari (Andre, 2009) :
Belukar (Shrub)
Tumbuhan yang memiliki kayu yang cukup besar, dan memiliki tangkai yang terbagi menjadi banyak subtangkai.
Epifit (Epiphyte)
Tumbuhan yang hidup dipermukaan tumbuhan lain (biasanya pohon dan palma). Epifit mungkin hidup sebagai parasit atau hemi-parasit.
Paku-Pakuan (Fern)
Tumbuhan tanpa bunga atau tangkai, biasanya memiliki rhizoma seperti akar dan berkayu, dimana pada rhizoma tersebut keluar tangkai daun.
Palma (Palm)
Tumbuhan yang tangkainya menyerupai kayu, lurus dan biasanya tinggi; tidak bercabang sampai daun pertama. Daun lebih panjang dari 1 meter dan biasanya terbagi dalam banyak anak daun.
Pemanjat (Climber)
Tumbuhan seperti kayu atau berumput yang tidak berdiri sendiri namun merambat atau memanjat untuk penyokongnya seperti kayu atau belukar.
Terna (Herb)
Tumbuhan yang merambat di tanah, namun tidak menyerupai rumput. Daunnya tidak panjang dan lurus, biasanya memiliki bunga yang menyolok, tingginya tidak lebih dari 2 meter dan memiliki tangkai lembut yang kadang-kadang keras.
Pohon (Tree)
Tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm. Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut tingkat permudaannya, yaitu :
Semai (Seedling)
Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5 m.
Pancang (Sapling)
Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
Tiang (Poles)
Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Untuk memperoleh informasi vegetasi secara obyektif digunakan metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh (releve) berdasar koefisien ketidaksamaan (Marsono, 1987). Variasi dalam releve merupakan dasar untuk mencari pola vegetasinya. Dengan ordinasi diperoleh releve vegetasi dalam bentuk model geometrik yang sedemikian rupa sehingga releve yang paling serupa mendasarkan komposisi spesies beserta kelimpahannya akan rnempunyai posisi yang saling berdekatan, sedangkan releve yang berbeda akan saling berjauhan. Ordinasi dapat pula digunakan untuk menghubungkan pola sebaran jenis jenis dengan perubahan faktor lingkungan (Simanung, 2009).
Dalam analisa vegetasi ini terdapat banyak ragam metode analisa diantaranya yaitu cara petak tunggal, cara petak berganda, cara jalur (Transek) dengan cara garis berpetak, dan cara-cara tanpa petak.
Beberapa metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode kuadran (Simanung, 2009).
Metode Kuadran
Pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja yang menjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya. Ada dua macam metode yang umum digunakan (Simanung, 2009) :
Point-quarter
Metode yang penentuan titik-titik terlebih dahulu ditentukan di sepanjang garis transek. Jarak satu titik dengan lainnya dapat ditentukan secara acak atau sistematis. Masing-masing titik dianggap sebagai pusat dari arah kompas, sehingga setiap titik didapat empat buah kuadran. Pada masing-masing kuadran inilah dilakukan pendaftaran dan pengukuran luas penutupan satu pohon yang terdekat dengan pusat titik kuadran. Selain itu diukur pula jarak antara pohon terdekat dengan titik pusat kuadran.
Wandering-quarter
Metode dengan cara membuat suatu garis transek dan menetapkan titik sebagai titik awal pengukuran. Dengan menggunakan kompas ditentukan satu kuadran (sudut 90) yang berpusat pada titik awal tersebut dan membelah garis transek dengan dua sudut sama besar. Kemudian dilakukan pendaftaran dan pengukuran luas penutupan danjarak satu pohon terdekat dengan titik pusat kuadran. Penarikan contoh sampling dengan metode-metode diatas umumnya digunakan pada penelitian-penelitian yang bersifat kuantitatif. Adapun parameter vegetasi yang diukur dilapangan secara langsung adalah nama jenis (lokal atau Latin), jumlah individu setiap jenis untuk menghitung kerapatan, penutupan tajuk untuk mengetahui persentase penutupan vegetasi terhadap lahan, diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar dan berguna untuk menghitung volume pohon, dan tinggi pohon baik tinggi total (TT) maupun tinggi bebas cabang (TBC) penting untuk mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat diketahui ditaksir ukuran volume pohon (Andre, 2009).
Hasil pengukuran lapangan dilakukan dianalisis data untuk mengetahui kondisi kawasan yang diukur secara kuantitatif. Beberapa rumus yang penting diperhatikan dalam menghitung hasil analisa vegetasi, yaitu (Gapala, 2010):
Kerapatan (Density)
Banyaknya (abudance) merupakan jumlah individu dari satu jenis pohon dan tumbuhan lain yang besarnya dapat ditaksir atau dihitung. Secara kualitatif kualitatif dibedakan menjadi jarang terdapat, kadang-kadang terdapat, sering terdapat dan banyak sekali terdapat jumlah individu yang dinyatakan dalam persatuan ruang disebut kerapatan yang umunya dinyatakan sebagai jumlah individu,atau biosmas populasi persatuan areal atau volume, misal 200 pohon per Ha.
Dominasi
Dominasi dapat diartikan sebagai penguasaan dari satu jenis terhadap jenis lain (bisa dalam hal ruang, cahaya, dan lainnya) sehingga dominasi dapat dinyatakan dalam besaran banyaknya individu (abudance) dan kerapatan (density), persen penutupan (cover percentage) dan luas bidang dasar (LBD)/Basal area (BA), volume, biomass, dan indeks nilai penting (importance value-IV). Kesempatan ini besaran dominan yang digunakan adalah LBH dengan pertimbangan lebih mudah dan cepat, yaitu dengan melakukan pengukuran diameter pohon pada ketinggian setinggi dada (diameter breas heigt-dbh).
Frekuensi
Frekuensi merupakan ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya suatu jenis frekuensi memberikan gambaran bagimana pola penyebaran suatu jenis, apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok. Hal ini menunjukan daya penyebaran dan adaptasinya terhadap lingkungan.
Raunkiser dalam Shukla dan Chandel (1977) membagi frekuensi dalm lima kelas berdasarkan besarnya persentase,yaitu:
Kelas A dalam frekuensi 1 –20 %
Kelas B dalam frekuensi 21-40 %
Kelas C dalam frekuensi 41-60%
Kelas D dalam frekuensi 61-80 %
Kelas E dalam frekuensi 81-100%
Indeks Nilai Penting (Importance Value Indeks)
Gambaran lengkap mengenai karakter sosiologi suatu spesies dalam komunitas (Contis dan Mc Intosh, 1951) dalam Shukla dan Chandel (1977). Nilainya diperoleh dari menjumlahkan nilai kerapatan relatif, dominasi relaif dan frekuensi relatif sehingga jumlah maksimalnya 300%.
Praktik analisis vegetasi sangat ditunjang oleh kemampuan mengenai jenis tumbuhan. Kelemahan ini dapat diperkecil dengan mengajak pengenal pohon atau dengan membuat herbarium maupun foto yang nantinya dapat diruntut dengan buku pedoman atau dinyatakan keahlian pengenal pohon setempat, ataupun dapat langsung berhubungan dengan lembaga Biologi Nasional Bogor.
Analisis vegetasi dapat dilanjutkan untuk menentukan indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, indeks asosiasi, kesalihan, dll, yang dapat banyak memberikan informasi dalam pengolahan suatu kawasan, penilaian suatu kawasan. Data penunjang seperti tinggi tempat, pH tanah warna tanah, tekstur tanah dll diperlukan untuk membantu dalam menginterpretasikan hasil analisis.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu :
1. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu pengamatan berbeda.
2. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
3. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Beberapa metodologi yang umum dan sangat efektif serta efisien jika digunakan untuk penelitian, yaitu metode kuadrat, metode garis, metode tanpa plot dan metode kwarter. Akan tetapi dalam praktikum kali ini hanya menitik beratkan pada penggunaan analisis dengan metode kuadran. Pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja yang menjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya. Metode kuadran juga ada beberapa jenis:
a. Liat quadrat: Spesies di luar petak sampel dicatat.
b. Count/list count quadrat: Metode ini dikerjakan dengan menghitung jumlah spesies yang ada beberapa batang dari masing-masing spesies di dalam petak. Jadi merupakan suatu daftar spesies yang ada di daerah yang diselidiki.
c. Cover quadrat (basal area kuadrat): Penutupan relatif dicatat, jadi persentase tanah yag tertutup vegetasi. Metode ini digunakan untuk memperkirakan berapa area (penutupan relatif) yang diperlukan tiap-tiap spesies dan berapa total basal dari vegetasi di suatu daerah. Total basal dari vegetasi merupakan penjumlahan basal area dari beberapa jenis tanaman. Cara umum untuk mengetahui basal area pohon dapat dengan mengukur diameter pohon pada tinggi 1,375 meter (setinggi dada).
d. Chart quadrat: Penggambaran letak/bentuk tumbuhan disebut Pantograf. Metode ini ter-utama berguna dalam mereproduksi secara tepat tepi-tepi vegetasi dan menentukan letak tiap- tiap spesies yang vegetasinya tidak begitu rapat. Alat yang digunakan pantograf dan planimeter. Pantograf diperlengkapi dengan lengan pantograf. Planimeter merupakan alat yang dipakai dalam pantograf yaitu alat otomatis mencatat ukuran suatu luas bila batas-batasnya diikuti dengan jarumnya (Wahyu,2009).
ALAT DAN BAHAN
Kompas 1 buah
Protaktor 1 buah
Peta Karangsambung 1 buah
Patok 8 buah
Meteran 1 buah
Tongkat penanda 1 buah
Bambu “+” 1 buah
Tali Rafia secukupnya
Label secukupnya
Alat Tulis secukupnya
Buku identifikasi secukupnya
Kantong plastik secukupnya
CARA KERJA
Menentukan lokasi yang memiliki heterogenitas spesies.
Mencari peta lokasi yaitu peta topografi daerah Karangsambung untuk menentukan luas area total yang akan diamati melalui Google Map.
Menggambar peta lokasi yang telah didapat.
Menentukan jumlah titik sampling per lokasi dengan urutan sebagai berikut :
Luas area total = 66,5971 ha
Luas area cuplikan = 1 % x luas wilayah
= 1 % x 66,5971 ha
= 6,0702 ha
Jumlah titik = (Luas area cuplikan)/(1 ha)=(6,0702 )/(1 ha)= 6 titik
Jumlah titik yang diamati direduksi menjadi 4 titik.
Dari jumlah titik sampling yang harus digunakan menurut perhitungan, titik dapat direduksi dan digunakan dalam pengamatan di Karangsambung.
Menentukan letak titik pada peta secara acak (random sampling).
Menentukan rute pada peta dan mengukur jarak serta sudut dari satu titik ke titik lain.
Mengkonversikan titik-titik tersebut dari petake lokasi sebenarnya dengan bantuan kompas dan protaktor.
Setelah menemukan titiknya, maka mencari arah utara dan memasang tali rafia “+” untuk membuat kuadran I, II, III, IV.
Menancapkan tongkat penanda pada titik central.
Mengambil data pengamatan yaitu:
Mencari pohon yang jaraknya terdekat di tiap kuadran dengan syarat pohon dengan keliling minimal 20 cm (diukur pada batang setinggi kurang lebih 150 cm) dan sudah mature.
Mencatat nama spesies dan mengukur jarak dari titik serta keliling pohonnya.
a. Mencari mean distance (rata-rata jarak) = D
D = (Total jarak)/(∑ 〖total quarter〗)
b. Mencari densitas per 100 m2 = (mean area)/D^2 x faktor koreksi
Mean area = 100
Faktor koreksi untuk PCQ = 1
c. Mencari densitas setiap spesies (DsM)
∑ Dalam quarter = (∑Individu spesies X)/(∑ 〖Total quarter〗)
DsM = ∑ Dalam quarter x Densitas per 100 m2
d. Mencari Dominansi mutlak (DmM)
BA = π r2
Rata-rata BA spesies X = (Jumlah total BA spesies X)/(∑ 〖Individu spesies X〗)
e. Mencari frekuensi mutlak (FM)
FM = (∑ 〖Titik sampling yang ada spesies X〗)/(∑ 〖Titik sampling〗) x 100 %
f. Mencari nilai relatif
Densitas Relatif (DsR) = ∑ DsM spesies X x 100 %
∑ total DsM
Dominansi Relatif (DmR) = ∑ DmM spesies X x 100 %
∑ total DmM
Frekuensi Relatif ( FR) = ∑ FM spesies X x 100 %
∑ total FM
g. Mencari nilai penting dan rangking
NP = DsR + DmR + FR
Semakin besar nilai penting maka semakin tinggi pula rangking untuk setiap spesies di Karangsambung.
PEMBAHASAN
Analisa Kuantitatif
Mean Distance (rata-rata jarak) = D
D = (Total jarak)/(∑ 〖Total quarter〗)= 63,72/16 =3,98253,9825
Densitas Per 100 m2
Densitas Per 100 m2 = (Main area)/D^2 ×faktor koreksi = 100/〖(3,9825)〗^2 ×1 =6,30504849
∑ dalam quarter
∑ dalam quarter = (∑ 〖Individu spesies X〗)/(∑ 〖Total quarter〗)
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Densitas mutlak tiap jenis (DsM)
DsM = ∑ dalam quarter Densitas Per 100 m2
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Densitas relatif tiap jenis (DsR)
DsR = (DsM spesies X)/(∑ DsM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Basal Area (BA)
BA =Ï€r^2
(hasil perhitungan BA tiap spesies terlampir di data praktikum)
Rata-rata Basal Area (Rata-rata BA)
Rata-rata BA spesies X = (Jumlah total BA spesies X)/(∑ 〖Individu spesies X〗)
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Dominansi Mutlak (DmM)
DmM = Rata-rata BA spesies X × DsM spesies X
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Dominansi relatif (DmR)
DmR = (DmM spesies X)/(∑ DmM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Frekuensi Mutlak (FM)
FM = (∑ 〖Titik sampling yang ada spesies X〗)/(∑ 〖Titik sampel〗) 100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Frekuensi Relatif (FR)
FR = (FM spesies X)/(∑ FM) ×100%
(hasil perhitungan tiap spesies terlampir di tabel)
Tabel Hasil Pengolahan Data:
NO
|
NAMA SPESIES
|
∑ DALAM KUARTER
|
RATA-RATA
BA
|
DsM
|
DmM
|
FM
|
DsR
|
DmR
|
FR
|
NP
|
RANK
| |
1
|
Cocos nucifera
|
0,0625
|
630,655
|
0,394
|
248,478
|
25
|
6,250
|
8,092
|
9,091
|
23,433
|
7
| |
2
|
Swietenia mahagoni
|
0,1875
|
209,997
|
1,182
|
248,216
|
75
|
18,750
|
8,084
|
27,273
|
54,107
|
3
| |
3
|
Albizia chinenses
|
0,250
|
427,798
|
1,576
|
674,210
|
75
|
25,000
|
21,957
|
27,273
|
74,230
|
1
| |
4
|
Mangifera indica
|
0,125
|
1353,023
|
0,788
|
1066,182
|
25
|
12,500
|
34,722
|
9,091
|
56,313
|
2
| |
5
|
Gigantochloa apus
|
0,1875
|
325,378
|
1,182
|
384,597
|
25
|
18,750
|
12,525
|
9,091
|
40,366
|
4
| |
6
|
Tectona grandis
|
0,0625
|
749,138
|
0,394
|
295,160
|
25
|
6,250
|
9,612
|
9,091
|
24,953
|
6
| |
7
|
Anthocephalus cadamba
|
0,125
|
195,120
|
0,788
|
153,755
|
25
|
12,500
|
5,007
|
9,091
|
26,598
|
5
| |
JUMLAH
|
1
|
3891,109
|
6,304
|
3070,598
|
275
|
100
|
100
|
100
|
Analisa Kualitatif
Praktikum Point Center Quarter (PCQ) ini memiliki tujuan yaitu Mengetahui distribusi masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, menghitung nilai penting masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, mengetahui spesies dengan kontribusi tertinggi dan terendah yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, mengatahui pengaruh lingkungan terhadap jumlah spesies yang berupa pohon di batuan Basal dan Rijang Karangsambung.
Praktikum PCQ ini memiliki prinsip kerja yaitu diawali dengan menentukan jumlah titik sampling per lokasi. Kemudian menentukan letak titik pada peta secara acak dan menentukan rute pada peta dan mengukur jarak serta sudut dari satu titik ke titik lain. Titik-titik tersebut kemudian dikonversikan dari peta ke lokasi sebenarnya dengan bantuan kompas dan protaktor. Setelah menemukan titiknya, maka mencari arah utara dan meletakkan bambu “+” untuk membuat kuadran I, II, III, IV. Menancapkan tongkat penanda pada titik central. Lalu melakukan pengukuran dengan cara mencari pohon yang terdekat jaraknya di setiap kuadran dengan syarat pohon mempunyai keliling minimal 20 cm (diukur pada batang setinggi + 150 cm) dan sudah mature (Dewasa). mencatat nama spesies dan mengukur jarak dari titik serta keliling pohonnya. Kemudian mencari/menghitung mean distance (rata-rata jarak), densitas per 100 m2, densitas setiap spesies (DsM), dominansi mutlak (DmM), frekuensi mutlak (FM), nilai relative yang meliputi Densitas Relatif (DsR); Dominansi Relatif (DmR); Frekuensi Relatif ( FR), nilai penting, dan ranking.
Pohon yang termasuk spesies tumbuhan PCQ ditemukan pada lokasi Batuan Basal dan Rijang pada titik I, II, III, IV yaitu Cocos nucifera, Swietenia mahagoni, Albizia chinenses, Mangifera indica, Gigantochloa apus, Tectona grandis, dan Anthocephalus cadamba.
Titik 1
Lokasi Titik pertama ini tidak jauh dengan ladang penduduk dan berkoordinat 7º 32’ 50.04” LS dan 109º 39’ 20.73” BT. Titik 1 ini berada pada ketinggian 87,5 dpl, pH tanah pada titik 1 ini 5,53 yang bersifat asam. Pada titik pertama ini ditemukan spesies PCQ Cocos nucifera pada kuadran 1, Swietenia mahagoni pada kuadran 2 , dan Albizia chinenses pada kuadran 3 dan 4.
Titik 2
Titik kedua memiliki ketinggian 87,5 dpl, memiliki koordinat 7º 32’ 51.72” LS dan 109 º 39’ 19.21” BT, kondisi pH pada titik 2 ini memiliki pH 6,35 yang bersifat asam. Pada titik kedua ini ditemukan spesies PCQ Mangifera indica pada kuadran 1 dan 2, Swietenia mahagoni pada kuadran 3 , dan Albizia chinenses pada kuadran 4.
Titik 3
Titik ketiga ini memiliki ketinggian yang sama dengan titik 1 dan 2 yaitu 87,5 dpl. Koordinatnya 7º 32’ 53.09” LS dan 109 º 39’ 16.98” BT, kondisi PH pada titik 3 ini memiliki PH asam yaitu 6,35. Pada titik ketiga ini didominasi oleh spesies PCQ Gigantochloa apus yang ditemukan pada kuadran 1,2,dan 3. Dan pada kuadran 4 ditemukan spesies Tectona grandis.
Titik 4
Titik keempat ini memiliki ketinggian 100dpl. Koordinatnya 7º 32’ 53.71” LS dan 109 º 39’ 14.73” BT, pH pada titik 4 ini 6,35 yang bersifat asam. Pada titik keempat ini ditemukan spesies Albizia chinenses pada kuadran 1, Anthocephalus cadamba pada kuadran 2 dan 3, dan Swietenia mahagoni pada kuadran 4.
Nilai penting suatu spesies tumbuhan diperoleh berdasarkan akumulasi dari nilai relatif dari densitas, frekuensi dan dominansi suatu jenis spesies tumbuhan tersebut. Untuk menghitung nilai penting spesies tumbuhan menggunakan rumus berikut:
NP = DsR + DmR + FR
Romadhon (2008) menyatakan bahwa Indeks nilai penting digunakan untuk merefleksikan keberadaan peran (dominansi) dan struktur vegetasi di suatu lokasi atau wilayah. Nilai penting spesies tumbuhan berbanding lurus dengan kemampuan adaptasinya dalam suatu wilayah tertentu. Di bawah ini adalah densitas, frekuensi dan dominansi dari spesies yang ditemukan.
Pada lokasi batuan Basal dan Rijang ditemukan tumbuhan dengan NP tertinggi yaitu Albizia chinenses dengan NP 74,23 dan spesies dengan NP terendah yaitu Cocos nucifera dengan NP 23,433.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa tumbuhan Albizia chinenses merupakan tumbuhan panerogamae yang memiliki NP paling tinggi diantara tumbuhan yang lain, dapat disimpulkan bahwa Albizia chinenses memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan Batuan Basal dan Rijang dan memiliki konstribusi yang tinggi dalam menempati batuan Basal dan Rijang. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumiasri (1990) bahwa Albizia chinenses dapat tumbuh di lahan basah maupun kering, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan kisaran pH tanah 4, 75-7,85.
Dari data batuan “Basal dan Rijang” secara keseluruhan, memiliki rentang nilai penting yang tersebar pada semua spesies yang ditemukan sehingga menunjukkan bahwa keanekaragaman cukup tinggi atau tidak didominasi oleh satu spesies saja. Keanekaragaman tumbuhan dipengaruhi oleh karakteristik batuan basal dan rijang. Pada batuan “Basal dan Rijang” sampel tanah yang diambil sebanyak 2 sampel tanah, yaitu tanah bagian bawah dan bagian atas, karena terdapat perbedaan pada struktur tanah pada tanah bagian bawah dan bagian atas. Pada tanah bagian bawah, struktur tanahnya lebih lunak daripada struktur tanah pada bagian atas. pH tanah bagian bawah adalah 5,53 dan PH tanah bagian atas adalah 6,35.
Menurut Karyanto (2004) Basal terdiri dari batuan basa dimana persentase silika relatif rendah, sedangkan persentase besi, magnesium relatif sangat tinggi. Dalam penelitian yang lain Chiarucci (2004) mengidentifikasi bahwa kadar Mg yang tinggi dan kadar Ca yang rendah pada tanah basal rijang kemungkinan merupakan faktor yang paling mempengaruhi mekanisme toleransi dan distribusi tumbuhan pada tanah. Untuk suhu dari batuan ini adalah sekitar 29oC. Sehingga tumbuhan cukup subur hidup di lokasi ini. Menurut Sagar (2008) kesuburan tumbuhan juga dipengaruhi instensitas cahaya yang mengenai tumbuhan di suatu lokasi atau stand. Suatu tumbuhan memiliki kebutuhan akan intensitas cahaya yang berbeda, sehingga pertumbuhan dan distribusi suatu spesies berbeda pula. Cahaya di wilayah batuan basal dan rijang tercukupi dengan baik, hal ini diketahui dari pepohonan yang tumbuh merata.
Sedangkan karakteristik dari batuan rijang adalah berupa batuan endapan silikat kriptokristalin dengan permukaan licin (glassy). Disebut "batu api" karena jika diadu dengan baja atau batu lain akan memercikkan bunga api yang dapat membakar bahan kering. Biasanya ditemukan pada daerah laut dalam dan berasosiasi dengan radiolaria dan lava bantal. Rijang biasanya berwarna kelabu tua, biru, hitam, atau coklat tua. Rijang (Chert), adalah batuan sedimen silikaan berbutir halus yang keras dan kompak. Kebanyakan perlapisan rijang tersusun oleh sisa organisme penghasil silika seperti diatom dan radiolaria. Batuan Rijang terbentuk oleh kristal kuarsa berukuran lanau (mikrokuarsa) dan kalsedon, sebuah bentuk silika yang terbuat dari serat memancar dengan panjang beberapa puluh hingga ratusan mikrometer. Lapisan rijang terbentuk sebagai sedimen primer atau oleh proses diagenesis. Secara umum dianggap bahwa batuan ini terbentuk sebagai hasil perubahan kimiawi pada pembentukan batuan endapan terkompresi, pada proses diagenesis.
KESIMPULAN
Spesies tumbuhan PCQ berupa pohon yang ditemukan di lokasi Batuan Basal dan Rijang yaitu Cocos nucifera, Swietenia mahagoni, Albizia chinenses, Mangifera indica, Gigantochloa apus, Tectona grandis, dan Anthocephalus cadamba.
Berikut ini adalah nama spesies PCQ yang berupa pohon beserta nilai pentingnya Cocos nucifera =23,433, Swietenia mahagoni =54,107, Albizia chinense s=74,230, Mangifera indica =56,313, Gigantochloa apus =40,366, Tectona grandis =24,953, Anthocephalus cadamba = 26,598.
Albizia chinenses merupakan tumbuhan panerogamae yang memiliki NP tertinggi dengan NP=74,23013. hal ini menunjukan bahwa Albizia chinenses memiliki kemampuan adaptasi dan konstribusi yang tinggi dalam menempati batuan Basal dan Rijang. Sedangkan Cocos nucifera merupakan pohon yang memiliki kontribusi terkecil pada batuan basal dan rijang dengan NP=23,43306.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Jabri, M.2007. Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah Masa Depan di Indonesia. Bogor: Jurnal Litbang Pertanian, 26(2) 2007
Chiarucci, A. 2004. Vegetation ecology and conservation on Tuscan ultramafic soils. Botany Review 69: 252-268.
Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Oxford : Blackwell Scientific Publications
Guimaraes, J.P.C.2009. Participatory Approaches to Rural Development and Rural Poverty Alleviation. Netherlands: UN-ESCAP
Karyanto. 2004. Cross Diagonal Survey Geolistrik Tahanan Jenis 3D untuk Menentukan Pola Penyebaran Batuan Basal di Daerah Pakuan Aji Lampung Timur. J. Sains Tek. vol 10 No 3 : 195-200
Marsono. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM
Michael, M. 1992. Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia
Polunin, N. 1990. Ilmu Lingkungan dan Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Shukla, R.S. and P.S. Chandel. 1996. Plant Ecology and Soil Science. RamNagar, New Delhi: S. Chan and Company Ltd.
Sumiasri, N & Harmastini. 1990. Prospek Albisia(Albizia Falcataria) di Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Volume VI no 3
Swanarmo, H., dkk. 1996. Pengantar Ilmu Lingkungan. Malang: Universitas Muhammadiyah
Praktikum Point Center Quarter (PCQ) ini memiliki tujuan yaitu Mengetahui distribusi masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, menghitung nilai penting masing-masing spesies yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, mengetahui spesies dengan kontribusi tertinggi dan terendah yang berupa pohon pada vegetasi di batuan Basal dan Rijang di Karangsambung, mengatahui pengaruh lingkungan terhadap jumlah spesies yang berupa pohon di batuan Basal dan Rijang Karangsambung.
Praktikum PCQ ini memiliki prinsip kerja yaitu diawali dengan menentukan jumlah titik sampling per lokasi. Kemudian menentukan letak titik pada peta secara acak dan menentukan rute pada peta dan mengukur jarak serta sudut dari satu titik ke titik lain. Titik-titik tersebut kemudian dikonversikan dari peta ke lokasi sebenarnya dengan bantuan kompas dan protaktor. Setelah menemukan titiknya, maka mencari arah utara dan meletakkan bambu “+” untuk membuat kuadran I, II, III, IV. Menancapkan tongkat penanda pada titik central. Lalu melakukan pengukuran dengan cara mencari pohon yang terdekat jaraknya di setiap kuadran dengan syarat pohon mempunyai keliling minimal 20 cm (diukur pada batang setinggi + 150 cm) dan sudah mature (Dewasa). mencatat nama spesies dan mengukur jarak dari titik serta keliling pohonnya. Kemudian mencari/menghitung mean distance (rata-rata jarak), densitas per 100 m2, densitas setiap spesies (DsM), dominansi mutlak (DmM), frekuensi mutlak (FM), nilai relative yang meliputi Densitas Relatif (DsR); Dominansi Relatif (DmR); Frekuensi Relatif ( FR), nilai penting, dan ranking.
Pohon yang termasuk spesies tumbuhan PCQ ditemukan pada lokasi Batuan Basal dan Rijang pada titik I, II, III, IV yaitu Cocos nucifera, Swietenia mahagoni, Albizia chinenses, Mangifera indica, Gigantochloa apus, Tectona grandis, dan Anthocephalus cadamba.
Titik 1
Lokasi Titik pertama ini tidak jauh dengan ladang penduduk dan berkoordinat 7º 32’ 50.04” LS dan 109º 39’ 20.73” BT. Titik 1 ini berada pada ketinggian 87,5 dpl, pH tanah pada titik 1 ini 5,53 yang bersifat asam. Pada titik pertama ini ditemukan spesies PCQ Cocos nucifera pada kuadran 1, Swietenia mahagoni pada kuadran 2 , dan Albizia chinenses pada kuadran 3 dan 4.
Titik 2
Titik kedua memiliki ketinggian 87,5 dpl, memiliki koordinat 7º 32’ 51.72” LS dan 109 º 39’ 19.21” BT, kondisi pH pada titik 2 ini memiliki pH 6,35 yang bersifat asam. Pada titik kedua ini ditemukan spesies PCQ Mangifera indica pada kuadran 1 dan 2, Swietenia mahagoni pada kuadran 3 , dan Albizia chinenses pada kuadran 4.
Titik 3
Titik ketiga ini memiliki ketinggian yang sama dengan titik 1 dan 2 yaitu 87,5 dpl. Koordinatnya 7º 32’ 53.09” LS dan 109 º 39’ 16.98” BT, kondisi PH pada titik 3 ini memiliki PH asam yaitu 6,35. Pada titik ketiga ini didominasi oleh spesies PCQ Gigantochloa apus yang ditemukan pada kuadran 1,2,dan 3. Dan pada kuadran 4 ditemukan spesies Tectona grandis.
Titik 4
Titik keempat ini memiliki ketinggian 100dpl. Koordinatnya 7º 32’ 53.71” LS dan 109 º 39’ 14.73” BT, pH pada titik 4 ini 6,35 yang bersifat asam. Pada titik keempat ini ditemukan spesies Albizia chinenses pada kuadran 1, Anthocephalus cadamba pada kuadran 2 dan 3, dan Swietenia mahagoni pada kuadran 4.
Nilai penting suatu spesies tumbuhan diperoleh berdasarkan akumulasi dari nilai relatif dari densitas, frekuensi dan dominansi suatu jenis spesies tumbuhan tersebut. Untuk menghitung nilai penting spesies tumbuhan menggunakan rumus berikut:
NP = DsR + DmR + FR
Romadhon (2008) menyatakan bahwa Indeks nilai penting digunakan untuk merefleksikan keberadaan peran (dominansi) dan struktur vegetasi di suatu lokasi atau wilayah. Nilai penting spesies tumbuhan berbanding lurus dengan kemampuan adaptasinya dalam suatu wilayah tertentu. Di bawah ini adalah densitas, frekuensi dan dominansi dari spesies yang ditemukan.
Pada lokasi batuan Basal dan Rijang ditemukan tumbuhan dengan NP tertinggi yaitu Albizia chinenses dengan NP 74,23 dan spesies dengan NP terendah yaitu Cocos nucifera dengan NP 23,433.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa tumbuhan Albizia chinenses merupakan tumbuhan panerogamae yang memiliki NP paling tinggi diantara tumbuhan yang lain, dapat disimpulkan bahwa Albizia chinenses memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan Batuan Basal dan Rijang dan memiliki konstribusi yang tinggi dalam menempati batuan Basal dan Rijang. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumiasri (1990) bahwa Albizia chinenses dapat tumbuh di lahan basah maupun kering, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan kisaran pH tanah 4, 75-7,85.
Dari data batuan “Basal dan Rijang” secara keseluruhan, memiliki rentang nilai penting yang tersebar pada semua spesies yang ditemukan sehingga menunjukkan bahwa keanekaragaman cukup tinggi atau tidak didominasi oleh satu spesies saja. Keanekaragaman tumbuhan dipengaruhi oleh karakteristik batuan basal dan rijang. Pada batuan “Basal dan Rijang” sampel tanah yang diambil sebanyak 2 sampel tanah, yaitu tanah bagian bawah dan bagian atas, karena terdapat perbedaan pada struktur tanah pada tanah bagian bawah dan bagian atas. Pada tanah bagian bawah, struktur tanahnya lebih lunak daripada struktur tanah pada bagian atas. pH tanah bagian bawah adalah 5,53 dan PH tanah bagian atas adalah 6,35.
Menurut Karyanto (2004) Basal terdiri dari batuan basa dimana persentase silika relatif rendah, sedangkan persentase besi, magnesium relatif sangat tinggi. Dalam penelitian yang lain Chiarucci (2004) mengidentifikasi bahwa kadar Mg yang tinggi dan kadar Ca yang rendah pada tanah basal rijang kemungkinan merupakan faktor yang paling mempengaruhi mekanisme toleransi dan distribusi tumbuhan pada tanah. Untuk suhu dari batuan ini adalah sekitar 29oC. Sehingga tumbuhan cukup subur hidup di lokasi ini. Menurut Sagar (2008) kesuburan tumbuhan juga dipengaruhi instensitas cahaya yang mengenai tumbuhan di suatu lokasi atau stand. Suatu tumbuhan memiliki kebutuhan akan intensitas cahaya yang berbeda, sehingga pertumbuhan dan distribusi suatu spesies berbeda pula. Cahaya di wilayah batuan basal dan rijang tercukupi dengan baik, hal ini diketahui dari pepohonan yang tumbuh merata.
Sedangkan karakteristik dari batuan rijang adalah berupa batuan endapan silikat kriptokristalin dengan permukaan licin (glassy). Disebut "batu api" karena jika diadu dengan baja atau batu lain akan memercikkan bunga api yang dapat membakar bahan kering. Biasanya ditemukan pada daerah laut dalam dan berasosiasi dengan radiolaria dan lava bantal. Rijang biasanya berwarna kelabu tua, biru, hitam, atau coklat tua. Rijang (Chert), adalah batuan sedimen silikaan berbutir halus yang keras dan kompak. Kebanyakan perlapisan rijang tersusun oleh sisa organisme penghasil silika seperti diatom dan radiolaria. Batuan Rijang terbentuk oleh kristal kuarsa berukuran lanau (mikrokuarsa) dan kalsedon, sebuah bentuk silika yang terbuat dari serat memancar dengan panjang beberapa puluh hingga ratusan mikrometer. Lapisan rijang terbentuk sebagai sedimen primer atau oleh proses diagenesis. Secara umum dianggap bahwa batuan ini terbentuk sebagai hasil perubahan kimiawi pada pembentukan batuan endapan terkompresi, pada proses diagenesis.
KESIMPULAN
Spesies tumbuhan PCQ berupa pohon yang ditemukan di lokasi Batuan Basal dan Rijang yaitu Cocos nucifera, Swietenia mahagoni, Albizia chinenses, Mangifera indica, Gigantochloa apus, Tectona grandis, dan Anthocephalus cadamba.
Berikut ini adalah nama spesies PCQ yang berupa pohon beserta nilai pentingnya Cocos nucifera =23,433, Swietenia mahagoni =54,107, Albizia chinense s=74,230, Mangifera indica =56,313, Gigantochloa apus =40,366, Tectona grandis =24,953, Anthocephalus cadamba = 26,598.
Albizia chinenses merupakan tumbuhan panerogamae yang memiliki NP tertinggi dengan NP=74,23013. hal ini menunjukan bahwa Albizia chinenses memiliki kemampuan adaptasi dan konstribusi yang tinggi dalam menempati batuan Basal dan Rijang. Sedangkan Cocos nucifera merupakan pohon yang memiliki kontribusi terkecil pada batuan basal dan rijang dengan NP=23,43306.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Jabri, M.2007. Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah Masa Depan di Indonesia. Bogor: Jurnal Litbang Pertanian, 26(2) 2007
Chiarucci, A. 2004. Vegetation ecology and conservation on Tuscan ultramafic soils. Botany Review 69: 252-268.
Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Oxford : Blackwell Scientific Publications
Guimaraes, J.P.C.2009. Participatory Approaches to Rural Development and Rural Poverty Alleviation. Netherlands: UN-ESCAP
Karyanto. 2004. Cross Diagonal Survey Geolistrik Tahanan Jenis 3D untuk Menentukan Pola Penyebaran Batuan Basal di Daerah Pakuan Aji Lampung Timur. J. Sains Tek. vol 10 No 3 : 195-200
Marsono. 1977. Diskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM
Michael, M. 1992. Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia
Polunin, N. 1990. Ilmu Lingkungan dan Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Shukla, R.S. and P.S. Chandel. 1996. Plant Ecology and Soil Science. RamNagar, New Delhi: S. Chan and Company Ltd.
Sumiasri, N & Harmastini. 1990. Prospek Albisia(Albizia Falcataria) di Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Volume VI no 3
Swanarmo, H., dkk. 1996. Pengantar Ilmu Lingkungan. Malang: Universitas Muhammadiyah
0 komentar:
Posting Komentar